Sebagai muslim pasti kata “syi’ar” sudah tidak asing lagi di telinga kita. Yaitu, “syi’ar menyebarkan agama islam”. Dan dari kata – kata itu juga mengingatkan kita kepada sabda Nabi kita Shallallahu’alaihiwasallam “Sampaikanlah walau satu ayat”. Walaupun hanya “qul huwa Allahu ahad”, yang artinya “katakanlah Allah itu satu”. Kita telah memenuhi perintah Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam. Dan dengan izin Allah, jika kita ikhlas dan bersungguh-sungguh menyampaikannya karena Allah dan Rasul-Nya, akan tercatat sebagai sebuah kebaikan. Dan akan terus mengalir pahala dari orang yang telah mendengar darinya kemudian ia mengamalkannya (beriman), tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.
Syi’ar itu sendiri selamanya tidak akan pernah salah, tapi tidak selamanya caranya dibenarkan. Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam adalah sosok teladan terbaik dalam menyampaikan dakwahnya, bahkan teladan segala perbuatan. Beliau tidak pernah menggunakan kekerasan, justeru beliau yang yang selalu menerima pemberontakan, cacian dan makian. Dakwah beliau lembut, penuh rasa kasih sayang, tidak ada paksaan. Karena kewajiban beliau hanya menyampaikan, dan hidayah itu hanya kehendak Allah ‘AzzawaJalla semata. Dan langkah beliau juga tidak pernah tergeser sedikitpun dari syari’at Allah. Karena beliaulah sang pembawa risalah-Nya.
Sekarang, apakah cara kita menyampaikan suatu kebenaran sudah sesuai dengan cara beliau Shallallahu’alaihiwasallam? Atau paling tidak sedikit mencontohnya? Atau kita lebih mementingkan ambisi kita tanpa memperdulikan bagaimana caranya?.
Seperti yang sudah disebutkan diatas, kita harus selalu ingat bahwa hidayah itu hak Allah. Terlepas dari tanggung jawab kita, ketika kita telah menyampaikan kebenaran tapi dia tidak mau melaksakannya. Berbeda dengan ketika ada yang melakukan kesalahan tapi kita tidak mau membenarkannya. Itu sudah jelas menjadi tanggung jawab kita. Dan akan menjadi sebuah kesalahan besar ketika kita diam saja. Mengapa? bukankah kita tidak melakukan kesalahn? Bukan karena kita tidak ada hubungannya dengan yang ia lakukan, tapi seolah-olah kita ridho dengan kesalahan yang ia perbuat. Dan ketika itu juga akan datang orang-orang yang mengikutinya, hanya karena dulu kita tidak mencoba mencegahnya. Sanggupkah kita menanggungnya? Bukankah akan lebih ringan jika kita telah menyampaikan yang benar. Setidaknya kita sudah menggugurkan kewajiban dan lepas dari tanggung jawab.
Tetapi bukan juga dengan cara yang tidak selayaknya orang islam lakukan. Harus kita ingat, dakwah Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam adalah dakwah yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Tidak akan menyerang sebelum diserang.
“Yassiruu walaa tunaffiruu” begitu pesan Nabi kepada para shahabatnya ketika mereka hendak menyebarkan agama Islam. Mudahkan dan jangan buat mereka membenci kita, begitu kira-kira secuil dari isi pesan Nabi tersebut. Tujuan kita hanyalah untuk menyampaikan dakwah, bukan memberi hidayah.
Ajak hati kita untuk berpikir sebelum melakukannya. Ketika semangat dakwah berkobar kita menghalalkan darah siapa saja, baik itu orang kafir, orang muslim, bahkan dirinya sendiri. Apakah seperti itu dakwah Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam? Apa yang akan mereka katakan tentang kita? Apakah mereka masih mau mendengarkan syi’ar kita, atau mereka akan segera menutup telinga ketika mendengar kata “Islam”?. Apakah yang terbesit di pikiran mereka hanya “ Islam agama teroris”, “Islam bukan agama damai”, “Islam agama kekerasan”? Apa yang akan kita katakan nanti kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam? Inikah balasan dari sekian tahun beliau dan para shahabatnya menghidupkan cahaya Islam?.
Amal baik itu akan diterima jika kita melaksankannya dengan ikhlas. Dan hal yang terpenting adalah sesuai dengan syari’at Allah. Jika kita membuka mata lebar-lebar dan melihat detailnya syari’at Allah, amal baik itu tidak akan ternodai karena langkah kita yang keluar dari aturanNya. Begitu juga dalam syi’ar, bahkan kita harus benar-benar teliti. Tidak membuat mereka menghindar dari kita. Tapi bukan berarti kita dibutakan dengan hal yang membuat mereka mau mendekat, hanya karena cara kita yang sesuai dengan hawa nafsu dan kehendak mereka, tapi jelas keluar dari syari’at.
Kelemahan muslimin di zaman ini dalam mengenal agamanya sendiri ini sudah terlihat jelas. Apa kita juga akan menebalkan tirai penghalang antara syari’at dengan kaum kita.
Seperti hijab diantaranya, syari’at islam yang hanya terlihat samar-samar oleh umat kita, khususnya di Negara kita Indonesia. Mengajak para muslimah untuk berhijab itu bagian dari tanggung jawab kita. Tanpa menutup kebenaran syari’at dari mereka. Tapi mirisnya dari kenyataan yang ada, masyarakat kita terlalu latah dengan sesuatu yang tenar. Dengan cepat kilat semuanya serempak mengikuti tren yang masih hangat. Tidak ada rasa keberatan, ringan menjalankannya dan sangat menyukainya ketika hampir semua orang menganggapnya baik dan indah. Saat dia membutakan dunia dan membuat kita terpesona dengannya. Apalagi ketika dia membawanya dengan syi’ar dakwah Islam. Padahal jika dilihat dengan kacamata syari’at, tidak sesuai. Dan bagi mereka yang sesuai dengan syari’at itu hanya sebuah kefanatikkan dan berlebih-lebihan.
Apakah kita juga tetap tergiur dengan ketenaran yang diagung-agungkan banyak orang? Apa kita tetap bangga dengan apa yang kita bawa dengan nama syi’ar Islam? Tanpa mau menyadari dimana letak kesalahannya. Apa sudah seharusnya kita merasa cukup tanpa tau apa yang ulama (4 madzhab) kita katakan? Apa kita tidak pernah tahu yang sebenarnya dan tidak ada yang memberi tahu kita? Atau kita yang tidak mau tahu dan menutup pintu untuk sebuah kebenaran?.
Dan syi’ar kita harus tetap tegap dengan syari’at-Nya. Yang selalu menjadi hal terpenting bukan hanya dalam syi’ar, tapi kita sebagai umat Islam. Jangan melihat kesalahan yang ada sekeliling kita dengan pandangan meremehkan. Tapi pandanglah mereka dengan pandangan kasih sayang. Karena dakwah yang sebenarnya itu yang datang dari hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Seperti hati Nabi tercinta kita Shallallahu’alaihiwasallam yang kesabarannya tiada batas, ketika menghadapi perlakuan kaum Bani Tsaqif.
Telah disadari, bukan karena si penulis adalah orang yang paling benar. Tapi ini hanya bagian dari kewajiban menyampaikan suatu kebenaran dari orang-orang yang menyampaikan kebenaran kepadanya. Izinkan coretan sederhana ini bukan hanya sekedar dipandang dengan mata, tapi akal dan juga hati. Dan semua ini, semata juga untuk mengingatkan diri sendiri.
Dan kami pun mengakui bahwa, tidak menutup kemungkinan jika yang disampaikan masih ada banyak kesalahan dan kekhilafan yang perlu dikoreksi kembali.
Astaghfirullaha min qoulin bila ‘amalin, laqad nasabtu bihi naslan lidzi ‘uqumi (bait Qoshidah Burdah, alfashlu atasani fi attahdziiri min hawa annafsi). (Author: Lutfi Irmawati, img: fZ-aumdQ3ls)