Shalat ‘Id Dua Kali, Masalah gak, ya?

0
1250

“Tarik menarik Hisab-Rukyah ternyata meminta ‘korban’. Paling tidak, dibeberapa daerah, persoalan 2 ied telah menyulut api fitnah. Sebenarnya bagaimana sih perspektif fiqh itu?”

Lengkingan suara takbir masih terngiang. Ia menyisakan seribu kenangan pahit. Kenangan tentang bangsa kita yang mengahadapi lonjakan harga ditengah kemenangan sejati. Kemenangan yang mengantarkan kita kepangkuan dewi kesucian. Kesucian Idul Fitri.

Banyak cerita tentang suka-duka lebaran. Beberapa tahun lalu, idul fitri sempat diwarnai isu. Syukurlah semua telah berlalu. Dan kitapun telah lupa, apa arti Idul Fitri buat kita sendiri.

Yang ingin disajikan kali ini adalah cerita tentang lebaran. Lebaran dua kali. Kalau tarik menarik rukyah – hisab barang kali tidak menarik lagi. Mengapa? Karena sering terjadi. Dan seperti biasanya, mereka sama-sama merasa benar.  Tapi cerita ini sungguh lain. Di Jawa Timur bagian tengah, pada hari kamis 29 januari 1997, ada seseorang yang masih berpuasa. Akan tetapi, karena lingkungannya sudah berhari raya, akhirnya ia ikut sholat ied juga. Besoknya, Jum’at, ia shalat ied kembali.

Masih di Jawa Timur, tapi agak ketimur, ada cerita shalat ied dua kali juga. Namun versinya lain. Al- kisah, ia orang NU. Berpengaruh. Sebagai orang NU, ia mengikuti anjuran PW NU Jatim untuk berlebaran hari Kamis. Susahnya, ia juga ‘orang negara’ –yang tentunya punya loyalitas kepada Negara. Pendeknya, pada hari jum’at ia shalat lagi.

Dari kedua kilas balik tadi, timbul pertanyaan yang cukup menarik; bolehkah shalat ied dua kali? Jika boleh, apa persyaratannya? Jika tidak boleh, lha wong shalat sunnah saja kok dilarang?

Pertama-tama, marilah kita lihat kerangka bangunan Ushul Fiqhnya. Menurt logika ushul, ditinjau dari sisi waktu, pelaksanaan ibadah bisa jadi dilaksanakan secara ada’, qadla’, atau I’adah. Disebut ada’, jika seluruh prosesi ibadah berada dalam waktu yang telah ditentuka. Jika sudah diluar waktu disebut qadla’. Sedang yang disebut I’adah adalah pengulangan pelaksanaan ibadah yang telah dilakukan lantaran ada cacat atau udzur. Termasuk dalam kategori cacat adalah ditinggalkannya syarat, rukun, atau ditinggalkannya syarat, rukun, atau ketinggalan berjamaah. Sedang persyaratan I’adah adalah harus masih dalam batas waktu, bukan diluar waktu seperti qadha’.  (baca: Jam’il Jawami’, juz I, hal 117).

Dengan paradigma ini kita tahu, bahwa kasus pertama, jelas tidak masuk hitungan ibadah, baik ada’, qadla’, atau I’adah karena dilakukan sebelum waktunya, sebab waktu itu ia sedang berpuasa. Ini artinya ia meyakini bahwa saat itu tanggal 30 Ramadlan, bukan 1 Syawal.

Sedang untuk kasuh kedua, inilah yang dilematis. Dikatakan I’adah lha kok diluar waktu. Dikatakan qadla wong kemarin sudah dilakukan. Lalu bagaimana?

Yang jelas, shalat ied harus dilakukan pada hari pertama bulan Syawal; yakni hari pertama ia berbuka setelah sebulan berpuasa. Dalam hadits, Nabi bersabda:

فطركم يوم تفطرون، واضحاكم يوم تضحون وعرفتكم يوم تعرفون

Artinya: “Hari raya idul fitri kalian adalah sewaktu kalian berbuka. Hari idul adha kalian adalah sewaktu kalian berbuka. Hari idul adha kalian adalah sewaktu kalian menyembelih hewan kurban. Dan harui arafah kalian adalah saat kalian wuquf di Arafah” (HR. Turmudzi).

Benar. Hari raya adalah saat kita berbuak. Tapi kapan? Dengan standart apa 1 Syawal bisa ditentukan? Dalam sejarah fiqih, paling tidak ada 3 cara untuk menentukannya. Pertama, istikmal (menyempurnakan Ramadlan 30 hari). Cara ini dilakukan ketika cuaca diselimuti mendung dan tak memungkinkan rukyah. Kedua, dengan rukyah. Yakni melihat langsung bulan. Ketiga, dengan hisab Qoth’i (menggunakan kalkulasi astronomis).

Jika dasar yang digunakan adalah istikmal, maka persoalannya menjadi ramping. Sebab tanggal 1 Syawwal pasti bersamaan, keculi jika awal puasanya tidak bersama.

Apabila dasar yang dipakai hisab qath’i, maka persoalannya juga agak sederhana. Sebab biasanya mereka sama dalam kalkulasi. Jika toh berbeda, maka paling banter beda satu hari. Karenanya, bagi yang meyakini hari raya sekarang, berarti besok qadla’. Bagi yang meyakini besok, sekarang belum waktunya shalat ied.

Yang paling ruwet adalah jika yang dijadikan standart adalah rukyah. Ketika ini, ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah beda penglihatan. Karena perbedaan ini, hasilnya bisa jadi fatal. Bahkan bisa lbih dari satu hari, seperti peristiwa kemarin. Ada yang berhari raya Rabu, Kamis, dan Jum’at. Semua mengatakan berdasar rukyah.

Kemungkinan kedua, lambat informasi. Misalnya, pada malam kamis ada yang melihat bulan. Tapi karena daerah A terlalu jauh, anformasi baru bisa diterima sore hari. Jika kasusnya demikian, kapan mereka shalat ied, dan kapan mereka berbuka? Lalu, shalatnya qadla atau ada’?

Bicara soal keterlambatan informasi, sebenarnya pernah dialami oleh Nabi. Abu Umair bin Anas mengatakan:

غم علينا هلال شوال، فأصبحنا صياما، فجاء ركب فى اخر النهار فشهدوا انهم  رأوا الهلال بالامس فأمر النبي الناس ان يفطروا من يومهم وان يخرجوا غدا لعيدهم

Artinya: “posisi bulan pada tanggal 1 Syawwwal tertutup mendung. Karenanya kita tetap berbuka puasa (dalam rangka istikmal, pnt). Lalu, pada sore harinya, ada rombongan yang bersumpah bahwa tadi malam mereka melihat bulan. (melihat kenyataan ini) Rasul kemudian mengeluarkan dictum (pernyataan resmi) untuk menghentikan puasa, dan esok harinya melaksanakan shalat ied. (baca: Hasyiah Syarwani, juz III, hal 55; Fiqhul Islam, juz II, hal 368).

Jadi, dalam kasus terakhir (keterlambatan informasi) seseorang harus berbuka saat itu juga. Sedang shalatnya qadla’ esok harinya. Itu jika informasi yang diterima setelah tergelincirnya matahari (zawal). Jika informasi diterima sebelum itu, maka saat itu juga mereka harus berbuka dan bergegas untuk shalat secara ada’. (baca: Tuhfatul Muhtaj, juz III, hal 54-55)

Kembali kepersoalan inti, yakni melaksanakan ied dua kali, bagaimana statusnya?

Dalam paradigma fiqh, persoalan ini tidak ditentukan. Kasus ini tidak bisa dihukumi I’adah Karena sudah diluar waktu. Juga tidak bisa dihukumi qadla’ Karena kemarin ia telah melaksanakan shlat ied secara sah. Untuk itulah, minimal, pelaksanaan shalat kedua ini berstatus LA YAMBAGHI (tidak semestinya), bisa makruh- bisa haram.

Kesimpulan ini (terpaksa ) diambil, karena dalam shalat ibadah kita terikat juklak syara’. Seseorang tidak boleh menciptakan model ibadah sendiri tanpa bimbingan agama. Semua mesti berpatokan pada aturan main yang  telah ditentukan.

Tinggalkan Balasan