(Cerpen) Kekuranganku Meraih Cinta Sejati

0
553

Semilir angin malam memasuki pori-pori wajahku, menyibak tabir kenangan masa silam yang telah mengubah rotasi kehidupanku. Bagaimana tidak, semenjak kecelakaan satu tahun yang lalu, menyebabkan aku harus kehilangan kaki kiriku. Memang tidak semuanya, ‘hanya’ mulai pergelangan sampai telapak kaki. Hanya,,,sebuah kata yang mengantarkanku agar tetap bersyukur karena bagian tubuhku yang lain masih utuh. Kecelakaan menimpaku sesaat ketika aku kembali dari sebuah toko buku. Angkot yang ku tumpangi tiba-tiba menabrak pembatas jalan dan terbalik. Beruntungnya, dari semua orang yang ada di mobil itu hanya aku satu-satunya yang harus kehilangan sebagian tubuhku. Aku katakan beruntung karena supir dan penumpang yang lain hanya luka ringan. Dan untungnya lagi buku-buku yang sempat aku beli sehat wal afiat dan mengantarkan aku berhasil meraih gelar sarjanaku. Walaupun harus memakai tongkat lalu-lalang di kampus, tapi itu tak menurunkan semangatku. Karena aku tahu bahwa ada rahasia Allah di balik semua itu.

Diejek atau dicemooh oleh orang? Ya, tentu pernah. Tapi tak mengapa, toh itu cuma masa lalu saja. Alhamdulillah, sekarang aku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Aku tidak perlu lagi menjadi beban bagi orang tuaku. Bahkan dengan gaji yang ku terima, aku bisa membiayai adikku untuk menyelesaikan kuliahnya.

Namun, yang menjadi pemikiranku saat ini, dengan keterbatasan yang aku miliki adakah insan yang bersedia menjadikanku sebagai pendamping hidupnya? Bagaimana tidak, laki-laki yang telah melamarku setelah aku berhasil meraih sarjanaku, membatalkan janjinya begitu saja karena tidak bisa menerima keadaanku yang tidak utuh lagi alias cacat. Tak dapat dipungkiri, sang ibu juga sama khawatirnya denganku. Mengingat usiaku yang dua tahun lagi memasuki kepala 30 sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda ada yang mau mengkhitbah. Jangankan orang lain, keluarga sendiri pun sepertinya enggan menjadikanku sebagai menantu.

“Mba Fani sabar aja ya. Insya Allah akan ada seseorang yang Allah siapkan untuk Mba”. Kata adikku Farah sesaat setelah calon suamiku membatalkan janjinya.

“Iya, sabar ya sayang”. Kak Fikri pun turut memberiku dukungan.

Suatu hari, aku duduk di teras rumah sambil membaca buku. Karena hari itu adalah hari libur kantorku. “Mba Fani, mau tidak aku kenalkan dengan seseorang?” Farah tiba-tiba muncul di hadapanku.

“Seseorang? Siapa? Terus, untuk apa?” Tanyaku yang masih sibuk membolak-balik halaman buku.

“Yang jelasnya seorang laki-laki, Mba’.  Farah mengambil buku dari tanganku.

“Aku tahu apa tujuanmu. Terima kasih, Farah sayang. Tapi kamu tidak  perlu repot-repot. Pikirkan saja dirimu sendiri. Jangan tahunya cuma menolak orang”. Kataku sambil mencubit pipinya yang tembem.

“Pokoknya kali ini kakak jangan menghindar! Dia akan datang pukul 11.00 pagi ini”. Diapun bergegas pergi.

Aku tersentak ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 10.45. Itu artinya 15 menit lagi orang itu akan datang. Ibu yang sudah mengetahui hal itu tersenyum melihat tingkahku yang kelimpungan.

Beberapa menit kemudian, orang yang dimaksud pun datang. Ketika pertama melihatnya, timbul pertanyaan dalam benakku, “Akan kah dia siap menerima kekuranganku ini?”

Di mataku, dia adalah sosok yang sempurna. Wajahnya, postur tubuhnya dan semua hal tentangnya. Dan bagiku, yang tepat untuk mendapatkan insan ini adalah Farah, adikku sendiri.

Awalnya aku menolak cara ta’aruf yang telah disusun oleh keluargaku. Namun, untuk tetap menghargai mereka, aku patuh saja tapi tetap dalam batas-batas yang di syari’atkan oleh agama, Insya Allah.

“Silahkan Mas Raihan mengungkapkan apa yang ingin Anda ungkapkan”. Kataku memulai pembicaraan. Dari raut wajahnya, terlihat ada sesuatu hal yang tersimpan yang ingin dia ungkapkan.

“Hmm..eee…anu Mba.. Maksudku, Fani. Maaf sebelumnya. Tapi aku mau jujur bahwa dari awal aku merasa Allah mengerakkan hatiku kepada adikmu, Farah. Jauh sebelum dia berniat memperkenalkanku padamu. Bahkan aku telah berencana untuk mengkhitbah adikmu”. Katanya dengan hati-hati.

“Yupss.. sudah aku duga bahwa kamu akan mengatakan itu”. Kataku dengan sangat santai karena aku tidak mau dia merasa bersalah.

“Maksudmu? Kamu setuju kalau aku mengkhitbah Farah?”

“Ya iyalah. Aku memahami adikku lebih dari siapa pun. Aku tahu sebenarnya Farah jauh lebih menginginkanmu untuk menjadi pendamping hidupnya. Tapi karena dia sangat hormat padaku, makanya dia berpikir untuk mengalah. Dan aku sangat berharap niatmu itu segera terlaksana, jangan sampai kalian menempuh jalur yang tidak disyari’atkan dalam Islam. Dan aku yakin kamu pasti paham maksudku”.

Setelah mendapat penjelasan dariku, akhirnya dia pamit dengan wajah yang jauh berbeda dibanding ketika pertama kali datang ke rumah. Semua orang penasaran dan ingin tahu apa yang kami berdua bicarakan.

“Tidak lama lagi dia akan kembali ke rumah ini dan membawa orang tuanya”. Kataku di depan keluargaku.

“Maksud Mba, melamar?” Tanya Farah penasaran.

Aku hanya menaikkan bahu dan alisku. Hal itu membuat seisi rumah tambah penasaran akan tingkahku. Di raut wajah Farah terlihat kesedihan dan harapan sesuai dengan apa yang aku jelaskan pada Raihan.

***

Satu pekan setelah pertemuan itu, sesuai dengan perkiraanku Raihan pun datang bersama dengan keluarganya. Keluargaku pusing karena bagi mereka kedatangan Raihan itu mendadak dan kami tidak punya persiapan apa-apa. Farah dan ibuku heran melihatku sangat santai dengan kedatangan Raihan yang katanya mendadak bagi mereka.

“Aduh..tenang dong!” Kataku dengan nada yang tinggi karena melihat seisi rumah sangat panik. “Ibu, Farah, tante…semuanya tenang. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan”. Sejenak semua orang yang ada di rumah, diam. Farah bingung melihatku. “Farah, kamu ke kamar dan siap-siap. Pakai baju yang bagus yang pas dengan jilbabnya. Kalau kamu tidak punya, cari di lemari kakak”. Perintahku.

Dalam hati aku tertawa seakan membawa bendera kemenangan karena berhasil membuat bingung seisi rumah. Terlebih bagi Farah. Pasti dia bertanya-tanya, aku yang akan dilamar tapi kenapa justru aku menyuruhnya siap-siap.

Keluarga Raihan pun perlahan menginjakkan kaki masuk ke dalam rumah. Setelah ibu mempersilahkan mereka duduk, aku mengintruksikan agar semua keluargaku ikut bergabung. Aku melemparkan senyum ke arah Raihan. Aku melirik ke Farah dan terlihat gurat kecemasan.

“Mungkin Ibu dan Bapak sudah tahu maksud kedatangan kami kemari”. Ucap ibu Raihan kepada kedua orang tuaku. “Bagaimana? Apakah putri Ibu siap untuk menerima lamaran kami?” Lanjutnya.

Semua keluarga menoleh ke arahku seakan menginginkanku segera memberi jawaban. Akan tetapi, aku segera mengalihkan pandanganku ke arah Farah dan lagi-lagi seluruh keluargaku merasa heran dengan sikapku.

“Bagaimana Farah? Apa kamu mau  menerima lamaran Mas Raihan?” Sontak semua keluarga menatapku penuh tanda tanya. “Iya kan, Raihan? Bukankah kamu ke sini berniat melamar adikku, Farah?” Pertanyaan yang ku ajukan membuat keluargaku berbalik ke arah Raihan. Dan Raihan pun  mengangguk.

“Bagaimana nak Farah? Sepertinya Raihan sudah sangat mantap memilihmu”. Ibu Raihan kembali meyakinkan keluargaku terutama Farah.

“Tapi, bukankah….?… Aduuuhhh…sakit, kak”. Farah teriak kesakitan setelah aku cubit pahanya agar dia tak melanjutkan kata-katanya.

“Mungkin Farah agak malu. Biar aku saja yang mewa…”

“Dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim…lamaran Mas Raihan, aku terima”. Farah segera angkat bicara setelah berhasil memotong pembicaraanku.

 

Semua keluarga mengucapkan takbir dan tahmid tanda bersyukur. Dan aku yakin, setelah acara ini aku pasti akan disidang oleh keluargaku seantero jagad akibat ulahku yang membuat semua orang terlihat bodoh.

“Kak Fani jahat…mengorbankan kebahagiaan demi aku”. Protes Farah. Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya dan semua hal yang dikatakan keluargaku. Ibu mengelus rambutku dan memelukku dengan erat. Farah pun ikut memelukku dan tak terasa air mataku pun menetes. Entah karena haru atau karena kasihan melihat keadaanku sendiri.

Malam itu aku duduk terdiam menghadap jendela kamarku. Aku berpikir bahwa ibuku pasti sangat khawatir karena hanya aku saja yang belum mendapatkan jodoh. Kakakku, jauh sebelum aku kecelakaan sudah berkeluarga dan sekarang menanti buah hatinya yang ketiga. Aku menatap bulan dan bintang seakan berharap ada jawaban di atas sana. Tapi nyatanya harapan itu sia-sia saja. Air mataku kembali mengalir. Seakan merasakan kesedihanku, kakak iparku Mba Nurul masuk ke kamar dan menghampiriku. Ia langsung memelukku dengan hangat seakan memberiku kekuatan bahwa suatu saat nanti akan ada insan yang tulus ikhlas menerima aku apa adanya, tanpa mempermasalahkan kecacatanku.

***

Tak ingin berlarut-larut dengan kesedihanku, kembali aku menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor. Sesekali Farah meminta bantuanku untuk mempersiapkan acara pernikahannya. Dua pekan yang akan datang, ia akan menjadi istri dari Raihan Pratama.

Hari yang dinanti pun telah tiba. Semua keluarga berdatangan dari penjuru dunia memberikan ucapan selamat kepada Farah. Aku mondar-mandir melayani para tamu yang hadir. Ibu melarangku untuk banyak bergerak mengingat keadaanku tidak sestabil yang dulu. Tapi aku tetap ngotot karena berpendapat bahwa masih ada tongkat yang menopangku dan membatuku beraktivitas.

Masih sementara asyik ‘gentayangan’, tiba-tiba tongkatku terjatuh dan gelas berisi minuman yang ku pegang berjatuhan ke lantai. Untungnya masih bisa ku tahan jadi tidak ada yang pecah, tapi isinya tumpah semua. Gamis yang ku pakai jadi basah dan jilbabku terkena percikan air. Semua orang mengarahkan pandangannya kepadaku.

“Ukhti tidak apa-apa kan?” Seorang laki-laki membantuku mengambil gelas yang terjatuh.

“Iya Alhamdulillah, tidak apa-apa. Terima kasih, Akhi”. Balasku dengan pandangan yang masih tertunduk.

Mba Nurul segera membantuku berdiri. Ia mengambil tisu dan membersihkan noda yang ada di bajuku.

“Para undangan yang terhormat, mohon perhatiannya sebentar!” Suara Mba Nurul mengalihkan semua orang yang hadir di acara itu melihat ke arahku. “Insya Allah, satu bulan setelah acara Farah hari ini, akan ada proses lamaran”. Sebelum Mba Nurul melanjutkan, aku menoleh ke arahnya dan bertanya-tanya siapa yang Mba Nurul maksud.

“Siapa Mba?” Teriak salah seorang tamu undangan.

“Insya Allah, adik ipar saya ini”. Mba Nurul merangkulku dengan senyuman.

“Aaa…aa..aku?” Tanyaku heran. Mba Nurul mengangguk pelan dan melanjutkan kata-katanya.

“Fani akan menjalani kehidupan yang baru dengan pemuda yang ada di samping saya ini, Syahrul Alamsyah”. Pemuda yang tadi menolongku itu membalas senyum Mba Nurul lalu melemparkan senyum manis padaku. Terlihat seluruh keluargaku bahagia dan tak merasa heran sedikitpun atas pengumuman Mba Nurul, kecuali Farah yang memang tidak pernah ‘up date’. Ibu hanya mengangguk. “Mohon doanya semoga proses lamarannya berjalan lancar agar tidak lama untuk menuju ke pelaminan. Amin”. Sesaat semua tamu undangan mengaminkan. Sepertinya ini semua akibat dari ulahku yang bertindak seenaknya tanpa sepengetahauan keluargaku. Mereka akhirnya membalas dengan melakukan hal yang sama dengan yang ku lakukan pada Farah. PERJODOHAN TERSEMBUNYI.

Akh Syahrul adalah sahabat dari Mba Nurul dan rekan kerja kak Fikri. Kata Mba Nurul, Syahrul sebenarnya sudah lama ingin ta’aruf denganku, tapi kak Fikri ingin kondisiku betul-betul baik dan stabil. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan keadaanku. Jauh sebelumnya dia sudah menyiapkan sebuah kaki palsu untuk ku gunakan agar kelak aku bisa dengan bebas beraktivitas dan tidak bergantung pada tongkat lagi.

“Cacat tubuh, masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya selama kita menggantungkan harapan pada Allah. Tapi cacat hati, sangat susah untuk dikembalikan dan tidak tertutup kemungkinan akan lupa pada Rabbnya. Cacat tubuh bukanlah suatu penghalang untuk membentuk keluarga sakinah, mawadah warahmah. Selama keduanya masih punya Allah, apa yang harus dikhawatirkan?” Jelasnya ketika aku mempertanyakan kesiapannya untuk menjadikanku sebagai pendampingnya.

Mendengar penjelasannya itu, rasanya aku tak sabar untuk segera menjalani hidup dan kehidupan bersamanya..

Ya…itulah ketetapan Allah yang tidak satupun makhluk dapat menebaknya.Semua yang terjadi tak lain adalah campur Tangan Allah SWT. Aku, kamu, dia atau bahkan mereka tidak dapat menebak bagaimana alur dari “Skenario” Allah. Dan satu hal yang pasti, dengan menyelami rahasia di balik skenario-Nya dalam kehidupan ini, membuatku semakin yakin untuk terus dan terus menempatkan-Nya di posisi pertama dalam hatiku…^_^

Oleh: Ayu Wahyuni, Sidrap Sulawesi Selatan

Tinggalkan Balasan