Puasa dan Hari Raya, Mengapa harus Bingung???

0
786

“…..barangsiapa diantara kalian yang telah menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa…..” (QS. Al-Baqoroh: 185)

“ berpuasalah kalian karena ru’yah (melihat hilal) dan ber’idul fithrilah kalian karena ru’yah (melihat hilal). Apabila terhalang atas kalian (dari melihatnya), maka tentukanlah bulan itu 30 hari” (HR. Bukhori 1906; Muslim 1080 dari Ibnu Umar)

Hampir setiap tahun, kaum muslimin di negeri ini selalu dihebohkan dengan perbedaan awal puasa Ramadhandan ‘idul fitri. Hal itu tidak lepas dari sebahagian besar umat Islam yang memiliki cara pandang yang berbeda dalam menetapkan awal masuknya bulan Ramadhandan Syawal. Di artikel ini, kita akan kupas masing-masing cara pandang tersebut. Firman Allah ta’ala : “….. Apabila kalian berselisih terhadap suatu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan RosulNya….. “ (QS. An-Nisa: 59)

Islam memiliki standar penanggalan sendiri. Sistem penanggalan tersebut ditetapkan menurut peredaran bulan sehingga disebut bulan Qomariyah dan dimulai penghitungan awal tahunnya dari sejak hijrahnya Nabi ke Madinah sehingga disebut juga kalender atau tahun Hijriyah. System penanggalan ini dibuat pada masa amirul mu’minin al-Faruq Umar bin Khoththob atas inisiatif beliau sendiri.

Dalam system kalender Hijriyah, masuknya bulan baru ditandai dengan munculnya hilal. Hilal adalah bulan sabit termuda yang muncul di ufuk sesaat sebelum matahari terbenam. Hilal biasa muncul pada saat petang pada hari ke-29 diakhir bulan yang bersangkutan dan malamnya akan di hitung sebagai tanggal 1 (awal bulan) jika hilal memang benar-benar terlihat. Allah berfirman:“ Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: Ia (hilal) adalah pertanda waktu bagi manusia dan (waktu) haji…..” (QS. Al-Baqoroh:189). Allah sendirilah yang menetapkan hilal sebagai pertanda waktu bagi agamaNya dan kaum muslimin.

Secara umum umat Islam di negeri ini terbagi 2 kelompok dalam menyikapi adanya hilal dan keterkaitannya terhadap syari’at. Sekelompok memegang teguh ru’yatul hilal dan istikmal, inilah yang paling banyak. Sedangkan sekelompok lagi memakai hisab falaki.

Ru’yatul hilal dan istikmal tidak bisa dipisahkan, karena istikmal adalah bagian dari ru’yatul hilal. Ru’yatul hilal (ru’yah) secara syari’at adalah penetapan awal bulan yang berpedoman dengan penyaksian hilal secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat, sedangkan istikmal adalah penggenapan bulan menjadi 30 hari disebabkan tidak terlihatnya hilal, baik karena tertutup awan, mendung, debu, maupun faktor alam lainnya. Adapun hisab falaki ialah penetapan awal bulan yang berpedoman dengan perhitungan astronomis matematis yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri dalam perhitungannya. Cara ini tidak mensyaratkan penyaksian hilal, tetapi hanya wujud hilal itu sendiri. Terlihat atau tidaknya bulan tetap dihitung, karena yang dipedomani adalah keberadaan hilal, bukan penyaksiannya. Hilal tetap dianggap ada, meskipun tidak terlihat sama sekali dengan alasan perhitungan.

Hilal dan Hisab serta Penerapannya

Para ulama salaf terdahulu dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’it tabi’in hanya memakai ru’yatul hilal dalam menentukan masuknya bulan Ramadhandan Syawal sebagai bentuk pengamalan atas firman Allah: ”…..barangsiapa yang menyaksikan (tanda masuknya) bulan diantara kalian, maka hendaklah ia berpuasa…” (QS. Al-Baqoroh: 189) dan pelaksanaan terhadap sabda Rosululloh: “ janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber’idul fithri hingga kalian melihat hilal…” (HR. Bukhori 1906; Muslim 1080 dari Abdulloh bin Umar). Apabila hilal tiada terlihat, mereka hanya menggenapkan bulan menjadi 30 hari ( istikmal) sebagai wujud penerapan atas titah Nabi: “…..apabila hilal terhalang atas kalian (melihatnya), maka tentukanlah untuk bulan itu 30 hari” (HR. Muslim 1080, dari Ibnu Umar). Keadaan itu terus berlanjut seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu syari’ah dan duniawiyah. Namun, para pakar fiqh tetap konsisten dalam memakai ru’yah dan menjabarkannya dalam karya-karya mereka meskipun ilmu-ilmu perhitungan dan kebumian telah berkembang pesat waktu itu. Mereka hanya berselisih seputar persaksian hilal, mathla’ (jangkauan berlakunya) hilal, dan kewajiban bagi seseorang yang telah melihat hilal.

Adapun metode hisab falaki baru diterapkan pada sekitar abad ke-17 yang dipelopori oleh Tajuddin as-Subki asy-Syafi’i ketika menjabat sebagai mufti di Damaskus (Syria). Gagasan  ini sebenarnya sudah muncul jauh sebelum as-Subki memulainya. Hal itu disebabkan sebahagian ahli fiqh mulai dirasuki virus Mu’tazilah dan Syiah Rofidhoh yang menafsirkan nash-nash syari’at dengan rasionalitas semata tanpa melihat kepada pengamalan para sahabat dan ulama-ulama salaf terhadap nash-nash itu.Gagasan as-Subki ini ditentang rekan-rekannya sendiri dari kalangan madzhab Syafi’I karena telah menyelisihi ijtihad imam Syafi’i dan imam-imam fiqh lainnya. Hanya golongan Rofidhoh yang setuju dengan hisab falaki, dan Rofidhoh bukan bagian dari kaum muslimin.

Hilal (Ru’yah) dan Hisab dalam Timbangan Syariat

Tentang hilal Allah telah berfirman: “ mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: hilal adalah pertanda waktu bagi manusia dan (waktu) haji….” (QS. Al-Baqoroh: 189). Begitu juga dengan firmanNya: “…..barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan (masuknya) bulan, maka hendaklah ia berpuasa…. “ (QS. Al-Baqoroh: 185) , kemudian diperkuat lagi oleh sabda Nabi: “ berpuasalah kalian karena ru’yah (melihat hilal) dan ber’idul fithrilah kalian karena ru’yah (melihat hilal). Apabila terhalang atas kalian (dari melihatnya), maka tentukanlah bulan itu 30 hari” (HR. Bukhori 1906; Muslim 1080 dari Ibnu Umar). Ini juga diperkuat dengan ijma’  (kesepakatan) ulama salafushsholeh sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafidzh Ibnu Hajar dari al- Imam al- Baji ( Fathul Bari, hadits no. 1913).

Perihal hisab falaki Allah berfirman: “Dialah yang telah menjadikan matahari sebagai pelita dan bulan sebagai penerang dan membuatnya beredar agar kalian mengetahui jumlah tahun dan hisab (perhitungan)…..” (QS. Yunus: 5). Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu hisab telah ada pada awal-awal Islam. Konon ilmu hisab ini sudah diterapkan oleh bangsa Persia dan Romawi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Rosululloh dan para sahabat beliau tidak menjadikan ilmu hisab sebagai pedoman dalam menentukan awal bulan, padahal ilmu hisab telah berkembang pada masa beliau??? Mengapa juga Allah tetap mensyaratkan penyaksian manusia agar dapat berpuasa, sementara Allah telah mengakui adanya hisab dan kemampuan manusia dalam menghitung perederan bulan???  Hal ini menunjukkan bahwa yang dituntut syariat ialah adanya keberadaa wujud hilal dan  penyaksian hilal oleh manusia sebagaimana yang ditunjukkan oleh lahiriah ayat (QS. Al-Baqoroh: 185) dan sabda Rosululloh yang masyhur. Bukan sekedar keberadaan hilal itu saja, sebab jika yang dimaksud adalah keberadaan hilal itu saja, tanpa ada penyaksian dengan mata kepala manusia maka apalah arti firman Allah: “…..barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan (masuknya) bulan, maka hendaklah ia berpuasa…. “ (QS. Al-Baqoroh: 185) dan sabda Rosululloh yang begitu banyak menyangkut tentang hilal tidak akan ada nilainya lagi. Walhasil, para penggetol ilmu hisab falaki telah berani menggugat wahyu dan menghapusnya tanpa haq sedikitpun, padahal Rosululloh sendiri tidak pernah bersabda tentang hisab, kecuali hisab (perhitungan) untuk faraidh (warisan). Allah berfirman: “ Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan RosulNya…” (QS. Al-Hujurot: 1)

Kita juga sama-sama tahu bahwa tidak ada seorangpun yang lebih mengerti syariat-syariat Allah kecuali Rosululloh dan tidak ada yang faham tentang segala perkataan dan perbuatan Rosululloh kecuali para sahabat Rosululloh. Lihatlah kisah berikut!!! Berkata Ibnu Umar: “Orang-orang melihat hilal,maka aku beritahukan kepada beliau tentang hal itu bahwa aku juga telah melihatnya. Rosululloh pun berpuasa dan memerintahkan orang banyak untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud dan Hakim. Lihat  Rowani’ul Bayan, Muhammad ‘Ali ash-Shobuni I/211). Perhatikanlah! Bahkan Nabi sendiri tidak tahu kapan berpuasa kecuali dengan kesaksian hilal oleh seorang shahabatnya, padahal Nabi selalu dalam bimbingan wahyu Allah dan lebih mengerti tentang ilmu-ilmu Allah. Sedangkan para penggiat hisab falaki hari ini telah dapat memastikan kapan mereka harus berpuasa dan berhari raya mulai tahun ini 1,2, 10 tahun hingga bertahun-tahun yang akan datang. Sugguh ajaib!!! Mereka telah berani mengungguli wahyu dan syariat Allah dan RosulNya semata-mata karena perhitungan akal mereka. Jika demikian adanya, bukan saja mereka sudah merasa lebih berilmu dari Nabi dan sebaik-sebaik generasi (para sahabat), tetapi mereka juga membuat berhala baru disamping Allah. Berhala itu adalah Hisab Falaki….

Kembali kepada Syariat Rosululloh

Mari kita bersama-sama renunkan Firman Allah dan sabda nabi berikut ini:

“ Perkataan orang-orang mu’min ketika mereka diseru kepada Allah dan RosulNya, agar (Rosul) memutuskan hukum diantara mereka ialah kami dengar dan kami ta’at. Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An-Nur: 50).

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia berada dalam kesesatannya dan Kami akan masukkan ia ke Jahannam. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).

“ aku tinggalkan atas kalian 2 perkara, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selama kalian memegangnya: Kitabulloh dan sunnah NabiNya”  (HR. Malik)

“…. Barangsiapa yang hidup diantara kalian (sesudahku), niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian (berpegang) kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur- rosyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu…..” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Tirmidzi mengatakan hadist hasan shohih, dari Irbadh bin Sariyah. Arba’in Nawawiyah hadits ke 28).

Pemakaian hisab falaki dalam penetapan ibadah bulan Ramadhandan Syawal bukanlah termasuk dari syariat Nabi, dan bukan pula pengamalan para shahabat Nabi. Bukan juga hasil ijtihad imam yang 4 ( Abu Hanafi, Malik, Syafi’I, dan Ibnu Hanbal) serta para imam ahli hadits dan fiqh. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi para pengusung ilmu hisab falaki kecuali meninggalkan berhala tersebut dan kembali ke ru’yatul hilal yang sesuai dengan syariat Allah dan RosulNya serta ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Walloohu a’lam bish-showaab

By: Fatria Ananda

Image: Tempo

Tinggalkan Balasan