Kasih sayang merupakan akhlak yang telah biasa kita dengar dalam keseharian. Karena begitu seringnya kita mendengar dan melihat kata ini, seolah-olah ia terasa biasa saja dan tidak istimewa. Padahal sejatinya ia adalah akhlak yang agung. Tidak akan muncul kebaikan dalam diri manusia jika ia tidak memiliki akhlak yang satu ini.
Kita semua telah mengetahui hakikat dan makna dari akhlak kasih sayang ini. Tetapi tidakkah kita merasa bahwa akhlak ini sedikit demi sedikit mulai luntur dari kehidupan kita? Dari keseharian kita? Kita lihat di sekitar kita banyak sekali kasus kriminal yang terjadi. Ibu yang tega membunuh anaknya senidri, suami yang membunuh istrinya, anak membunuh bapak, tawuran antar pelajar, antar kampung, bom-bom yang meledak di sana-sini, mutilasi adalah sedikit contoh dari hilangnya rasa kasih sayang terhadap manusia. Jika terhadap sesama manusia saja kita tidak memiliki rasa kasih sayang, apalagi terhadap makhluk Allah yang lain? Tidak aneh jika akhlak mulia yang satu ini telah menjadi amat langka kehadirannya di tengah-tengah kita.
Islam sebagai agama yang penuh rahmat, agama yang damai dan penuh kasih sayang telah mengajarkan kepada kita untuk saling berkasih sayang. Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah akan menyayangi hamba-hambanya yang dikaruniai sifat kasih sayang.” (HR. Bukhari no. 7448, Muslim no. 2132, dan Ahmad: V/204).
Maka Rasulullah mencontohkan kepada kita bagaimana bersikap dan berperilaku dengan kasih sayang. Tidak hanya kepada manusia, namun kepada semua makhluk Allah. Beliau juga menerapkan akhlak ini dalam berinteraksi dan bermuamalah dengan orang-orang kafir. Hingga banyak orang yang masuk Islam karena terpesona dengan akhlak seorang muslim.
Salah satunya adalah akhlak beliau terhadap seorang wanita yahudi tua yang buta. Siapa yang tahu bahwa orang yang setiap hari datang untuk menyuapinya itu adalah orang yang sangat ia benci. Beliau selalu datang setiap hari untuk menyuapi wanita tua tersebut sambil mendengarkan celaan dan umpatan wanita tersebut terhadap Rasulullah. Namun Rasullah tidak pernah marah sedikit pun, juga tidak membalas umpatan wanita tua yang buta itu.
Apakah itu juga terjadi pada kita? Mampukah kita untuk meniru akhlak Rasulullah tersebut? Paling tidak untuk tidak membalas celaan atau umpatan yang ditujukan kepada kita. Kebiasaan ini terus beliau lakukakan hingga beliau wafat.
Maka Abu Bakar, khalifah pengganti beliau lah yang menggantikan kebiasaan Rasulullah ini. Ketika ia menemui wanita itu untuk menyuapinya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, beliau mendengar celaan dan umpatan wanita tua itu terhadap Rasulullah. Dan ketika wanita tua itu menyadari bahwa orang yang mendatanginya itu bukanlah orang yang biasanya, maka ia pun berkata,”Siapa kau ini? Orang yang biasanya datang kepadaku selalu mengunyah makanannya terlebih dahulu sebelum ia memberikannya kepadaku.” Maka Abu Bakar pun menangis dan berkata,”Ketahuilah, bahwa orang yang biasanya datang kepadamu kini telah meninggal. Dan beliau adalah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam. Bagaikan disambar petir, wanita itu kaget mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Bakar. Siapa yang menyangka bahwa orang yang selama ini berperilaku baik padanya tidak lain adalah orang yang sangat ia benci dan selalu ia cela setiap hari. Dan kemudian wanita yahudi tua yang buta itu masuk Islam.
Begitulah Rasulullah mengajarkan. Akhlak ini pun tidak hanya tercermin pada beliau, tetapi juga pada sahabat-sahabat beliau yang tumbuh dalam madrasah nubuwwah. Sebut saja Sa’ad bin Abi Waqqash. Meskipun ibunya bersikeras supaya Sa’ad meninggalakan ajaran Rasulullah, namun Sa’ad tetap bersikap lemah lembut dan menghormati ibunya. Hingga suatu ketika ibunya tidak mau mau makan jika Sa’ad tidak meninggalakan Islam. Sa’ad mengerti betul perasaan ibunya, ia tidak lantas marah dan pergi meninggalkan ibunya begitu saja. Namun ia tetap menyiapkan makanan dan mengajak ibunya untuk makan bersama. Ia terus membujuk ibunya agar mau makan.
Melihat ibunya seperti ini, Sa’ad pun menjadi iba, namun keibaannya tidak membuatnya melepaskan islam. Akan tetapi ia berkata kepada ibunya dengan lembah lembut dan sopan,”Ketahuilah wahai ibu, meskipun ibu mempunyai 1000 nyawa sekalipun, maka aku tidak akan beralih dari Islam.” Akhirnya ibu Sa’ad mengalah dan mau makan bersama dengan Sa’ad bi Abi Waqqash.
Kasih sayang yang tulus kepada seorang ibu meskipun ia mengancamnya untuk melepaskan Islam. Tanpa kasih sayang di dalam dadanya, mungkin Sa’ad akan meninggalkan ibunya begitu saja.
Akhlak kasih sayang ini tentu tidak hanya diterapkan kepada sesama manusia tetapi juga kepada semua makhluk Allah di bumi ini. Sebagaimana yang dilakukan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Suatu hari ketika ia sedang keluar, ia melihat seorang anak laki-laki yang mengikat kaki seekor burung dan mempermainkannya. Melihat burung itu, Umar bin Khattab menjadi iba dan merasa kasihan. Ia pun berkata pada anak laki-laki tersebut,”Nak, bolehkah aku membeli burung ini?” Anak laki-laki itupun menyetujianya dan menyerahkan burung tersebut kepada Umar bin Khattab. Kemudian Umar melepaskan burung itu sehingga ia bisa terbang seperti burung-burung yang lain. Ketika Umar telah pergi, ada seseorang yang menghampiri anak tersebut dan berkata,”Nak, apakah kau tahu siapa yang baru saja membeli burung itu tadi?” anak lelaki tersebut menggeleng tidak tahu. “Beliau adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab.”
Umar tidak lantas memarahi anak lelaki tersebut atas tindakannya, namun ia mengajarinya melalui perilaku dan akhlak yang ia lakukan. Bahwa makhluk Allah yang bernyawa memiliki hak akan kasih sayang dan dilarang kita menyiksanya. Jika tidak terdapat rasa kasih sayang, maka mustahil hal ini bisa terjadi.
Begitulah Rasulullah dan para sahabat mencontohkan kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah. Mungkin kita juga bisa mencontoh akhlak para muslimin anshar yang sangat terpuji kepada para muhajirin. Mereka selalu mendahulukan para muhajirin tanpa ada rasa dengki atau iri meskipun para muhajirin selalu dilebih-lebihkan atas mereka. Jikalau umat Islam saat ini bisa mengaplikasikan akhlak kasih sayang ini dalam kehidupan sehari-hari, tentu tidak akan kita temui ada tetangga kita yang kelaparan, tidak akan kita temui seorang ibu yang membunuh bayi yang baru dilahirkannya. Akan tetapi akan kita dapati hidup yang damai dan sejahtera. Itulah mengapa Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin.
Pun alam semesta ini diciptakan dengan kasih sayang. Dan betapa besarnya nilai kasih sayang itu. Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah yang menciptakan rahmat itu, pada hari Ia menciptakan sebanyak seratus bagian. Ia menggenggamnya 99 bagian dan menurunkannya ke bumi hanya satu bagian dari rahmat tersebut. Dengannya (satu rahmat tersebut) seluruh makhluk saling mengasihi, sampai binatang melata pun mengangkat kukunya, khawatir akan mengenai anaknya.” (HR. Bukhari no.6000).
Hanya satu rahmat yang diturunkan ke dunia, namun hanya dengan satu rahmat itu saja semua makhluk dapat merasakannya. Ya, semua makhluk. Manusia, hewan, semut, dan sebagainya. Mereka saling mengasihi dan menyayangi hanya dengan diturunkannya satu rahmat. Lalu bagaimana dengan 99 rahmat yang masih digenggam Allah dan disimpannya untuk kita pada hari kiamat? Maha Besar Allah akan rahmat dan kasih sayang-Nya. Bahkan tidak seorang pun yang dapat masuk surga melainkan dengan kasih sayang-Nya. Jika begitu, tidakkah kita ingin merasakan 99 rahmat tersebut di hari akhir kelak? Mari berkasih sayang terhadap sesama makhluk Allah, dan berakhlak dengan akhlak yang sebaik-baiknya. Tebarkan dan semaikanlah cinta kasih. Bukankah Rasulullah telah bersabda,”Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari).
By: Trini Lestari Puji A
Img: