[Cerpen] Ya Allah, Mungkin Aku Jatuh Cinta

0
1337

Pagi lagi. Entah ini pagi keberapa aku melewatinya dengan terburu-buru. Seolah bumi berputar lebih cepat dan bulan juga turut berkonspirasi untuk mempercepat revolusi. Matahari sudah muncul di ufuk timur, belum sempurna memang, tapi cukup membuat kamarku yang berukuran 3×3 meter bermandikan cahaya matahari yang hangat. Kokok ayam jago yang selalu membangunkan orang untuk sholat malam masih saja setia berkumandang, tak peduli apakah kokoknya didengar orang atau malah diabaikan. Ah pengabdian memang.

Aku, Zahratun Nisa, gadis 18 tahun yang tengah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta jurusan teknik arsitektur semester 3. Anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahku seorang kontraktor di Semarang, dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang juga membuka usaha toko cake and bakery di Semarang. Aku memang dilahirkan dalam keluarga yang cukup menyenangkan. Kakak pertamaku sekarang sedang menempuh pendidikan S2 di Jepang, kakak keduaku baru saja wisuda tahun kemarin, dan dua orang adikku masih menempuh pendidikan di SMP dan SMA. Aku bersyukur sekali dengan komposisi keluarga yang ramai, karena terkadang ada beberapa dari kita yang tidak bisa merasakan apa itu keluarga.

Pagi ini, seperti biasa. Aku selalu rempong dengan urusan kuliah dan organisasiku. Entah karena faktor golongan darahku yang menakdirkan penganutnya rempong atau memang keturunan dari ibu yang juga tak kalah rempong. Yang pasti pagi ini aku sudah berhasil membuat keributan dalam 1 wisma.

“Alin! Kerudung biru mudaku mana?!” teriakku kencang. Satu tanganku sibuk mencari baju di lemari, tanganku yang lainnya sedang terhubung dengan telpon dari rumah.

“Cari aja Ra di lemari! Lagi nyuci ni!” teriak Alin tidak kalah kencang, tapi bagiku suaranya yang lembut masih kalah jauh dengan suaraku yang garang.

Aku segera mengambil langkah seribu menuju kamar Alin. Ini salah satu kebiasaan di wisma yang kurang aku suka. Mereka enak sekali meminjam barang orang tanpa langsung dikembalikan, gerutuku dalam hati.

“ Ga ada lin! Buruan ah! Aku ada asistensi ni!” kembali teriakanku memenuhi lorong-lorong wisma. Mungkin kalau penghuni wisma berani, aku bakal kena timpuk saru rumah. Beruntungnya, aku cukup ditakuti di wisma karena sifat galakku.

“ Pokoknya cari aja di lemari tumpukan bawah Rara! Kamu ga liat aku lagi nyuci gini!” Alin balas berteriak kencang. Sepertinya dia sudah bekerja keras untuk mengeluarkan seluruh kemampuan suaranya untuk menandingi suaraku.

30 menit berkutat dengan keributan khas anak kos, akhirnya aku langsung menuju kampus yang jaraknya hanya sekitar 10 menit dari wisma.

Kampus UGM yang kata beberapa lembaga dinobatkan menjadi kampus terbaik kedua di Indonesia terlihat sangat ramai. Mahasiswa dari segala penjuru Indonesia, bahkan luar negeri datang dengan satu irama dan tujuan, mencapai cita-cita mereka. Rasanya menakjubkan sekali melihat pemandangan sederhana ini, kampus seolah-olah seperti matahari, dimana sekitarnya secara konsisten beredar mengelilinginya.

Gedung arsitek yang tua namun kuat menjulang gagah. Cat dindingnya masih bagus, tidak mengelupas layaknya kampus tua, gedung 3 lantai ini juga masih terlihat gagah walaupun sudah bertahun-tahun menelurkan arsitek handal di Indonesia, dan yang paling aku suka dari kampusku adalah tamannya yang asri dan sejuk. Mungkin ini spot ternyaman se-UGM, banyak pohon yang dilengkapi dengan batu menhir sebagai tempat nongkrong mahasiswa, ada juga taman kecil yang dipercantik dengan kolam ikan.

“ Ra!”

Aku menoleh kaget.

“ Hei ukhti…assalammu’alaikum..” aku sambut panggilan Nayla dengan salam. Kerudung ungunya terlihat berkibar terkena angin, bulan ini Jogja memang selalu berangin.

“ Wa’alaikumsalam. Ra…kabar buruk. Acara departemenmu terancam batal.” Nayla bercerita dengan nafas tersengal-sengal. Wajah putihnya terlihat berkeringat, mungkin akibat lari-lari pagi yang baru saja dia lakukan. Tangannya memegang lutut seperti posisi ruku’ ketika sholat, dia kelelahan.

“ Batal gimana?” tanyaku heran sekaligus kaget.

Belum sempat Nayla menjelaskan, tiba-tiba Galih menyela dengan gayanya yang juga tidak kalah heboh dengan Nayla. Rambutnya kali ini tidak klimis seperti biasanya, ah dia merubah tatanan rambutnya, lebih gaul, pikirku. Kacamata frame hitam kesukaannya selalu bertengger di wajahnya, dan dia masih seperti Galih yang kukenal, ceria seolah tidak ada beban.

“ Ra…udah tau belum? Acaramu terancam batal.” Galih memulai laporannya.

“ Tunggu deh..ini apaan ya…kalian berdua kompak gini bilang acaraku batal. Memang kenapa?” kali ini aku lebih heran lagi. dua makhluk yang tiba-tiba mengagetkan pagiku yang ‘damai’.

“ Di bulan yang sama ternyata dosen juga ada acara nasional ra…yaudah gini aja, sekarang kamu tenang dulu aja, nanti dibicarain lagi.” Galih mencoba menenangkan.

“Batal gimana si? Aku penasaran lih…crita dong!” aku memaksa.

Galih akhirnya menceritakan perihal acara departemenku yang terancam batal. Aku saat ini ada di organisasi himpunan mahasiswa jurusan arsitek sebagai ketua departemen pendidikan. Tahun ini kami mempunyai proyek seminar nasional di bulan Oktober, tapi ternyata yang seperti Galih katakan, acaraku terhalang acara dosen yang hampir sama dan di bulan yang sama.

Galih, laki-laki 18 tahun, ketua himpunan kami. Sejak aku satu organisasi dengannya, hubungan kami semakin akrab. Tapi hanya sebatas kerja saja. Galih, dia ikhwan yang sholeh, aku tahu kesolehannya dari kebiasaan dia ke masjid setiap Shubuh dan Isya. Kebetulan wisma kami berdekatan. Dan aku, aku akhwat, aku sudah dari SMA menjadi ADS (Aktivis Dakwah Sekolah) dan saat ini aku menjadi ADK (Aktivis Dakwah Kampus) di ranah eksekutif.

Nayla, dia sahabatku dari semester satu. Entah bagaimana alam berkonspirasi denganNya, aku selalu ditadirkan bersama dia terus, dari kelas, dosen wali, bahkan organisasi. Nayla posisinya adalah wakil ketua Galih, tentu saja, kedekatan mereka melebihi kedekatanku dengan Galih. Ah…tapi aku percaya. Aku, Galih, dan Nayla sama-sama sudah paham akan hubungan ikhwan dan akhwat. Jadi aku tak pernah mempermasalahkan kedekatan satu sama lain.

Sudah setengah tahun kami menjalani masa kepengurusan di himpunan. Sudah banyak sekali cerita yang kami dapat dari himpunan. Seperti cerita kami, antara aku dan Nayla, yang entah benar atau salah, aku menangkap Nayla menciptakan cerita cintanya di himpunan.

Awalnya rumit. Aku bahkan tidak tahu kapan persisnya aku merasakan cerita cinta itu dimulai. Namun yang kurasakan, aku selalu menangkap perasaan bahagia Nayla ketika menceritakan tentang dia. Pendapatnya yang selalu sama dengan pendapat dia, aku bahkan sampai berpikir jangan-jangan Nayla memang hanya mengekor pendapatnya, selalu setuju dan tidak bisa berkata tidak. Ah ini menyebalkan bagiku. Sangat menyebalkan. Bukan karena cerita cintanya, tapi karena dia seolah-olah tidak mempunyai pemikiran sendiri.

“Ra…gimana urusan seminarmu itu?” tanya Nayla tiba-tiba membuyarkan konsentrasiku mengerjakan maket. Nayla juga terlihat sibuk dengan maket proyek hotel yang dia rancang. Saat ini kami sedang duduk di pojok taman, bangku menhir, faforit kami berdua.

“ Hmm…ya gitu deh Nay…males aku critanya. Ribet.” Aku tetap fokus dengan maketku. Sesekali aku mengelem karton yang akan aku gunakan sebagai model di maket, dan sesekali aku melihat ke mata Nayla. Jujur, aku malas sekali bicara tentang perkembangan acara yang hampir batal itu. Rasanya ingin sekali memberikan ultimatum, ‘acara ini aku tutup aja gimana. Anggap aja kita ga pernah ada kepanitiaan acara ini.titik.’

“ Terus si Galih ngurusin ga? Dia kan pulang ke Bandung.” Nayla, masih dengan gigih mengorek informasi tentang acara itu. Ah Nayla…aku hafal sekali sifat dia yang kepo banget sama urusan orang.

“ Galih? Dia mah nanyain terus Nay…udah kaya minum obat tu anak, nelpon sehari mpe tiga kali.” Aku menjawab dengan cuek. Saat ini maketku lebih berharga ketimbang acara itu dan pertanyaan Nayla.

“ Galih nelpon kamu sesering itu?” Nayla sedikit terkejut sampai-sampai dia menghentikan pekerjaannya. Matanya menatapku serius, walaupun dia tutup dengan ‘snyuman’.

“ Iya…sampai aku ga tega sebenernya, pulsa dia suka abis kalo abis nelpon aku Nay. Udah tak bilangin sms aja, eh malah nelpon terus. Yaudah aku mah sebodo amat” lagi-lagi aku menjawab cuek. Peduli amat dengan Galih yang nelpon terus, tapi ekspresi Nayla yang tiba-tiba berubah, aku peduli itu.

Diam. Hening.

Kau tahu? Terkadang perasaan sesama wanita itu sangat mustahil keliru. Aku sungguh yakin, dari pembicaraan singkat kami, aku merasakan Nayla cemburu, tidak suka Galih menelponku. Padahal jelas-jelas dia nelpon hanya membicarakan tentang nasib seminar. Tidak lebih. Tapi aku tak mau berspekulasi banyak, untuk perasaan aku menyerah.

***

Saat ini, spekulasi yang tak pernah kumaksudkan atas perasaan Nayla kepada Galih aku sembunyikan rapat-rapat. Biarlah ini menjadi konsumsi hatiku sendiri. Semenjak pembicaraan singkat itu, entah hanya aku yang merasa terlalu berlebihan, atau itu memang benar adanya, Nayla seperti terus memantau interaksiku dengan Galih. Awalnya aku merasa biasa saja dengan perilakunya, tapi lambat laun aku mulai risih. Pantauan Nayla sungguh tajam, terkadang dia bahkan membuka inbox pesanku, mencari siapa tau Galih menghubungiku yang aneh-aneh. Aku tahu itu karena beberapa kali dia kepergok sedang membuka SMS di hapeku. Tapi aku tidak pernah memarahinya. Aku paham ko, mungkin dia sedang menarikku agar jangan seperti dia.

Nayla semakin menunjukan perasaannya ke Galih, di mataku. Mungkin hanya aku yang merasa. Dia terlihat bahagia ketika Galih mendekat dan mengobrol dengannya, dia sangat bingung ketika Galih marah dengannya, dan yang paling membuatku tahu, mata Nayla, mata Nayla adalah mata orang jatuh cinta, dalam diam.

Aku terus membiarkan perilaku Nayla.Aku bingung. Dia tidak pernah cerita tentang perasaannya. Aku percaya dia seorang yang paham akan hubungan cinta seperti itu, dan orang yang dia cintai juga paham. Aku percaya mereka akan bisa saling menjaga perasannya, dalam diam. Pikirku.

Kisah cinta diam Nayla terus bergulir. Dan rumitnya, pemainnya ternyata tidak hanya dia dan Galih. Tapi aku.

Aku pun tak tahu bagaimana awal kerumitan ini bermula. Yang kurasakan adalah aku suka dengan momen ini, tapi aku tidak nyaman dengan perasaan ini. Mungkin cerita ini muncul ketika Galih sangat menyukai caraku berbicara, kata dia aku humoris dan bisa membawa suasana pembicaraan menjadi menyenangkan. Mungkin saat aku merasakan “tangannya” yang terus menggenggamku erat ketika aku jatuh dan lemah di himpunan, aku akui, dia adalah pahlawanku. Mungkin perasaan itu muncul ketika kami sering sekali bertengkar dan tidak mau mengalah kepada ego masing-masing, tetapi anehnya secara otomatis kami baikan 3 hari kemudian, itu waktu tenggang bagi kami, tak ada perjanjian tertulis memang, tapi kurasa perjanjian batin. Mungkin aku mulai seperti Nayla, mencintainya.

Kami menyelesaikan masa kepengurusan kami di himpunan, dengan banyak cerita tentunya. Ada dua sisi perasaan ketika aku merasakan momen ini, aku merasa sedih karena akan kehilangan momen bersama anak-anak himpunan, dan aku bahagia karena aku akan lebih mudah menekan perasaan aneh ini, bahkan menyelesaikan kisah cinta ini segera, mungkin.

“ Makasih banyak ya Ra, keren kamu di sini. Semoga dakwah kita ga terhenti sampai di sini.” Kata Galih membuatku sedikit tersentuh. Rambutnya sekarang sudah paten berganti dengan rambut gaul, senyumnya mengembang tanda kebanggaan, dan aku bisa merasakan sorot mata bahagia itu ketika berbicara denganku. Kalau aku tidak lancang mengartikan tatapannya, aku rasa bunyinya, ‘makasih ya Ra, kamu udah mbantuin banyak di HM. Semoga kita tetap bersama kaya dulu’. Ah..lancang benar otakku.

“ Sama2 lih..afwan ya kalo banyak salah selama kita kerja bareng” aku membalas ucapannya dengan senyum yang paling manis. Ini spontan.

“ Hahha…iya sante aja. Ane juga minta maaf. Kayaknya kita dulu sering banget berantem ya Ra..” kali ini dia tertawa.

Dan aku tersenyum.

***

Lepas masa kepengurusan di himpunan, aku sempat berhenti dari organisasi internal kampus. Aku akhirnya bergabung dengan komunitas pecinta alam di Universitas. Keputusan masuk ke komunitas itu sungguh sulit, karena ayahku tidak mengizinkan untuk naik gunung, dan aku adalah seorang akhwat yang pasti akan terlihat sangat berbeda ketika masuk komunitas. Tapi tetap saja kucoba. Aku masuk dan akhirnya diterima!

Setelah aku masuk komunitas pecinta alam dan beberapa kali mengikuti ekspedisi gunung di Jawa, aku kira aku dapat menekan jauh-jauh perasaan aneh yang sempat mampir beberapa waktu di hatiku. Tapi aku salah. Ya…kisah cinta diam kami, aku dan Galih berlanjut. Komunikasiku dengan Galih bukannya semakin menurun, tapi justru semakin intens. Bahkan prinsip jam malamku sudah sukses dilanggar. Aku sendiri mempunyai prinsip untuk tidak SMS atau berkomunikasi dengan lawan jenis di atas jam 9 malam, tapi ternyata Galih menghancurkan prinsipku, dan bodohnya aku membantunya dalam penghancuran itu. Aku sendiri merasa aneh, kami sudah tidak ada forum yang mengharuskan kami bersama, kecuali dalam pergerakan dakwah. Aku dan dia masih sama-sama memegang prinsip dakwah.

Hari demi hari, bulan demi bulan, hubungan kami sudah sangat dekat. Sekarang bahkan aku sudah sangat terbiasa untuk bercerita segala hal dengannya, begitupun sebaliknya. Kami bahkan sudah sangat hafal dan memahami sifat masing-masing. Gaya bertengkar kami pun  sudah berbeda dari dulu semester awal ketika belum saling mengerti, sekarang kami lebih sering diam dan saling menasihati seperlunya apabila ada masalah diantara kami, ajaibnya, setelah itu kami baik kembali. Intensitas momen pergi bersama kami pun semakin sering, tidak berdua saja yang pasti, rame-rame tapi sangat sering. Entah datang ke acara himpunan bersama, backpacing (kami berdua mempunyai hobi yang sama), bahkan ke acara seminar pun bersama.

Kalau kau tanya apakah aku bahagia dengan semua momen itu? Aku tentu sangat bahagia. Tapi kalau kau tanya apakah aku merasa nyaman dengan perasaan bahagiaku? Tentu saja akan kujawab tidak!

Aku sadar ini sudah keterlaluan. Aku mengerti aku sudah tidak pantas disebut akhwat. Hubungan kami seperti orang pacaran yang tanpa status. Tapi aku tentu tidak bisa mengatakan perasaanku kepada Galih. Ternyata kepahaman itu tidak menjamin ketaatan.

Aku berusaha untuk melawan perasaan itu. Aku bangun benteng tak kasat mata dalam hatiku untuk menghalau serangan perhatian darinya. Aku mencoba untuk mengurangi interaksi dengannya. Aku terus berdoa agar dihilangkan perasaan tidak halal ini. Ya aku sudah melakukan itu semua. Dan aku gagal.

“Ya Robb…aku lelah dengan perasaan ini. aku lelah terus membangun benteng dalam hatiku, lalu hancur, kubangun lagi, kemudian hancur lagi, begitu seterusnya. Aku lelah menekan otakku agar tidak banyak memutar kenangan dengannya. Dia adalah ujian bagiku, dan aku ujian baginya. Kalau kau meridhoi kami, segerakan pernikahan kami agar tidak terlalu banyak mencicipi rasa yang belum halal ini, tapi kalau memang Kau tidak ridho, jauhkan perasaan ini Ya Robb…” aku berdoa pada sepertiga malam terakhir. Sudah 1 minggu terakhir ini aku selalu berdoa tentangnya. Tentang kelelahanku menahan rasa. Tentang ketarberdayaanku melawan hati. Semoga Dia mendengarkan rapalan doaku, harapku.

Pada akhirnya, kami memutuskan membungkam rapat-rapat perasaan ini. walaupun ketika aku bertemu Galih, aku merasa hati kami berinteraksi, dalam diam. Sorot mata kami sudah banyak bercerita tentang perasaan satu sama lain. Ternyata bahasa isyarat itu sederhana. Dia tidak perlu kata untuk berkata, dan tidak perlu aksara untuk bicara.

Konsep cinta dalam diam ini memberiku pemahaman baru bagiku, kalau kau mencintai seseorang yang belum halal untukmu, cukup serahkan hatimu kepadaNya dan biarlah Dia menyelesaikan kisah cintamu dengan tanganNya. rindumu harus kamu bungkam dengan doamu, cintamu harus kamu tahan dengan diammu.

Bagaimana dengan Nayla? Aku rasa dia masih sama seperti dulu. Bertahan dalam kebisuan ini. Sorot matanya ketika menatap Galih masih sama, bercerita banyak hal tentang pilunya mencintai dalam diam, senyumnya selalu terkembang sempurna ketika berjumpa dengannya, bahkan kekesalannya pun terselip perasaan bahagia. Ajaib memang orang yang jatuh cinta itu. Seperti kami, aku, Galih dan Nayla, yang dengan diam memutuskan membungkam perasaan kami dalam-dalam. 

Oleh: Destiya Dwi Pangestika, Tembalang

Tinggalkan Balasan