Problematika
Pembangunan dengan paradigma ideologi-ideologi modern yang menjanjikan kemajuan dalam ilmu dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi, sesungguhnya memunculkan realitas-realitas yang menggerogoti martabat manusia, adanya pergeseran nilai, ekslusivisme-radikal berkedok agama dan anomali perilaku keagamaan, sehingga lahir apa yang disebut “nestapa manusia modern” (Fromm, 1972:39), yang hidup serba dilematis, hipokrit dan materialistik.
Filsuf Jean Baudrillard menyatakan bahwa dunia yang dilanda demam globalisasi berimplikasi pada pergeseran nilai. Hal ini ditandai dengan mencairnya batas-batas normatif sehingga apa yang dinamakan “tabu” atau sakral semakin memudar, semua persoalan dan informasi menjadi ranah publik yang bebas diperbincangkan dan dikonsumsi secara umum. Jiwa manusia direduksi sedemikian rupa laksana robot-robot mekanis-deterministik pada kekuatan pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi (Muhajir, 2011: 38) .
Dewasa ini peran agama seringkali kita jumpai hanya sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, agama bukan untuk tuntunan kehidupan, agama hanya something to use but not to live. Tidak dapat diingkari, saat ini justru nilai-nilai keagamaan-lah yang mengalami erosi, pengikisan yang paling dahsyat, penghargaan atas kebebasan beragama terdistorsi oleh maraknya eklusivisme-radikal yang kian massif, pola hidup konsumtif yang sebenarnya ditolak oleh agama manapun justru kian hari kian berkembang, tanpa diimbangi oleh kemampuan yang cukup untuk meningkatkan produktifitas kerja kita, sehingga semakin mendorong dan meluasnya budaya korupsi. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama hanya digunakan untuk menunjang motif- motif lain; kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Allport menyatakan cara beragama seperti sebagai cara beragama yang ekstrinsik dan erat kaitannya dengan penyakit mental (Rakhmat, 2004: 26).
Pada era kemajuan tekhnologi dan komunikasi, peran umat beragama seharusnya tidak melulu tertuju pada ruang lingkup internal orang-orang seagama, melainkan mampu menjangkau masyarakat di luar agamanya. Masyarakat yang terus menerus mengalami proses globalisasi, menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi sehingga berdampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial serta budaya, dan lain-lain. Dan, ketika masyarakat berubah dalam menerima nilai-nilai baru yang didapat akibat bebasnya arus informasi. Pada kondisi seperti ini, umat beragama mengalami pengaruh bebasnya arus informasi dan mereka menggunakannya untuk berhadapan dengan penganut agama lain, hal inilah yang kemudian menjadi triger atas konflik yang terjadi.
Benturan-benturan bisa juga akibat perbedaan persepsi di antara keduanya; misalnya perbedaan klaim kebenaran yang dimiliki agamanya serta klaim dalam menanggapi dan bersikap terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Dan jika kaum agamawan, atau para pemuka agama tidak siap, tanpa wawasan yang luas, kurang sigap mengamati dan memperhatikan perkembangan masyarakat, maka benturan-benturan tersebut akan semakin menjadi suatu pertikaian yang tak henti; pertikaian yang berujung pada retak dan renggangnya hubungan antar umat beragama.
Oleh sebab itu, umat beragama perlu berbuat lebih banyak lagi. Itu berarti membutuhkan kemampuan penyesuaian dan mengatasi masalah serta dukungan lingkungan kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai sosial dan budaya yang tanggap terhadap berbagai perubahan. Hal itu harus terjadi, karena adanya permasalahan sosial di/dalam masyarakat (konteks umat beragama berada). Misalnya, kekerasan (dari orang dewasa dan sosial) terhadap masyarakat, terutama kepada wanita dan anak-anak; kenakalan remaja (di rumah, sekolah, lingkungan) dan berbagai dampak yang mengikutinya; penyalahgunaan obat-obatan; mudah mengikuti unsur-unsur budaya asing (dengan tanpa berpikir kritis) yang ditampilkan melalui media massa; premanisme serta pelbagai tindak kriminal; masalah seksual; masalah kaum urban dan masyarakat miskin kota di daerah-daerah kumuh; benturan budaya sebagai pendatang di kota metropolitan; ketidakmampuan ekonomi yang berimbas pada faktor kesehatan dan pendidikan, dan lain lain .
Dalam konteks seperti itulah, agama dan umat beragama hadir dan ada. Dengan demikian, mau tidak mau, umat beragama berperan dan harus terlibat serta melibatkan diri untuk mengatasi hal-hal tersebut. Jika umat beragama hanya mengfokuskan diri pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan ibadah rutin, maka peran dan keterlibatan diri tersebut tidak terlihat bahkan tidak berdampak apa-apa pada orang lain serta masyarakat luas.