Pembahasan/Analisa
Pada diri setiap umat beragama, seharusnya ada panggilan, tugas, tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat dengan talenta dan kemampuan yang ada padanya. Oleh sebab itu, perlu suatu perubahan pemikiran dalam rangka meningkatkan peran keseluruhan umat beragama, pada agamanya dan masyarakat. Dengan itu akan terjadi suatu paduan kekuatan dan kemampuan dalam rangka membangun manusia dan masyarakat yang sejahtera. Pada dasarnya ada banyak peran agama dan umat beragama dalam lingkup agamanya serta masyarakat seluas-luasnya.
Manusia beragama karena adanya alasan-alasan tertentu; dan ketika seseorang mengikatkan dirinya pada institusi keagamaan, tersirat dari dan dalam dirinya, bahwa ia harus mendapat keuntungan serta kepuasan dari tindakannya itu. Ini berarti, agama sebagai suatu sistem ajaran harus membawa perbaikan dan perubahan total pada manusia yang beragama atau umat. Jadi, agama berperan untuk perubahan manusia; sebaliknya manusia pun dapat berubah karena adanya agama; manusia bisa berubah karena kekuatan agama dan juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, ada beberapa peran yang bisa dilakukan agama; bukan berarti agama adalah pribadi yang bisa melakukan sesuatu; melainkan peran yang dilakukan oleh institusi agama atau umat beragama, terutama mereka yang berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Pada dasarnya ada banyak peran agama dan umat beragama dalam lingkup agamanya serta pada masyarakat .
Korupsi dan tindakan koruptif mengakar dan mendarah daging baik di institusi pemerintah maupun swasta. Pergaulan bebas menjadi kebanggaan, seks bebas menjadi kebiasaan, aborsi menjadi hal yang normal, tindakan asusila menjadi susila dan perusakan lingkungan menjadi lumrah. Padahal Indonesia adalah negara yang diklaim sebagai negara hukum dan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, hidup dalam masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat bermoral, religius, beradab dan klaim-klaim yang sangat menyejukkan hati dan menenteramkan jiwa bila didengar.
Hal tersebut terjadi karena dalam perkembangannya di masyarakat, pemeluk agama sering mengabaikan aspek humanisme dan aspek agama sebagai pemadu (unifying factor) . Pengabaian ini bisa timbul karena : (1) adanya doktrin yang tidak seimbang antara teologi dan humanisme; (2) dalam praktek, agama sering dipakai sebagai alat pembenaran bagi instink kelompok dalam melawan kelompok lainnya.
Sebagai jalan keluar mengatasi konflik antar agama yang sering terjadi hendaknya agama jangan hanya menekankan pada aspek upacara dan tradisi, melainkan lebih menekankan pelaksanaan agama sebagai jalan hidup. Memang, ada kecenderungan bahwa bila seseorang sudah memilih satu agama, maka ia akan berusaha dengan berbagai cara mengajak orang di sekitarnya untuk beragama yang sama pula. Ia kadang melupakan bahwa agama adalah hak asasi, bukan paksaan. Dengan adanya usaha pemaksaan pemilihan agama inilah, sering timbul konflik berkepanjangan di masyarakat yang sering membawa korban jiwa pula.
Hidayat (2001: 58) mengatakan bahwa fungsi dasar agama mengalami deflection, pembalikan, yaitu yang awal berfungsi sebagai jalan manusia untuk mencapai kebaikan, agama menjadi satu kenyataan sosial dan ajaran yang memaksa manusia untuk mencapai kebaikan, agama menjadi sautu kenyataan sosial dan ajaran yang memaksa manusia untuk mengikuti dan mentaatinya.
Agama mengalami proses obyektivitas, yaitu agama menjadi sangat kering, formal, sempit dan ketat. Karenanya, pemeluk agama yang memiliki sikap keberagamaan semacam itu menjadi sangat sensitif, jika masalah keyakinan dan keimanan terhadap ajaran agamanya terusik, apabila disalahkan atau dinilai sesat oleh orang atau sekelompok lain, sikap semacam inilah yang sangat rawan menimbulkan konflik antar pemeluk agama yang bisa menjalar ke seluruh aspek kehidupan.
Dalam perkembangannya upaya pemecahan problema-problema sosial seperti yang disebutkan di atas membutuhkan pijakan normatif dan moral serta etis. Karena pada gilirannya pembangunan yang dilakukan harus mengacu pada pengakuan bahkan pemuliaan atas kedaulatan seseorang ataupun kelompok untuk mengembangkan diri sesuai dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan niuraninya. Di sinilah kemudian aspek religius agama-agama memainkan peranan penting dalam pembangunan (Amin, 1989:8-9). Bila inti permasalahan pembangunan ialah mengatasi problema-problema sosial, tetapi dalam penangannya tidak hendak menyentuh dimensi transndental dari masalah kesejahteraan dan keadilan.
Begitu pula kehadiran agama sangat dirasakan sebagai “titik strategis” oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pembangunan, misalnya keterlibatan tokoh agama dalam berbagai aspek pembangunan. Namun, tinjauan lebih dalam akan menunjukkan bahwa ternyata “peranan” seperti itu sebenrnya bersifat superfisial, atau tampak hanya di permukaan saja. Kalau memang agama telah berperan dalam pembangunan, terutama dalam memecahkan problema sosial, mengapa arah, wawasan, dan moralitas pembangunan itu sendiri sangat terasa belum menyerap nilai-nilai keagamaan secara keseluruhan.
Tidak dapat dipungkiri, ternyata implementasi nilai-nilai keagamaanlah yang mengalami erosi dalam era sekarang ini. Pola hidup konsumtif yang sebenarnya ditolak oleh agama mana pun, justru semakin berkembang tanpa diimbangi oleh kemampuan untuk meningkatkan produktivitas kerja, sehingga mendorong semakin meluasnya terjadinya korupsi yang dilakonkan oleh penganut agama.
Sebenarnya fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan sosial kemasyarakatan). Karenanya, secara sosiologis tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik (Hidayat (2001: 58).
Menurut Shihab (2000), paling sedikit ada tiga hal pokok yang dapat dijadikan motif harapan atas peran agama, yaitu :
- Agama hendaknya dapat menjadi pendorong bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
- Agama hendaknya memberikan kepada individu dan masyarakat suatu kekuatan pendorong untuk meningkatkan partisipasi dalam karya dan kreasi mereka.
- Agama dengan nilai-nilainya harus dapat berperan isolator yang merintangi seseorang dari segala macam penyimpangan.
Kontribusi agama dalam memecahkan problema sosial tidaklah ringan, apalagi dari hari ke hari tantangan-tantangan yang dihadapi semakin berat dan kebutuhan manusia pun semakin banayak. Agama, melalui para agamawan dengan tuntunan kitab suci, harus mampu memberi jalan keluar yang realistis terhadap problema-problema dalam masyarakat plural. Karena, memang demikian itulah tujuan kehadiran para Nabi dengan kitab suci dan ajarannya masing-masing.
Menurut Yatim Abdullah (2001:1) mempelajari dan mengamalkan agama Islam sangat diperlukan bagi penganutnya, agar tidak terjerumus pada hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebab, di zaman modern seperti sekarang ini, orang terlalu mudah terpengaruh dengan budaya luar yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, sehingga dengannya perlu mempelajari Islam secara kaffah. Agama harus mampu mematahkan segala rintangan yang dapat mengganggu kemajuan pembangunan terutama yang bersifat takhyul, bid’ah, khuarafat, dan semacamnya. Agama dengan nilai-nilai yang universal yang dikandungnya, harus dapat memajukan dan memperkokoh keyakinan dan integritas masyarakat yang pluralistik ini.
Berpijak pada realitas konflisitas umat yang begitu kuat, maka sudah saatnya kita berkewajiban mengembalikan pesan otentik agama sebagai wahyu yang kultural. Hal ini dilakukan agar agama dapat diimplementasikan di dalam dunia yang selalu berubah. Sebab, seringkali agama dimanipulasi untuk mengukuhkan eksistensinya dengan masa lalu tanpa merespons secara kreatif dengan dunia modern. Padahal, agama yang tidak mengikuti makna konstekstualnya akan kehilangan eksistensi dirinya yang akomodatif terhadap perubahan. Bukankah, agenda agama-agama sejak awal diwahyukan adalah berdialog dengan problem sosial umat manusia?
Karena itulah, mendialogkan agama dengan problem-problem sosial adalah suatu keniscayaan, karena agama tidak lahir dari ruang hampa. Ketika agama tidak disampaikan melalui budaya, ia akan memicu munculnya ideologisasi “semu” terhadap agama, yakni sikap keberagamaan yang berlebihan dan radikal. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak diajari untuk memahami, tetapi meyakini agama belaka. Agama hanya menjadi lambang eksistensi, ia lahir bukan dari sebuah refleksi kesadaran yang sesungguhnya, malainkan lebih merupakan upaya penguatan status quo agama itu sendiri.
Di tengah-tengah semakin kerasnya kehidupan umat manusia dengan tontonan konflik yang melibatkan faktor agama, maka para pemuka agama memiliki peranan penting untuk mengambil bagian dalam usaha perdamaian dunia. Mereka bisa tampil sebagai suatu kekuatan untuk memformulasikan etika global yang diharapkan dapat menunjang kelangsungan perdamaian dunia. Maka untuk sekarang ini sudah saatnya membangun perdamaian dunia dengan spirit agama. Komitmen ini diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi proses sosialisasi dan penyadaran hidup damai sekaligus untuk mempersempit ruang konflik agama di masyarakat plural. Kini, sudah saatnya hidup damai abadi; tidak ada lagi konflik dan perang yang terjadi di muka bumi ini. Sejarah hidup umat manusia harus menjadi sejarah yang damai tanpa konflik.
Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana masing-masing golongan beragama bukan pemikiran untuk meletakkan landasan bagi masyarakat, bangsa, negara dan kebudayaan Islam, Kristen Katolik maupun Protestan, Hindu, Buddha dan Kong Hucu, melainkan sumbangan pikiran dan aksi dalam kerangka tugas bersama untuk membangun masyarakat, bangsa, negara dan kebudayaan yang berasaskan Pancasila.
Sumbangsih pikiran yang pada satu pihak setia pada iman yang diyakini oleh masing-masing golongan beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, pada pihak lain dapat diterima oleh semua golongan dalam kerangka tugas bersama untuk membangun masyarakat, bangsa, negara dan kebudayaan yang berasaskan Pancasila. Sumbangan itu akan diterima tidak karena sumbangan pikiran itu berasal dari golongan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hucu atau golongan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sumbangan pikiran tersebut memiliki kebenaran yang hakiki menurut penilaian semua golongan (Simatupang, 1988: 51).
Jelas bahwa semua golongan perlu mengadakan pekerjaan rumah yang bersifat kreatif dan inovatif, dengan tetap setia kepada imannya masing-masing dalam kerangka tugas bersama dan tanggungjawab bersama. Pekerjaan rumah yang dimaksudkan itu tidak hanya dihadapi oleh golongan-golongan beragama tetapi juga perlu peranan pemerintah. Secara bersama-sama dan terus-menerus meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang kokoh untuk pembangunan kehidupan antar umat beragama yang harmonis.
Terciptanya kondisi keberagaman yang kondusif juga tidak terlepas dari peran andil pemerintah dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama. Salah satu upaya untuk menjembatani hubungan antar umat beragama pemerintah menyediakan wadah bagi para pemuka agama untuk berdialog dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat, yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB ini bertujuan sebagai penyambung aspirasi masyarakat beragama dengan pemerintah.
Selain itu, FKUB bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat arti penting dari kesadaran hidup beragama dalam suasana pluralitas agama. Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk oleh pemerintah, perlu diefektifkan melalui dialaog-dialog antara umat beragama secara berkala, atau kegiatan-kegiatan lain yang dianggap penting sebagai kontribusi agama dalam mengatasi problema-problema sosial yang ada di masyarakat plural ini.