Saat itu tanggal 28 Oktober 2008, hari sumpah pemuda. Pada jam menunjukkan pukul 13:00, lalu terdengar “Diumumkan kepada semua santri, atas intruksi pengasuh sekarang juga diharap berkumpul di Aula Putra”. Dengan penuh kepatuhan para santri berbondong-bondong menuju aula, dan dengan sekejap auditorium berkapasitas empat ribu orang itu dipenuhi oleh para santri. Di kursi depan, seorang kyai telah duduk dengan penuh kewibawaan. Pandangannya tertuju pada para santrinya yang telah duduk dengan rapi dan siap mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh kyainya.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb”, itulah kata yang terucap dari sang kyai. Semua pandangan santri tertuju pada kyai. Kemudian kyai menceritakan kenapa beliau mengumpulkan para santri dan untuk apa dikumpulkan. Intinya beliau menyampaikan bahwa santri ikut berbondong bersama beliau melakukan demontrasi demi menegakkan hukum yang sudah dikoyakkan oleh segelintir orang. Dengan penuh semangat para santri mengiyakan. “Kalian jangan pulang sebelum saya perintahkan untuk pulang. Sekarang kembali ke kamarnya untuk siap-siap dan langsung menuju jalan selatan”. Demikianlah pesan terakhir sebelum ditutup dengan salam.
Selanjutnya para santri berbondong-bondong menuju jalan selatan dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana mereka memberhentikan truk-truk yang kosong untuk sebagai tumpangan, sebab ada anggapan bahwa mereka akan melakukan demontrasi di Situbondo. Akan tetapi mereka tahu bahwa tidak akan melakukan demontrasi di Situbondo, tapi barat hutan, tepatnya di sekitar Balitas. Tempat ini memang cukup strategis untuk memblokir jalan, karena tidak ada jalan alternatif lagi. Sehingga jalur pantura tidak bisa dilewati. Bedahalnya kalau dilakukan di Situbondo, pasti banyak jalan yang bisa dilalui, untuk tetap melewati jalur pantura.
Dalam hitungan menit, jalan raya di sekitar Balitas dipenuhi santri. Secara otomatis kendaraan tidak bisa lewat, semuanya diberhentikan, dan tidak ada kendaraan yang berani menerobos kerumunan santri di jalan raya. Jadi walaupun jengkel, para pengendara pasti dengan sabar memberhentikan kendaraanya.
Santri yang sudah berkumpul di jalan, langsung melakukan oransi dengan menggunakan pengeras suara yang sudah disediakan. Sampai kemudian datanglah Kapolres Situbondo. Dia berdialog dengan para santri dan intinya meminta santri untuk membuka jalan. Tentu permintaan ini tidak langsung diamini.
Di tengah dialog yang berlangsung, Kya Fawaid datang dengan menggunakan mobil yang biasa dipakai untuk mengelilingi pesantren. Ditemani seorang sopir, beliau menuju kerumunan santri yang sedang berdiaolog Kapolres. Lalu kapolres menghadap kyai, sedangkan kyai masih duduk di mobilnya. Sambil sedikit membungkuk, kapolres minta kyai menggagalkan aksinya dan kembali membuka jalan. Tapi ketika itu dengan tegas kyai bilang, “Saya tidak akan pindah dari tempat ini sampai Ismu ke sini dan meminta maaf”. Karena merasa bahwa segala bujuk rayunya tidak akan berhasil, kapolres kembali lagi ke Situbondo.
Setelah kepergian kapolres, Kyai dan para santri terus menduduki jalan raya. Orasi-orasi terus terdengar. Santri yang lain duduk sambil ngobrol-ngbrol di tengah jalan. Kyai juga duduk santai sambil memperhatikan santri dan sesekali berbincang dengan para orang terdekatnya.
Tepat di sebelah barat para santri, para brimob berjaga-jaga. Kalau diperhatikan ini termasuk aneh, pada biasanya mereka bisa membubarkan paksa demontrasi. Mereka bisa dengan menggunakan segala cara bagaimana para demontrasi minggir dari jalan raya. Hal ini mengingat bahwa demontrasi yang dilakukan ini sudah mengganggu fasilitas umum, apalagi yang fasilitas yang sangat fital, yaitu jalur pantura. Tapi mungkin karena masih memandang kepada Kyai, sehingga mereka tidak berani untuk membubarkan demontrasi.
Selama di lokasi demontrasi, para santri melakukan shalat berjamaah sebagaimana biasa. Jadi ketika waktu shalat, maka dengan serempak akan shalat secara berjamaah. Tidak ada alasan untuk meninggalkan jamaah, apalagi kalau sampai tidak shalat. Seperti yang dilakukan oleh para demonstran yang lain, yang biasanya mereka akan melupakan kewajiban agama.
Pada malam harinya, beberapa LSM juga bergabung. Ketua MUI Situbondo juga ikut nimbrung bersama Kyai. Bahkan KH. Nur Muhammad Iskandar SQ juga sempat menyampaikan orasi. Terkadang istigashah dikumandangkan, kadang juga shalawat.
Saat sudah agak larut malam, kyai mempersilahkan para santri untuk tidur. “Sudah sekarang kalian tidur. Saya yang akan menjaga. Tapi nanti gantian kalian yang menjaga saya”. Santri yang merasa ngantuk pun akhirnya tidur di tengah jalan raya dengan alasa seadanya. Rasa dingin tidak dihiraukan. Ini merupakan kesempatan langka, sebab jarang sekali ada kesempatan untuk tidur di jalan raya. Kalau tidak ketika, lantas kapan lagi.
Pada malam itu tidak semua santri tidur, ada juga yang “mele’an”, sambil ngopi. Kyai sempat tidur saat itu tapi hanya sebentar. Tidurnya Kyai sama dengan para santri. Bukan lantas beliau pulang, tapi juga tidur di tengah jalan raya dan tidak beralaskan kasur. Jadi memang sama dengan para santri. Beliau tidak mengistimewakan dirinya sendiri.
Tiba waktu subuh, para santri bangun dan langsung mengambil wudhu’, dan dilanjutkan dengan shalat berjamaah. Kemudian para santri melakukan kegiatan masing-masing di tempat itu, sambil menunggu kiriman nasi sebagai sarapan. Semua itu berjalan seperti itu selama seharian. Terik panas matahari tidak dihiraukan. Untungnya juga masih dinaungi pohon asam, sehingga tidak terlalu panas.
Para santri mengisi hari-hari itu dengan daya kreatifitasnya mereka sendiri. Ada yang berorasi, membuat replika bupati yang digantung, ngobrol dan lainnya. Kyai pun juga masih tetap duduk di tengah para santri. Bahkan semua keluarga beliau dan para wakil pengasuh juga berkumpul mendampingi Kyai. Kyai Afif pun sempat membuat puisi yang kemudian dibaca oleh santri dengan menggunakan pengeras. Puisi itu menggambarkan bagaimana bahayanya pemimpin yang tidak lagi memperhatikan rakyat, pemimpin yang hanya ingin memperkaya dirinya sendiri dengan korupsi.
Selama seharian pada waktu itu, semua santri masih tetap bertahan di jalan raya, begitu juga dengan kyai. Kyai hanya beranjak dari tempat demontrasi saat pergi ke Situbondo untuk bernegosiasi dengan pihak kepolisian tentang masalah bupati. Dari situlah akhirnya demontrasi dihentikan. Sebab kyai sudah mendapatkan kepastian bahwa bupati Ismunarso akan disidik. Tepat sekitar pukul 20:30, Kyai memerintahkan santri untuk kembali ke pondok. “Drama” demontrasi di jalan raya berhenti sampai saat itu.
Dengan berakhirnya pemblokiran jalan inilah, ribuan kendaraan yang sempat tertahan selama 30 jam bisa melanjutkan perjalanannya. Tentu bagi mereka ini sangat merugikan, karena pekerjaan mereka tertunda. Tapi ketika mereka melintas dengan pelan saat kerumunan santri masih memadati pinggir jalan, mereka melambaikan tangan sambil tersenyum. Seakan-akan mereka tidak merasa rugi dengan adanya pemblokiran itu.
Lantas, apa yang bisa diserap dari kisah pemblokiran ini?. Hikmah apa saja yang bisa dipetik?. Terlalu egoiskan Kyai Fawaid dengan mengorbankan kepentingan pengguna jalan raya?.
Salah satu hal yang bisa dijadikan bahan renungan dari kisah tersebut ialah bagaimana perjuangan seorang Kyai yang tidak hanya mementingkan santrinya dengan pendidikan agama, hanya mengajarkan tentang keislaman, dan tidak mau tahu dengan kondisi luar. Kisah seorang Kyai yang sangat memperhatikan kepada kinerja penguasa. Kyai yang sangat peduli pada nasib masyarakat umum. Kyai yang bersikap tegas untuk menindak kezhaliman penguasa.
Pemblokiran jalan umum, ini bukanlah tanpa alasan. Tapi sudah melalui proses yang panjang. Beliau tidak mungkin dengan rasa egoisme yang tinggi lalu seenaknya sendiri memblokir jalan. Sebelum melakukan pemblokiran beliau sudah melakukan cara-cara yang halus. Beliau sudah bertemu dengan aparat penegak hukum untuk mengusut kasus korupsi Bupati, tapi semua tidak ada yang menghiraukan. Seakan-akan hal itu bukanlah hal yang penting. Padahal kasus ini merugikan negara sebanyak 45 Miliar. Tentu ini uang yang sangat banyak, terlebih bagi Situbondo, yang termasuk kabupaten miskin di Jawa Timur ini. Karena cara-cara halus tidak dihiraukan, maka beliau mengambil langkah tegas dengan memblokir jalan.
Saat pemblokiran jalan, beliau tidak lantas mengerahkan semua masa, tapi hanya santri yang diajak. Padahal kalau mau, beliau bisa mengajak masyarakat untuk bersama-sama beliau, dan pasti masyarakat akan mau mengikuti ajakan beliau, karena beliau termasuk orang berpengaruh di Situbondo. Alasan tidak diikutsertakannya masyarakat ini ialah karena beliau menyadari bahwa mereka mempunyai pekerjaan masing-masing. Para laki-laki harus menghidupi keluarganya. Sehingga kalau ikut diajak, siapa yang mau memenuhi kebutuhannya. Begitu sangat pengertiannya beliau pada masyarakat.
Di samping itu, pemblokiran ini menimbulkan efek negatif, yakni terhentinya aktifitas di jalan raya, dan tentu sangat merugikan. Namun karena inilah jalan satu-satunya maka apapun resikonya tetap dijalani. Apalagi kalau dibandingkan dengan kerugian akibat korupsi, lebih besar kerugian akibat korupsi itu. Sebab kalau koruptor itu masih tetap tidak ditindak tegas, maka dia akan terus menerus korupsi. Sehingga kerugiannya bukan lagi 45 miliar, tapi bisa bertambah hingga ratusan.
Sebagai cermin perlawanan koruptor langkah Kyai ini perlu ditiru. Bukan dari segi pemblokiran jalan, melainkan sisi perjuangan beliau untuk memberantas korupsi. Mengenai caranya, bisa disesuaikan dengan kondisi. Dan Langkah beliau ini membuat citra beliau sebagai Kyai yang  mempunyai keberanian tinggi dalam hal memberantas korupsi. Tidak ada Kyai manapun yang segigih beliau dalam melakukan hal itu. “Ya, di sini enak, karena Kyainya pemberani”, begitulah salah satu ketua LSM di bidang korupsi saat membandingkan kondisi daerahnya dengan di sini.
Sekarang, Ismunarso sudah menempati kamar berpagar besi akibat perbuatannya. Aksi itu pun sudah berlalu 2 tahun yang lalu. Sebagai seorang bangsa yang berpendidikan, hal itu bisa dijadikan pelajaran. Mantapkan diri untuk menolak segala jenis korupsi. Tidak boleh tergoda kebahagiaan di tengah kesengsaraan orang lain. Sehingga pada akhirnya nanti korupsi akan betul-betul lenyap dari bumi pertiwi ini.
Sumber Gambar: Pelaut.com