Tidak sedikit orang mengeluh tentang ajaran hukum Islam. Mereka yang mengeluh karena merasa ajaran hukum islam berat. Bahkan, ada yang tidak mau mengeluh, merka langsung acuh tak acuh dengan cara tidak melaksanakan ajaran hukum Islam karena dianggap berat.
Mereka yang merasa berat, misalnya karena sibuk dengan aktifitasnya yang padat, yang seolah tidak ada waktu untuk melaksanakan ajaran hukum Islam. Ini bagi orang yang merasa berat, berbeda dengan orang yang memang tidak mau melaksanakan ajaran hukum Islam. Orang yang seperti ini bukan merasa berat tetapi memang sengaja tidak mau melaksanakannya, meski sebenarnya dia memiliki banyak waktu untuk melaksanakan ajaran hokum Islam.
Bagi yang merasa berat, karena kepadatan aktifitasnya, perlu diketahui bahwa hokum Islam tetap memperhatikan kepadatan aktifitas seorang hamba. Hokum Islam tidak menekan atau menuntut seorang hamba harus melaksanan ajarannya secara mutlak. Artinya, hukum Islam bisa bersifat kondisional; mempertimbangkan keadaan seorang hamba. Hukum yang bersifat kondisional ini disebut hokum rukshah. Untuk lebih memahami hokum rukhshah ini, silakan teruskan bacaan Anda.
Pengertian Rukhshah
Hukum jika dilihat dari segi memberatkan atau tidaknya terbagi menjadi dua bagian, pertama hukum rukshah yaitu sebuah keringanan hukum karena adanya alasan yang memberatkan yang mengendaki adanya keringanan tersebut[1]. Kedua, hukum ‘azimah yaitu sebuah hukum asal yang kulli yang yang ada pertama kali (hukum pertama).
Namun ulama berbeda pendapat apakah Rukhshah dan ‘Azimah termasuk hukum Taklifi atau hukum Wadh’i dari segi hukumnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa rukhshah dan ‘azimah termasuk hukum taklifi karena keduanya ini bisa dikembalikan kepada sifat-sifat hukum taklifi yaitu iqtidha’ dan takhyir. Namun sebagian ulama lain mengatakan bahwa rukhshah dan ‘azimah ini termasuk hukum wadh’i. Karena pada hakikatnya rukhshah adalah sebuah hukum yang dibuat oleh syari’ sebab adanya keringanan.
Terdapat banyak pengertian yang dikemukakan oleh para ulama tentang pengertian rukhshah, namun kami hanya akan mengemukakan beberapa pengertian saja, antara lain:
- Dr. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan rukhshah dengan ibarat[2],
‘Rukhshah adalah sebuah hukum yang disyari’atkan oleh Allah sebagai bentuk keringanan bagi orang mukallaf dalam keadaan tertentu yang menuntut adanya keringanan ini. Atau rukhshah adalah hukum yang disyariatkan oleh Allah dalam keadaan tertentu karena ada alasan yang memberatkan. Atau membolehkan sesuatu yang dilarang karena ada dalil, beserta adanya dalil yang melarang.’
Dalam uraian diatas Dr. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan rukhshah menjadi tiga bagian, namun dalam ketiga definisi ini terdapat persamaan yaitu sebuah keringanan hukum karena adanya Udzur Syar’i. Kami mempunyai beberapa anilisis tentang pendapat beliau. Pertama, beliau menjadikan rukshah sebagai sebuah keringanan hukum bagi mukallaf dalam keadaan tertentu yang menghendaki adanya keringanan tersebut. Kata-kata “dalam keadaan tertentu yang menghendaki adanya keringanan” ini, lebih cenderung kepada adanya udzur dalam keadaan tersebut, karena udzur disini adalah الحجة التي يعتذر بها yaitu sebuah hujjah yang bisa dijadikan sebuah alasan. Atau bisa dikatakan sebagai keadaan yang bisa menyebabkan adanya keringanan. Sebab tanpa adanya udzur maka sebuah keringanan hukum tidak akan ada.
Kedua, definisi kedua ini kami rasa cukup jelas karena sudah mewakili. Yaitu adanya sebuah hukum disebabkan adanya udzur yang memberatkan, udzur yang memberatkan di sini bisa dikatakan sebagai dlarurat, sedangkan keadaan dlarurat bisa membolehkan kita melakukan perbuatan yang dilarang. Sebagaimana ungkapan dari sebuah kaidah fiqh:
الضرورات تبيح المحظورات
‘Keadaan darurat bisa membolehkan hal-hal yag dilarang’
Namun meski demikian kata ‘dalam keadaan tertentu’ merupakan sebuah ta’kid dari apa yang telah diberitakan, sebab sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi, keadaan tertentu itu ada karena adanya alasan yang memberatkan.
Ketiga, definisi ketiga ini kami rasa mempunyai inti yang sama dengan kedua definisi diatas. Kata ‘istibahatul mahdhur’ ini mengindikasikan bahwa hukum ini merupakan sebuah keringanan dari perbuatan atau hukum yang sebelumnya dilarang. Namun, meski demikian dalil yang melarang masih tetap ada. Hal ini mirip dengan konsep naskhil hukmi faqad yaitu menasakh hukumnya saja tetapi tidak lafadznya.
- Dalam kitab Ushul Fiqh karangan Syaikh Muhammad Al-Hudri Bik[3], rukhshah digambarkan dengan sebuah hukum yang dikecualikan dari hukum asli yang bersifat kulli. Yaitu merupakan sebuah pengecualian dari hukum kulli (ijab, tahrim, sah atau batal) karena udzur yang menuntut untuk mencegah melakukan hukum asli secara mutlak tanpa pertimbangan hukum itu ada. Maka permodalan, pinjaman, irigasi, penetapan diyat atas ‘Aqilah (ahli waris) dan sebagainya masuk dalam definisi ini. Definisi diatas berdasarkan sebuah hadist, “Rasulullah melarang menjual barang yang tidak ada padamu, dan Rasul memberi dispensasi pada salam.”
Kalau kita contohkan kepada Qirodl (permudalan) hukum asal dari Qirodl adalah tidak boleh karena pada asalnya akad Qirodl adalah memberikan modal yang masih belum tentu dengan adanya modal itu sesorang yang diberi modal mendapat untung dari bisnis yang dilakukan dengan modal tersebut. Akan tetapi akad Qirodl ini dibolehkan karena adanya hajat[4]. Sedangkan hajat bisa menempati ditempatnya darurat.
- Menurut As-Syathiby, rukhshah merupakan bagian tersendiri dari bagian-bagian Mani’. Beliau menamakan rukhshah sebagai Al-Mawani’ allati Tarfa’u Al-Itsmy (beberapa mani’ yang dapat menghilangkan dosa).[5]
- Menurut Syaikh Zakaria Al-Anshory rukhshah adalah
الحكم إن تغير الى سهولة لعذر مع قيام السبب للحكم الأصلى فرخصة
Jika sebuah hukum berubah menjadi mudah (gampang) karena adanya sebuah alasan beserta adanya sebab bagi hukum asal maka hukum tersebut dinamakan rukhshah.
Dari defiinisi ini syaikh Zakaria Al-Anshory menamai hukum yang menjadi mudah karena ada alasan dari beberapa sebab yang berbeda terhadap hukum asli sebagai rukhshah.
Hukum Rukhshah
Kalau kita membicarakan tentang hukum maka pastinya kita membayangkan tentang wujub, nadb, hurmah, karohah dan ibahah. Lalu apa yang dimaksud dengan hukum rukhshah disini? Imam As-Syathiby[6] pernah berkata bahwa hukum Rukhshah adalah ibahah secara mutlak. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh beliau, antara lain:
- Ayat-ayat yang menjelaskan adanya rukhshah, antara lain:
“…tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[7] (QS. Al-Baqoroh : 173)
“…Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[8] (QS. Al-Maidah : 3)
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu)……”[9] (An-Nisa’ : 101)
Dan nash-nash lain yang menunjukkan kepada daf’ul haraj wal itsmi. Dari ayat yang telah disebut tadi terdapat rukhshah yang membolehkan terhadap perbuatan yang sebelumnya dilarang, karena adanya ‘udzur syar’i.
- Seandainya rukhshah adalah sebuah kewajiban atau sebuah kesunnahan maka hal tersebut merupakan azimah bukan rukhshah. Karena wajib itu adalah sebuah ketetapan yang pasti tanpa adanya pilihan.
- Pada asalnya rukhshah merupakan sebuah keringanan dan menghilangkan sebuah kesusahan sehingga orang mukallaf leluasa dalam memilih antara mengambil (melakukan) ‘Azimah atau Rukhshah, dan rukhshah ini pada asalnya adalah Ibahah (boleh).
Meski demikian terdapat beberapa hukum rukhshah jika dipandang dari segi hukum melakukannya, hal ini akan dibahas pada pembagian-pembagian Rukhshah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Syaikh Zakaria Al-Anshory bahwa hukum dari rukhshah bukan hanya semerta-merta adalah mubah saja namun hukum rukshah juga kadang kala Wajib, Mandub, Mubah, dan Khilaful Aula.[10]dengan ibarat,
….(فرخصة) أى فالحكم السهل المذكوريسمى رخصة وهي باسكان الخاء أكثر من ضمها لغة السهولة (واجبة ومندوبة ومباحة وخلاف الاولى)
Lafadz wajibatun, mandubatun dan seterusnya berkedudukan sebagai sifat yang menjelaskan tentang pembagian dari hukum-hukum rukhshah. Ini menunjukkan bahwa hukum rukhshah bukan hanya mubah saja tapi terdapat hukum-hukum lain dari rukhshah.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum Rukhshah ini ada karena adanya sebab (‘udzur syar’i). Dalam hal ini Dr. Muhammad Mahmud Al-Hariry dalam kitabnya menyebutkan beberapa sebab adanya keringanan dalam syari’at[11]. antara lain:
1. Perjalanan yang disyariatkan : seperti mengqoshor[12] sholat, berbuka bagi orang yang berpuasa, memfasahk ijaroh karena adanya udzur.
yang dimaksud dengan perjalanan yang disyariatkan disini adalah perjalanan yang mencapai jarak seseorang dapat megqoshor sholat dan bukan perjalanan yang dilatar belakangi oleh ma’siat.
2. Sakit : seperti tayammum ketika sulit untuk menggunakan air.
Ada beberapa ketentuan tentang sakit yang bisa dijadikan seabagai sebab (alasan) dari adanya rukhshah ini. Yaitu sakit yang memang benar-benar parah yang bisa menyebabkan sesorang ketika menyentuh air (dalam konteks contoh diatas) bisa menyebabkan dharar bagi orang tersebut.
3. Terpaksa : kalau tidak ada qishah bagi orang yang dipaksa menurut jumhur.
Maksud dari redaksi ini yaitu seandainya mengikuti ulama yang berpendapat bahwa orang yang terpaksa juga menadapat qishash dari apa yang dilakukannya, maka orang tersebut tidak termasuk dalam kategori ini. Contoh dalam konteks diatas hanya berlaku bagi pendapat yang mengikuti Jumhur Ulama.
4. Lupa : termasuk kemudahan ketika lupa, jika lupa ini terjadi dalam hal yang bisa mewajibkan adanya sangsi. Maka perbuatannya dikatakan sebagai syubhat beserta adanya lupa itu.
Dalam konteks ini, sesuatu yang tidak diperbolehkan yang jika melakukannya wajib disanksi, kemudian seseorang melakukannya dengan dasar lupa maka perbuatan yang dilakukan orang tersebut dikategorikan sebagai syubhat. Seperti watik syubhat yang dilakukan seseorang karena lupa.
5. Tidak tahu : sebagai sebab tidak adanya tanggungan.
Dalam hal ini bisa dicontohkan kepada orang yang sedang berburu dan ia tidak tahu bahwa hewan yang ia tembak/panah ternyata orang yang sedang tersesat di hutan maka ia tidak menanggung apa yang ia lakukan.
6. Sulit dihindari dan sering terjadi. Yaitu sesuatu yang menjadi sebab dari beberapa rukhshah yang terjadi diantaranya sholat bersamaan dengan najis yang dima’fu seperti darah cacar, bisul, darah nyamuk, nanah, nanah yang bercampur darah.
Dalam hal ini sudah jelas apa yang dimaksud ibarat yang telah tersebut di atas. Ketika seseorang melakukan sholat dengan terdapat salah satu dari darah baik di baju maupun dibadan mereka hal itu tidak apa-apa karena sebagai rukhshah bagi orang itu. Sebab keadaan-keadaan tersebut sulit sekali dihindari.
Macam-macam Rukhshah
Para Ulama’ Hanafiyah[13] mengelompokkan Rukhshah menjadi 2 macam, antara lain :
1. Rukhshah Tarfiih ( رخصة ترفيه )
Rukhshah Tarfiih disini adalah sebuah hukum yang menghendaki adanya sebuah keringanan namun hukum ‘azaimahnya tetap ada dan masih berlaku. Hukum rukhshah ini hanya sebuah keringanan bagi orang mukallaf saja, jika orang mukkalaf itu menginginkan untuk melakukan hukum rukhshah maka hal itu diperbolehkan, lebih-lebih melakukan hukum ‘azimahnya.
2. Rukhshah Isqot (رخصة إسقاط)
Dalam bagian rukhshah yang kedua ini (Rukhshah Isqot) para golongan Hanafiyah mendefinisikan sebagai rukhshah yang tidak memiliki hukum ‘azimah, yakni hukum ‘azimah ini dinasakh oleh hukum rukhshah yang datang sesudahnya. Lalu sesuatu yang menyebabkan terjadinya hukum rukhshah ini adalah keadaan yang menginginkan adanya sebuah keringanan itu.
[1] Definisi ini merupakan pendapat kami sebagai peneliti yang menggabungkan dari semua definsi yang ada sehingga menjadi sebuah definisi yang simple dan dapat dimengerti oleh pembaca.
[2] Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al-Qalam, Kuwait, tt. Hlm 121
[3] Syaikh Muhammad Al-Hudari Bik, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr, Bairut,1988. Hlm 65
[4] Syekh Zainuddin Al-Malibary, Fathul Mu’in, Al-Hidayah. Surabaya, hlm. 99
[5] Muhahhad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr, Bairut, tt. Hlm64
[6] Syaikh Muhammad Al-Hudari Bik, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr, Bairut,1988. Hlm 66
[7] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Al-Hidayah, Surabaya. 1998. Hlm 42
[8] Ibid. Hlm 157
[9] Ibid. hlm. 137-138
[10] Zakaria Al-Anshory, Ghayatu Al-Wushul Syarhu Lubbu Al-Ushul. Al-Hidayah. Surabaya : tt. Hlm. 18
[11] Dr. Ibrahim Muhammad Mahmud Al-Hariry, Al-Madkhal Ila Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Al-Kulliyah, Dar Al-Ghiffar, Amman.1998. Hlm 100
[12] Menurut Pendapat jumhur arti qashar di sini Ialah: sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, Yaitu di waktu bepergian dalam Keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, Yaitu di waktu dalam perjalanan dalam Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam Keadaan khauf di waktu hadhar.
[13]Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al-Qalam, Kuwait, tt. Hlm 123