Jodoh itu katanya ada ditangan Tuhan. Jodoh itu katanya semata takdir Illahi. Namun, dalam kenyataan hidup seorang gadis bernama Mila, jodoh itu ada ditangan Bundanya. “Sayang, entar pulang kampus langsung kerumah yah.” Isi pesan singkat dari Bundanya yang masih ia baca saat langkah kakinya baru akan meninggalkan pintu gerbang Universitas Kendari. Dalam benaknya sudah beradu berbagai kalimat firasat tentang maksud dari isi pesan singkat Bundanya itu. “Ya Allah, kuatkan imanku.” Mila mengelus-elus dadanya saat melihat didepan gerbang rumahnya terparkir sebuah mobil BMW. Langkah kakinya semakin lemas ia untaikan untuk segera masuk kedalam rumahnya. “Eh sayang udah pulang. Ayo, sini sayang!” sambut Bunda. “Jadi ini yah anaknya Jeng. Cantik sekali!” Bukan kali ini saja Mila mendengarkan kata-kata yang berlebihan dari tamu Bundanya itu. Sebenarnya dalam hatinya ia enggan duduk bersama dengan tamu Bundanya itu, namun lagi-lagi ia tersudut dengan keinginannya yang selalu ingin menjadi anak yang berbakti. “Bunda, aku ke kamar dulu yah. Aku belum sholat Ashar.” ia mencoba beranjak dari tempat duduknya, namun Bunda justru mencegat niatnya itu dengan sebuah cubitan disisi perut kirinya. “Gimana nih Nak Gilang? Anak tante cantik kan!” ia hanya bisa tertunduk dengan ucapan Bundanya yang terlalu berlebihan dihadapan seorang pria yang bukan muhrimnya. “Iya sih tante. Dia emang cantik. Tapi…” “Tapi kenapa nak Gilang?” mimik Bunda begitu mengisyaratkan rasa ingin tahunya tentang ucapan Gilang yang setengah-setengah. “Emang sih dia cantik. Wajahnya putih. Tapi dia akan terlihat lebih cantik lagi jika pembungkus badannya itu tidak sebesar karung goni, tante.” Tamu lelaki itu dengan santainya mencibir Mila atas hidayah Illahi yang kini tengah ia kenakan, jilbab. Gilang dan Ibunya masih saja cengegesan. “Itu sih masalah gampang nak Gilang. Nanti tante suruh Mila melepas jilbabnya.” ucap Bunda tanpa salah. “Saya setuju dengan anak saya nih Jeng. Mila pasti akan lebih terlihat cantik jika dia berpakaian seperti wanita modern masa kini.” Lanjut Ibu Gilang. Setelah cibiran itu, Mila masih mencoba bersabar dan tetap berada disamping Bundanya walau matanya sesekali melihat arloji ditangannya. Semakin sadar bahwa waktu sholat Ashar sebentar lagi berlalu, ia segera saja bangkit dari tempat duduknya. “Jadi kapan kita bisa mulai pernikahannya?” langkah kakinya terhenti saat mendengar kata pernikahan yang diucapkan Bundanya. Hatinya ingin sekali berontak dan menolaknya secara mentah-mentah. “Tunggu sampai Mila lepas jilbab dulu.” Gilang memandang Mila dengan tatapan yang seharusnya tak layak ia tunjukkan pada Mila. “Gak! Gak akan pernah!” kesabarannya benar-benar terusik. “Gak akan pernah ku tanggalkan pakaian ketaqwaanku ini hanya demi pernikahan yang tidak diridhoi Allah. Maaf Bunda, aku tak akan bisa menjalani pernikahan ini. Sekali lagi maaf Bunda, maaf.” Ia memilih berlari menjauh dari pertemuan dan percakapan yang sangat tidak ia harapkan itu. Matanya sempat berkaca-kaca karena untuk kesekian kalinya ia tak mampu menunjukkan sikap manis dihadapan tamu Bundanya. “Aduh Jeng. Maaf deh kalo begitu. Saya gak jadi deh nikahin Gilang anakku dengan anak Jeng yang pakaiannya jadul banget. Ayo Gilang kita pulang saja. Masih banyak gadis diluar sana yang lebih cantik dari dirinya.” Jelas sekali Mila berhasil membuat kedua tamu bundanya itu pulang dengan rasa kekecewaan. Tapi apalah arti kekecawaan itu jika ia harus membalas dengan pelepasan jilbabnya. Sungguh tak akan pernah ia lakukan. “Tapi Jeng! Tunggu Jeng, tunggu sebentar. Mila mungkin masih capek. Kita bicarakan ini lagi sebentar malam Jeng. Gimana?” Bunda masih saja berusaha menjodohkan Mila dengan Gilang yang notabene adalah penerus perusahaan ternama di Kendari. Namun rasa kecewa dan sakit hati sudah duluan tertanam dibenak kedua tamunya itu atas perkataan Mila yang benar-benar logis menurut keyakinan iman yang baru saja masuk kedalam hidupnya.
Hari sudah semakin larut malam saat ia mencoba mendekati Bundanya yang tengah bersantai di ruang tengah. “Bunda!” ucapnya. “Mila, Bunda ini sudah tua. Sebentar lagi mungkin Bunda akan mati. Tetapi mengapa kamu tak mau sedikitpun berusaha membahagiakan Bunda. Bunda ngejodohin kamu tidak dengan sembarang lelaki. Gilang itu penerus perusahaan, hidupmu nanti akan bahagia bersamanya, namun kenapa kamu tadi bersikap seperti gadis yang tidak berpendidikan. Bukan sekali ini saja kamu menolak dijodohin. Sudah lima kali kamu melakukan hal yang sama dihadapan lelaki yang akan meminang kamu. Kamu ini sebenarnya maunya apa? Apa kamu mau jadi perawan tua?” Mila hanya terdiam menunduk dengan rasa bersalah saat Bundanya begitu semangat memarahinya. “Tapi Bunda. Bukan begitu maksud Mila, Bunda.” “Lalu apa maksud dari semua tingkahmu tadi? Bunda lebih baik mati saja!” untuk kesekian kalinya, Mila selalu saja berhasil membuat Bundanya semakin kesal dengan tingkah penolakannya ketika dijodohkan. “Bunda, aku sudah punya calon sendiri, Bunda.” Mila berani mengangkat pandangannya dengan kalimat yang baru saja ia utarakan itu. Kalimat yang selama ini membuat dirinya menolak semua pinangan dari lelaki yang bukan kategorinya. “Calon? Siapa? Anak mana? Pekerjaannya apa? Pekerjaan orang tuanya apa?” Pertanyaan datang bertubi-tubi dihadapan Mila, namun Bunda melupakan satu pertanyaan, pertanyan tentang apa agamanya. Mila hanya terdiam mendengar semua pertanyaan Bundanya itu. Mila sadar betul jika calonnya itu bukanlah seorang anak dari orang tua yang kaya raya. Calonnya hanyalah seorang pemuda yang berprofesi sebagai tukang jahit saja. Calonnya hanyalah seorang mahasiswa sama seperti dirinya. Namun yang sangat ia yakini, calonnya itu berbeda dari semua lelaki yang dipilih Bundanya. Calonnya itu hanyalah seorang pemuda dengan kekayaan iman dan taqwa yang tak ternilai harganya. “Sudahlah Mila! Bunda sudah menyerah dengan sikapmu itu, sikap yang tidak bisa Bunda mengerti. Besok sore, Bunda ingin bertemu dengan calonmu itu. Ajak dia kerumah!” Bunda meninggalkan Mila yang masih berpikir dalam benaknya. “Ya Allah, semoga Engkau berikanku petunjuk dan jalan-Mu agar Bunda mau menerima pinangan Mas Yusuf.” Mila terduduk dengan perasaan yang senang namun bercampur khawatir. Sudah lama sekali ia menantikan saat ini, saat dimana ia berani mengutarakan isi hatinya kepada satu-satunya Bunda yang ia miliki.
Allah memang Maha Kuasa. Dia ciptakan pagi yang begitu indah dengan sinar mentari yang tak pernah habis. Di sudut kampusnya, Mila sedang menulis secarik kertas untuk Mas Yusuf, calon yang ia maksud pada Bundanya.
Assalamu’alaikum Mas. Gimana kabar Mas Yusuf? Semoga Allah selalu merahmati dan melindungi Mas Yusuf dalam iman dan taqwa. Melalui secarik kertas ini, Mila ingin menyampaikan keinginan Bunda yang ingin bertemu dengan Mas Yusuf. Mila harap sore ini mas Yusuf ada waktu untuk datang ke rumah Mila. Semoga urusan kita ini dapat diberkahi dan diridhoi oleh Alloh dan semoga Alloh memberikan jalan-Nya untuk kita. Sekian saja Mas yang bisa Mila sampaikan.
Wassalamu’alaikum. Dari Mila.
Satu kertaspun tak bakal penuh dengan isi suratnya yang sangat singkat itu. Terbilang jadul memang, namun Mila justru merasa caranya itu lebih disenangi Allah Tuhannya. “Vi, aku minta tolong yah.” secarik kertas berisi pesannya itu ia titipkan ke Vivi sahabatnya. “Untuk Mas Yusuf yah?” Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya untuk pertanyaan sahabatnya itu. “Semoga Allah merahmati cinta kalian berdua.” Mila bersyukur punya seorang sahabat yang bisa mengerti dirinya dan keluh kesahnya selama ini. Tak ada harapan lain yang Mila inginkan dari secarik kertas berisikan pesannya untuk Mas Yusuf selain sebuah do’a bahwa akan ada jawaban dari Illahi untuk semua kesabaran dalam penantiannya menanti cinta hamba yang mencinta-Nya.
Kuasa Allah jualah yang membuat Bumi terus berputar pada porosnya sehingga pagi yang cerah telah berganti sore yang sejuk. “Anak mana? Pekerjaanmu apa? Lulusan dari mana? Pekerjaan orang tuamu apa? Tinggal dimana?” Bukannya menjawab ucapan salam dari Yusuf, Bunda justru menyerang Yusuf dengan pertanyaan bertubi-tubi. “Saya sekampus dengan Mila. Orang tua saya sudah meninggal. Saya hanya tinggal dirumah petak sambil nerusin usaha jahit milik orang tua.” Yusuf begitu jujur berkata tanpa pernah ia sadari jika kejujurannya itu mungkin saja akan dipandang sebelah mata oleh calon Ibu mertuanya. “Namamu siapa?” satu pertanyaan yang terlupakan. “Saya Yusuf” Bunda tiba-tiba beranjak dari sofanya “Jadi ini! Jadi ini yang kamu maksud calonmu itu. Hanya karena seorang tukang jahit kamu berani menolak pinangan lima anak pengusaha. Kamu mau makan apa nanti kalau sudah menikah? Kamu mau makan jarum sama kain? Itu yang kamu mau, Mila?” Mila berharap hal seperti itu tidak terjadi dan tidak terucap, namun rupanya Allah berkehendak lain. “Tapi Bunda. Mas Yusuf berbeda dari semua calon yang Bunda punya. Mas Yusuf punya yang mereka tidak punyai.” Mila mencoba tetap rendah diri saat berucap dihadapan Bundanya yang tengah emosi. “Apa? Apa yang bisa kamu banggakan dari lelaki ini? apa yang dia punya namun tidak dipunyai sama semua calon yang Bunda pilihkan untukmu. Calon pilihan bunda itu semuanya kaya raya, lalu apa yang tidak dimiliki mereka tetapi dimiliki oleh anak tukang jahit ini? Apa Mila? Apa? Katakan!” ia terdiam sejenak dengan pertanyaan Bundanya itu sedangkan Mas Yusuf ditemani dengan seorang sepupunya masih terdiam melihat pertengkaran Mila dan Bundanya. “Agama, Bunda. Mas Yusuf punya Agama yang tidak dipunyai semua calon yang sudah Bunda pilihkan untuk Mila.” Mila menarik nafas sekuat mungkin sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang semakin membuat Bundanya tenggelam dalam emosinya. “Agama? Lucu sekali! Hahaha… Jadi kamu mau hidup dan makan dengan Agama! Itu yang mau kamu, Mila?” tatapan Bunda justru tertuju pada Yusuf. Merasa dirinya sebagai biang pertengkaran, Yusuf akhirnya angkat bicara. “Maaf Bu, jika saya lancang sudah berbicara. Saya berjanji InsyaAlloh akan menjaga semua kecukupan hidup Mila. Saya tidak akan menelantarkan Mila. Saya berjanji, Bu. Saya memang hanya seorang tukang jahit. Rezeki saya memang tidak seberapa. Namun Allah Ta’ala pemilik dunia ini berjanji akan menambahkan rezekinya bagi setiap hamba-Nya yang selalu bersyukur. Dan saya bersyukur walau hanya sebagai tukang jahit rumahan.” Mila tak dapat menahan harunya atas perkataan Yusuf, lelaki yang sangat ia harapkan bisa menjadi pengantarnya menuju surga Illahi. “Bunda, Mila mohon. Dengan segala kerendahan hati Bunda, Mila Mohon, Bunda. Mila ingin menjalani keluarga yang sederhana namun penuh dengan rasa taqwa dan iman kepada Allah. Mila ingin menjadi wanita dan istri yang sholehah. Mila mohon Bunda. Restui Mila, Bunda. Mila mohon!” Ia bersimpuh dikaki Bundanya. Hatinya berkecamuk atas kepiluan jalinan cintanya yang sungguh sangat tidak masuk akal di benak Bundanya. Wajar saja jika Bunda sangat kolektif dan selektif memilihkan Mila pasangan hidup yang harus sekelas dengan derajat mereka. Namun Bunda selalu saja menghilangkan persyaratan agama ketika membawa lelaki pilihannya untuk Mila. Ruang tengah dirumahnya berubah menjadi haru biru demi sebuah pengorbanan akan cinta suci Illahi. Dalam setiap sujud dan do’anya, Mila selalu berharap kelak Bundanya mau menerima apa yang dirinya harapkan untuk masa depannya sendiri. Airmata bercucuran dari dua bola mata yang selalu menjaga kesuciannya dari Zina pandangan. Mila mencoba tegar dalam tangisannya. “Mila. Bunda tak mengerti dengan semua ini. Kamu itu anak bodoh. Kamu mau hidup miskin hanya demi lelaki yang tak punya apa-apa didunia ini. Syetan apa yang sudah merasuki pikiranmu!” ia masih saja bersimpuh walau telinganya mendengar kalimat cemooh yang keluar dari mulut Bundanya sendiri. “Baik jika itu maumu, Bunda akan menyetujui pilihan hidupmu itu, tetapi dengan satu syarat.” Mila berdiri dan menatap Bundanya degan pipi yang basah karena linangan airmata. Yusuf juga tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya dengan satu syarat yang diajukan calon mertuanya. “Bunda mau calonmu itu harus menyiapkan uang lima puluh juta sebagai maharnya untukmu.” jelas Bunda. Hening, suasana berubah hening dengan seribu pertanyaan yang mungkin sedang berputar-putar ria dalam benak Yusuf. Sedang Mila tak habis pikir dengan persyaratan yang diajukan oleh Bundanya. Mila harus pasrah jika memang Yusuf bukan jodohnya maka ia sudah siap bila Yusuf berkata tak mampu memenuhi persyaratan yang diajukan Bundanya. Mila tahu persis jika penghasilan Yusuf yang hanya seorang tukang jahit rumahan hanya pas-pasan saja untuk mencukupi kehidupan dan biaya kuliahnya sendiri. Mila tak mampu lagi membendung dan menahan airmatanya yang ingin menetes atas perjuangannya mendapatkan cinta seorang hamba yang mencinta-Nya yang mungkin saja akan berakhir sia-sia. Tatapan Bunda tertuju pada Yusuf. “Baik Bu. Saya akan memenuhi persyaratan itu.” Yusuf pasrah kepada Illahi. Mila masih tercengang dengan sikap Yusuf yang berani menerima tantangan Bundanya. Sebab Mila tahu, Yusuf mungkin harus menjahit sehari semalam dan mencari tambahan kerja yang lain demi mengumpulkan uang lima puluh juta itu dalam waktu tiga hari saja. “Saya beri kamu waktu dalam tiga hari. Jika dalam waktu tiga hari itu kamu tidak berhasil mendapatkan uang lima puluh juta maka jangan sekali-kali coba menampakkan diri dihadapan saya dan jangan pernah berharap kamu bisa mempersunting anak saya.” Bunda berlalu dengan keegoannya dan meninggalkan Mila yang masih tak mampu dengan kenyataan yang akan dihadapi oleh Yusuf. “Mas pamit dulu. Assalamu’alaikum” “Wa’alaikum salam warohmatulloh.” Mila melepas kepergian Yusuf dengan do’a dan harapan semoga Illahi memberikannya jalan dan petunjuk yang tepat.
Ada tiga hal yang bisa membuat manusia merasakan manisnya iman yaitu mencintai Allah melebihi apapun, mencintai rosullullah melebihi cinta kepada siapapun, dan mencintai seorang hamba karena-Nya. Itulah yang kini tengah Mila rasakan semenjak ia mengenal Yusuf dalam suatu pengajian di kampusnya. Ia dulu hanyalah seorang wanita modern dengan pakaian yang serba kebarat-baratan. Agama tak sama sekali ia pahami. Hingga ia memilih merubah hidupnya lebih kejalan Illahi saat matanya menemukan seorang lelaki yang ikhlas mengajarkannya agama Allah, Islam. “Calon suamimu mana? Ini sudah hari ketiga. Jika sampai hari ini dia tidak datang juga. Maka kamu harus ikut Bunda pindah ke Jakarta. Bunda akan menjodohkan kamu dengan anak pengusaha. Dan kali ini kamu tak akan bisa menolaknya lagi.” hanya sebentar saja Bunda datang menegur Mila lalu ia memilih meninggalkan Mila dengan hatinya yang masih was-was. “Ya Alloh. Wahai Engkau Yang Maha membolak-balikkan hati, teguhkan imanku. Hanya kepada-Mu aku bertawakkal. Laa Hawla wa Laa Quwwata Illah Billahil ‘aliyyil azhiimm.” Pasrahnya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Ia masih berdiri diteras rumahnya tepatnya dilantai dua dengan perasaan khawatirnya menunggu kedatangan Yusuf. Mila sungguh-sungguh takkan mampu menjalani kehidupannya kelak dengan lelaki yang hanya memiliki kekayaan duniawi semata tanpa sedikit iman dan taqwa dihatinya bila akhirnya ia harus menerima pinangan dari lelaki pilihan Bundanya. “Ya Allah terimakasih atas petunjuk-Mu.” Ia melihat Yusuf ditemani sepupunya datang kembali bertamu kerumahnya. Mila segera menuruni anak tangga dengan perasaan bahagia dan tak henti-hentinya mengucapkan kalimat tasbih dan tahmidnya kepada Illahi. Bunda tak mampu menyembunyikan rasa kagetnya saat melihat Yusuf datang dihari terakhir perjanjian yang sudah mereka sepakati tiga hari yang lalu. “Alhamdulillah, saya sudah memenuhi persyaratan Ibu.” Yusuf menyodorkan beberapa lipat uang ratusan ribu rupiah yang masih baru dan masih khas dengan wangi bank. Bunda jelas-jelas harus merelakan janjinya, janji bahwa ia akan merestui pernikahan Mila dengan Yusuf walau didalam hatinya masih tak setuju. Disalah satu sudut kamar, Mila melakukan sujud syukurnya kepada Illahi atas jawaban dari keteguhan hatinya dan keteguhan hati Yusuf untuk berjuang demi cinta mereka kepada Illahi. Impiannya untuk menjadi seorang wanita dan istri sholehah sebentar lagi akan ia wujudkan bersama Imam dunia dan akhiratnya yang selalu ia nantikan dalam doa’nya, Yusuf.
Pernikahan yang ia laksanakan bersama Yusuf hanyalah pernikahan biasa dan sederhana namun begitu sakral, pernikahan yang diajarkan oleh Rasulullah. Mila tak dapat menyembunyikan haru bahagianya saat mendengar kata sah dari para saksi pernikahannya. Tak henti-hentinya ia berdzikir dan bersyukur atas semua do’anya yang dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Dalam hati ia berjanji akan menjadi istri yang bisa mengantarkan suaminya menuju surga Illahi dan menjadi istri yang beriman yang bisa dijadikan teman oleh suaminya dalam setiap kesusahan dan kesedihan. Ia sudah siap dengan semua rasa gado-gado yang akan ia jalani dalam kehidupan keluarganya bersama Yusuf.
Bulan demi bulan pernikahannya selalu ia jalani dengan keikhlasan dan kebahagiaan walau ia hanya hidup pas-pasan dengan suami yang hanya seorang tukang jahit. Beruntung Mila mendapatkan beasiswa dikampusnya sehingga ia tidak perlu terlalu menyulitkan suaminya untuk mencari nafkah lebih demi membantu penyelesaian skripsi akhirnya. Pekerjaannya sebagai istri tak menghalanginya untuk menuntaskan kuliahnya sebagai seorang sarjana Ekonomi. Hingga ia diwisuda pun suaminya tetap setia menemaninya, namun tidak dengan Bundanya. Sejak menikah, Bunda seperti menjauh dari kehidupan Mila dan tak pernah mengunjungi Mila di rumah yang ia sebut sebagai istana kecil kebahagiaannya.
“Mas! Mas Kenapa?” Wajah Yusuf terlihat pucat seperti terkena anemia. “Mas istirahat saja lah. Jangan terlalu dipaksa kerjanya. Nanti mas bisa sakit.” Yusuf hanya terdiam memandangi Mila dengan tatapan yang seperti ingin mengutarakan sesuatu yang sudah terpendam lama. “Mas mencintaimu karena Allah.” Yusuf mengecup kening Mila, istrinya. Mila hanya tersenyum dan tersipu dengan setiap untaian kasih sayang yang selalu yusuf berikan, kasih sayang karena cintanya kepada Illahi. “Kalau bayi kita nanti sudah lahir. Dia pasti akan secantik Umminya.” badannya begitu lemah, namun Yusuf masih saja mencoba menghibur istrinya dengan gurauan kasih sayang. “Hmm… kalau Mila pikir-pikir nih Mas. Cantik itu memang anugerah. Anugerah yang tiada tara. Tapi jadi cantik itu resikonya besar sekali, Mas. Dalam do’a, Mila berharap anak kita bisa lahir dengan sehat dan tanpa kekurangan satu apapun. Biarlah wajahnya biasa-biasa saja tak secantik Umminya, namun hati, iman, dan taqwanya kelak bisa setegar Abinya.” Ia memberikan suaminya obat penambah darah dan segelas air putih. “Ya Allah semoga anak kami ini adalah berkah dari-Mu. Semoga kelak ia menjadi muslimah dan mukminah yang cantik dengan agama dan keimanan dihatinya. Dan jadikanlah istriku yang sholehah ini sebagai bidadari surgaku.” Yusuf mengelus perut Mila yang didalamnya ada rahim buah cintanya kepada Illahi yang sudah berusia lima bulan. “Aamiin Ya Robbal’alamin” senyuman cantik yang tersimpul diwajah putihnya.
Tak ada yang bisa mengganti malam menjadi pagi jika bukan karena kehendak Illahi. Tak ada yang bisa meredam sinar mentari jika bukan karena kehendak Illahi. Hari ini, Illahi berkehendak memunculkan pagi dengan sinar mentari yang begitu cerah di muka Bumi. “Mas, kepasar dulu. Assalamu’alaikum” Yusuf menyalakan mesin motor Suzuki miliknya yang sudah berusia dua tahun lebih. “Iya, mas hati-hati dijalan. Wa’alaikum salam” Ia menciumi tangan suaminya yang terkasih. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi saat Yusuf meninggalkan Mila seorang diri di istana kecil mereka, istana kebahagiaan. Mila lantas memilih mengisi paginya dengan berdzikir dan menunaikan dua rakaat sholat Dhuha.
Detik demi detik berlalu mengantarkan jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi. “Ya Allah mas Yusuf kemana? Lindungi dia Ya Allah.” Sudah dua jam Yusuf pergi meninggalkan Mila kepasar namun hingga jam menunjukkan pukul sembilan pagi, suaminya tak kunjung juga tiba dirumah kecil mereka. Hatinya mulai tak karuan, benaknya mulai berpikir yang aneh-aneh, namun ia mencoba untuk tetap bersabar dengan dzikir yang ia ucapkan dibibirnya. “Assalamu’alaikum” sepupu Yusuf bersama istrinya datang bertamu kerumahnya dengan tangan kosong namun wajahnya penuh menyiratkan sesuatu. “Wa’alaikum Salam. Mas Yusuf lagi kepasar.” “Ada pesan apa? Nanti saya sampaikan ke Mas Yusuf jika ia sudah balik dari pasar.” Lanjut Mila. Tak ada kalimat sepatah katapun yang keluar dari bibir Wawan sepupu Yusuf yang pernah menemani perjuangan Yusuf melamar Mila. “Atau mau nunggu saja sampai mas Yusuf pulang? Atau ditelpon saja!” lagi-lagi hanya Mila yang berbicara memecah keheningan. “Yusuf gak kepasar.” ucap Wawan dengan sedih. Mila tak mengerti dengan kalimat yang diutarakan Wawan karena sepengetahuannya Yusuf suaminya memang tengah ke pasar. Handphone yang ia genggam tiba-tiba berdering. Panggilan dari nomer suaminya. “Assalamu’alaikum” ucapnya. Telinganya begitu serius mendengar sebuah suara dibalik handphone suaminya, bukan suara suaminya tetapi suara orang yang tidak ia kenali. Lama Mila terdiam membisu dengan mimik keheranan hingga akhirnya handphonenya tiba-tiba lepas dari gengamannya dan jatuh bercerai berai dilantai teras rumahnya. “Mas Yusuf Mba. Mas Yusuf ketabrak mobil.’ Vina istri Wawan akhirnya tak mampu melihat ekspresi Mila yang sangat tak bisa menerima ucapan dari seseorang yang menelponnya menggunakan handphone suaminya. Mila tak perduli dengan badanya yang tengah hamil, ia berusaha berlari meninggalkan rumah kecil kebahagiaannya menuju Rumah Sakit. “Mbak, ingat mbak. Mbak sedang hamil.” Vina mengajak Mila masuk kedalam mobil Avanza milik Wawan. Dalam laju mobil Avanza itu, Mila mencoba tegar dan tak meneteskan airmata sedikitpun karena ia berharap nyawa suaminya masih bisa terselamatkan.
“Suster, dimana? Dimana suami saya?” Ia buru-buru mendatangi pusat informasi di RS Bahagia tempat suaminya dilarikan dari peristiwa kecelakaan itu. Suster itu hanya menunjukkan satu ruang yang bertuliskan ruang UGD. Mila tak mau lagi mengulur waktu dengan berjalan, ia akhirnya memilih berlari walau perutnya tengah kesakitan. “Mas! Mas Yusuf. Sadar Mas. Ini aku istrimu. Mas Yusuf, sadar mas.” Ia tak tahan melihat suaminya yang masih tergeletak tak berdaya dalam ranjang bersprei putih dengan alat kesehatan disana sini. Ia mencoba pasrah dalam keadaan ini, dalam cobaan ini, namun ia tidak menyerah untuk mendapatkan kesembuhan dari Illahi untuk Yusuf suaminya. Mila berlari ke sebuah Musholah dan berdo’a serta bersimpuh dihadap-Nya. “Ya Allah Engkau Yang Maha Kuasa. Engkau yang bisa menghidupkan dan Engkau pula yang bisa mematikan. Ya Allah, aku bersimpuh dihadap-Mu mengharap kesembuhan untuk suamiku untuk ayah dari anakku ini. Ya Allah, aku tak meminta umur suamiku dipanjangkan, aku hanya meminta ia dibebaskan dari rasa perih dan sakit yang menyiksa tubuhnya. Sadarkan suamiku Ya Allah. Hamba ingin berucap dengannya walau untuk yang terakhir kalinya. Ya Allah hamba pasrah dan bertawakkal kepada-Mu. Sesungguhnya hidup dan mati suamiku adalah kehendak-Mu.” Airmatanya berlinang kala itu, kala ia mengucapkan ingin berucap untuk suaminya walau untuk yang terakhir kalinya. “Mba, mas Yusuf sudah sadar, mba.” Saat ia bangkit dari sujudnya, Ia mencoba menghela airmatanya dan berusaha tegar dengan kemungkinan dan kehendak Allah Ta’ala yang takkan bisa ia hindari.
“Ummi, Ummi sudah datang! Bagaimana kabar anak kita?” dengan terbata-bata Yusuf kembali mengelus perut Mila istrinya. Mila mencoba tetap tersenyum dalam rasa pedih dan sedih dihatinya. “Ya Allah semoga anak kami ini adalah berkah dari-Mu. Semoga kelak ia menjadi muslimah dan mukminah yang cantik dengan agama dan keimanan dihatinya. Dan jadikanlah istriku yang sholehah ini sebagai bidadari surgaku.” Mila lalu menundukkan wajahnya dihadapan Yusuf dan suaminya itu mengecup keningnya untuk yang terakhir kalinya. Ia lantas mendengar suaminya mengucap kalimat syahadat dengan fasih. Ia berusaha ikhlas dan mencoba menahan airmatanya saat memandangi kedua mata suaminya yang sudah tertutup rapat dengan senyuman yang tersirat dibibir suaminya itu, senyuman yang mengikhlaskan kepergiannya kembali kehadirat Illahi. Mila hanya terdiam memandangi suaminya dengan ekspresi tak berdaya. “Bukan kecelakaan yang merenggut nyawa suami anda. Namun ginjalnya yang hanya satu tak mampu lagi bekerja melaksanakan fungsi dua ginjal sekaligus sebagaimana dua ginjal di tubuh orang normal.” Dokter itu berkata tepat dihadapan Mila. “Ginjal? Satu?” Ia menatap dokter itu dengan matanya yang berkaca-kaca. “Suami anda pernah melakukan operasi pencangkokan ginjalnya ketubuh pasien saya demi uang lima puluh juta rupiah.” Satu kenyataan pahit yang tak pernah ia pikirkan. Ia memang tak pernah menanyakan darimana asal usul uang lima puluh juta saat suaminya itu datang melamar dirinya. Mila memandangi wajah suaminya, mengecup keningnya serta menciumi kedua tangan suaminya itu berulang kali. Pengorbanan Yusuf yang sungguh sangat kuat untuk menyelamatkan Mila dari lelaki pilihan Bundanya. Tak pernah terbersit di pikiran Mila jika untuk menjadi istri Yusuf ia harus merelakan satu anggota tubuh suaminya dibeli orang lain. Airmatanya sudah berlinang membasahi pipinya dan menetes di wajah suaminya, Yusuf, lelaki yang telah mengantarnya menjalani impiannya sebagai wanita dan istri sholehah, walau hanya lima bulan saja. Mila mengelus lembut wajah suaminya untuk yang terakhir kalinya dan ia membisikkan satu kalimat ditelinga lelaki yang ia cintai setelah Allah Tuhannya, Muhammad Rosulnya, dan ayahnya “Mas, tunggu aku di surga!”
… The End …
Oleh: Nita, S.Pd., S1 FKIP Fisika Universitas Haluoleo dan Guru IPA Fisika pada MTs Pesri Kendari