[Cerpen] Cinta tak Pernah Salah

0
841

Vara masih termanggu dibangkunya, padahal dosen mata kuliah Tarjamah III sudah terlewati sejak beberapa menit yang lalu. Tak seperti teman-teman yang lain yang sudah berhambur meninggalkan kelas walau masih ada sebagian yang berbincang-bincang. ia menghela nafas. Kejadian beberapa hari ini yang membuat perempuan muda yang ternyata sedang hamil muda, terlihat muram. Berbagai pertanyaan mengisi pikirannya. Apakah ia telah salah mengambil langkah menerima pinangan seorang laki-laki yang kini telah menjadi suaminya 6 bulan yang lalu?. Ya rasanya hidupnya kini telah berubah 180 derajat. Bukan seorang mahasiswi biasa layaknya teman-temannya yang lain. Kini ia telah berstatus istri. Sejujurnya ia tak pernah sesali itu. Namun pertengkaran beberapa kali dengan suaminya, membuatnya bimbang tentang jalan hidupnya yang tak sama.

Seorang perempuan berkerudung seperti dirinya dengan kacamata minus yang menghiasi wajah menghapiri Vara. Namanya Lyla.

“Ra, kamu kenapa?” yang ditanya hanya menggeleng.

“Ada masalah dengan suamimu? Cerita dong sama aku? Kamu kan sedang hamil. Jangan  suka memendam masalah. Kasihan dede bayinya.” Serunya lembut mengusap lengan Vara.

“Aku nggak papa kok. Kita pulang yuk!” Lyla masih mematung, sepertinya Vara tau apa yang ada dalam pikiran sahabatnya yang satu ini. “Aku nggak dijemput mas Farhan kok, kamu mau kan pulang bareng aku? Kita naik taksi.” Lylapun segera mengangguk.

Sikap Vara pun masih sama seperti saat dikelas tadi. Dalam perjalanan pulang, tak ada kata-kata yang mengalir diantara mereka. Vara diam seribu bahasa. Sepertinya Vara memang sedang memendam masalah. Ungkap hati Lyla. Ia memang tak seperti biasanya bersikap seperti itu. kini rasanya sikap periang, dan suka bercerita plus ceplas-ceplosnya Vara hilang seketika. Ingin rasanya Lyla menanyakan kembali namun rasanya sama saja, ia hafal betul bagaimana sifat satu sahabatnya ini. Jika dia tak menceritakan masalahnya itu artinya ia tak mau orang lain tau. Sedang Vara dalam diamnya ia sejujurnya ingin menceritakan masalah yang menderanya berhari-hari. Namun entah mengapa ia merasa sungkan untuk menceritakan hal yang ia pun tak tau siapa yang salah. Ia ataukah suaminya. Teringat bagaimana pertengkaran pada sore dua hari yang lalu. Dimana kini ada kebekuan diantara pasangan muda itu.

“Kamu kenapa sih Mas, dateng-dateng marah begitu, nggak jelas banget sih.”

“Ya abis, kamu harusnya mikir, kamu tuh udah punya suami. Harus jaga dong pergaulan kamu! Apalagi sama temen-temen cowok kamu tuh.”

“Kamu kok bilang gitu sih. Maksud kamu apa? Udah deh to the point aja sih.”

“Mendingan kamu pikir sendiri. Dan intropeksi diri!”

“Jadi maksud kamu aku nggak baik gitu, aku ngak bisa jaga diri aku? Jujur aku tersinggung banget dengernya. Inget mas aku nih lagi mengandung anak kita? Kok bisa-bisanya sih kamu bilang gitu. Childish tau nggak sih.”

“Apa kamu bilang? childish? Bukannya kamu ya yang selama ini yang childish banget. Nggak bisa ngertiin suami kamu. Jangan karena masih kuliah, kamu lupa kalau kamu sudah berbeda dengan temen-temen perempuan kamu!”

Jujur akhir-akhir ini, Vara ngerasa suaminya tuh menyebalkan sekali. Apalagi dengan pertengkaran yang entah karena apa suaminya bisa berbicara seperti itu padanya. Rasanya keromantisan dulu saat masih awal pernikahan seketika pudar. Ia rasa pergaulan dengan teman-teman cowoknya biasa-biasa saja. Hanya sekedar dalam hal perkuliahan tidak lebih. Malah sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Ia telah membatasi pergaulannya.

***

Usai mandi, Vara segera turun. Membantu seorang pembantu yang tengah merapikan meja makan. Ia memang hanya tinggal bertiga di apertemen itu. Ia, suaminya dan bi Elin pembantunya. Karena suaminya adalah seorang manager disebuah perusahaan ternama, jadilah ia harus mengikuti kemauan suaminya untuk tinggal bersamanya di apertemen yang selama ini ia tempati sendiri. Padahal Vara ingin tinggal dengan Ibunya. Namun karena jarak dari rumahnya yang terletak di Depok pun cukup jauh dari kampusnya, plus dulu pun ia ngekost di sekitar kampus. Apertemen itupun lumayan dekat dengan kantor suaminya dan juga kampus walau berlainan arah.

Mungkin ini memang pilihan hidup yang sulit baginya diusia yang ia rasa masih muda, bahkan masih duduk di bangku perkuliah semester 5. Namun pernikahan 6 bulan yang lalu dari sebuah perjodohan singkat. Membuatnya harus menerima konsikuensi sebagai seorang istri dan calon ibu. Dan jika bukan karena permohonan yang amat teramat serius dari Ayahnya, sebelum Ayahnya meninggal 5 bulan yang lalu. Sebulan setelah pernikahanya. Ia mungkin tak akan mau menikah secepat itu. Namun Ia merasa tak menyesal. Karena sebelum ayahnya pergi ia telah membahagiakan beliau. Dan kini iapun tahu mengapa Ayahnya dulu begitu mendesaknya untuk segera menerima lamaran dari Farhan.

Vara memang anak bungsu dari empat bersaudara, ketiga kakaknya yang semuanya adalah perempuan telah menikah. Tinggal dirinya. Maka sang ayah ingin ia segera menikah katanya sebelum Allah menjemput. Padahal saat itu Ayah tersayangnya masih dalam keadaan baik-baik saja. Namun rencana Allah siapa yang tahu.

Terdengar suara pintu terbuka. Ia tak beranjak dari dapur untuk menyambut kepulangan suaminya, ia malah langsung duduk di meja makan. Sang pembantu yang malah menyambut dan mepersilakan tuannya makan. Selama di meja makan itupun tak ada pembicaraan yang mengalir diantara dua pasangan ini seperti biasanya, tepat sejak dua hari yang lalu. Sang suami hanya menghela nafas. Aduh kamu nih bikin aku gemes aja sih sayang, peka dong!. Ketus hati Farhan.

Bukan hanya saat makan mereka seperti itu, bahkan saat di kamarpun begitu. Mereka satu ranjang tapi sibuk dengan kegiatan masing-masing. Vara begitu asik membaca buku sedang suaminya sibuk dengan laptop digengamannya.

Begini yah jadi istri yang dicuekin oleh suaminya, mumet abis. Sebegitu salahnya kah aku? yang aku pun nggak tau salahnya dari mana? Kepingin nangis, tapi… yaudahlah. Huft. Mending tidur aja!. Gerutu batin Vara. Ia segera menaikan selimutnya hingga dada. Lalu mengejamkan matanya. Ternyata sulit.

Sedang Farhan, jujur ia sebenarnya tak suka dengan suasana seperti ini. tapi mau bagaimana lagi ia terlanjur sakit rasanya. Apalagi mengingat suatu yang disembunyikan oleh istrinya darinya.

***

Hingga pagi, Vara mencoba membuka percakapan diantara mereka. sebenarnya ia amat gengsi untuk memulai. Apalagi yang memulai kebisuan ini adalah suaminya, laki-laki dewasa yang umurnya 5 tahun diatasnya, yang tentunya harus bisa menjelaskan dan menyudahi pertengkaran. Namun pertanyaan itu kian menggantung dalam benaknya. Mengenai maksud suaminya menodong kesalahan yang ia pun tak tau apa kesalahan itu.

“Sebenarnya apa sih salah Vara, Mas. Jujur Vara nggak suka suasana kayak begini, apalagi dikasih teka-teki yang ngebingungin gini.”

“Kamu belum sadar apa yang udah kamu lakuin?” seketika Vara mengeryitkan alisnya. Wajah mungil Vara tampak bingung denga kata-kata suaminya.

“Ya apa? Kamu nggak jelas banget sih. Udah mending langsung bilang apa kesalahan aku. Nggak usah bikin aku bingung lagi.” Pada laki-laki jangkung yang sudah S2 ini. Ketauan kan siapa yang childish disini, ya tentu aja kamu…ketus batinnya.

Seketika wajah suaminya tepat didepannya “Apa hubungan kamu dengan si Wildan?” kata-kata itu seakan membuat tubuhnya mematung seketika.

Wildan? Kok bisa-bisanya dia nyebut nama itu. maksudnya apa sih?. Vara pun mencoba tarik nafas dan menjawab.

“Aku makin dibikin bingung. Singkat, aku ngerasa nggak ada hubungan apa-apa dengan dia. Kamu jangan bikin perkara yang nggak pasti kayak gini deh.”

“Aku Cuma mau berprasangka baik, tapi kenapa ya, kayaknya ada suatu yang kamu sembunyiin dari aku tentang dia.”

“Disembuyiin? Apa? Kayaknya nggak deh.” Vara langsung pergi. Rasanya dia terlalu sakit. Kenapa sih suaminya menuduh suatu yang jelas-jelas diluar dugaanya. Apalagi menanyai tentang wildan. Ia seakan disuruh membongkar masa lalu yang menyakitkan itu.

Sungguh Vara kini tau maksud suaminya. Mungkin suaminya menduga ia memiliki hubungan dengan Wildan salah satu teman kelasnya yang pintar. Kini memoriannya kembali pada saat itu. pada hari sebelum pertengkaran terjadi, ia memang meminta bantuan pada Wildan untuk membantunya menerjemahkan tulisan berbahasa Arab. Bukan karena ia tak bisa meminta bantuan teman-teman ceweknya untuk membantunya, masalahnya saat itu sangat mendesak dan beberapa temannya yang bisa ia temui tak dapat membantunya. Jadilah ia meminta bantuan wildan. Ternyata selama ini suaminya salah paham atas kejadian itu. Sebegitu cemburunya suaminya dengan hal yang sepele seperti itu…

Namun yang membuat Vara bingung kali ini adalah suaminya tetap dingin padanya setelah ia menjelaskan tentang kejadian waktu itu hingga membuatnya bertengkar. Ada apa lagi?. Salah satu yang Vara tidak suka dari sikap suaminya adalah, membuat teka-teki atas kemarahannya. Serumit inikah menjadi seorang istri muda? Harus selalu mengerti tapi tidak untuk dimengerti? Rintihnya. Jenuh. Mungkin kata yang tepat untuknya kali ini.

Kini kampus dan rumah sama-sama tempat yang membuatnya lelah. Rasanya tak ada tempat yang dapat menyejukkan disaat ia berpusing ria mengenai tugas-tugas yang menumpuk di kampus dan masalah dengan suaminya.

Usai perkuliahan hari ini, tampaknya ia tak ingin buru-buru pulang. Bukan ingin mengerjakan tugas seperti biasanya. Ia ingin menyendiri, merefrash fikiran-fikiran yang membuat hari-harinya mumet belakangan ini.

***

Disebuah pinggiran danau Vara duduk menyendiri. Kurudung birunya terkibas angin yang berhembus, seperti daun-daun pohon kelapa diatasnya. Matanya sembab. Kedua tangannya memeluk perut yang sidikit buncit itu. kehamilan yang telah memasuki 4 bulan. Seketika memori bersama orang yang terkasihnya selama 6 bulan sejak mereka berta’aruf terngiang kembali.

Apa aku salah memilih? Entah mengapa kata-kata itu terlontar dalam batinnya. Kata-kata yang sama persis terucap dari seseorang disebuah ruang perkantoran. Sang suami, Farhan pun seakan mengingat memori perjalan dengan wanita yang ia nikahi itu, sambil menimang-nimang sebuah buku bersampul biru muda di tangannya.

Dulu, ia begitu mengingat betapa ia menginginkan untuk menikah. Dan ia ingin atas dasar pilihan dari Mama tercintanya. ia pun dijodohkan dengan seorang perempuan yang masih kuliah itu. saat awal melihat foto perempuan itu ia sudah jatuh cinta. Belum dipertemukan ia telah mencari tahu mengenai perempuan muda yang kini masih berumur 19 tahun. Dan mencoba mendekatinya lewat sahabatnya. Lyla yang ternyata dulu adalah adik kelasnya sewaktu SD.

Bertambahlah rasa kagumnya saat mengetahui kebiasaan plus keseharian perempuan berhijab itu. ia memang mendambakan calon istri yang menutup aurat, tak seperti rekan kerja yang mayoritas tak menutup aurat mereka. akhirnya dengan keyakinan yang utuh ia ingin segera meminang perempuan yang kini telah menjadi pendampingnya seumur hidup. Dan pernikahan itupun segera dilaksanakan usai berta’aruf dan sang perempuan mengiyakan lamarannya.

Seorang membuyarkan lamunannya. Mama. Tak biasanya Mama mampir kekantornya. Nyatanya beliau membahas mengenai permasalahan antara dirinya dan Vara dari bi Elin saat mama mampir tadi. Jadilah hari itu Farhan mendapat serentetan teguran dan nasehat dari Mama.

“Kamu kan suami. Harusnya kamu bisa menyelesaikan semua ini. bukan memperkeruh suasana. Pokoknya mama nggak suka lihat kamu bertengkar begini. Kamu kan sudah dewasa han, masa kamu nggak bisa sedikit saja mengalah. Siapapun yang salah, pokonya mama mau kamu yang memulai. Kamu adalah imam. Jangan egois!. Inget istri kamu sedang hamil muda. Kalau kamu menekan dia begini. Itu akan berdampak buruk bagi kehamilannya.” Jelas Mama panjang lebar usai mengetahui duduk permasalah. Namun ada satu yang jelas Farhan tak ceritakan pada sang mama.

“Iya Ma.”

“Yasudah, Mama mau balik dulu. Mama ingin kamu segera meminta maaf dan memperbaiki semuanya.” Seru Mama, Farhan hanya mengangguk.

Dari perkataan mama ia menyadari satu hal, beberapa hari ini ia memang nampak egois pada istrinya. Sesuai janji dengan mama ia akan memperbaiki permasalahan ini. teramat bodoh rasanya menyia-nyiakan istri yang cantik dan begitu ia sayangi dan menyanyanginya.

***

Ia sudah mempersiapkan segala kejutan untuk istrinya. Namun sang istri belum juga pulang padahal ini sudah malam. Berkali-kali ia hubungi namun handphone Vara tidak aktif. Membuatnya benar-benar khawatir. Iapun telah mencoba menghubungi kedua orang tua Vara plus teman-temannya namun tak ada yang tahu. Dan satu yang belum sempat ia dapatkan kabar. Yakni dari Lyla. Handphonenya pun tak aktif. Entah mengapa ia yakin istrinya bersama Lyla sahabat karibnya.

“Sayang kamu dimana sih?” Serunya lalu mengucap tasbih. Ia sudah keliling tempat-tempat yang sering Vara datangi. Namun nihil.

Dipenghujung kekhawatirannya, tepat saat ia sampai dirumah mertuanya. Handphonenya berdering. Nomor baru. Farhan segeran mengangkatnya.

“Hallo Assalamualaikum, mas Farhan..”

“Iya ini siapa?”

“Ini Lyla mas, sekarang saya sedang dirumah sakit. Mas bisa kesini kan? Vara masuk rumah sakit, Mas. Segera ya mas.” Belum sempat Farhan berbicara telpon telah tertutup.

Rumah sakit? Kenapa dengan istriku? Ya Allah…. Maafkan aku.

Belum sempat Farhan hedak menelfon lagi, satu sms mendarat, dari nomor yang tadi. Memberitahukan alamat rumah sakitnya. Di Rs. Fatmawati. Farhanpun segera meluncur. Iapun tak lupa untuk memberitahukan keluarga. Mertuanya dan juga Mama.

Sesampainya di rumah sakit. Ia menemukan Lyla bersama Wilda. Farhan sedikit dingin namun ia tak begitu tampakkan. Lylapun menceritakan kejadian yang menimpa Vara hingga bisa berada dirumah sakit ini.

Saat itu Lyla menemui Vara di danau, tepatnya saat Vara mengsms bahwa Vara butuh dirinya. Usai bercerita dipinngir danau itu. saat hendak pulang, Vara merasakan tak enak badan dan pusing. Ia izin sebentar ke kamar mandi dan menyuruh Lyla untuk menstater motornya saja karena hari itu sudah sore. Berhubung saat itu Lyla membawa motor. Awalnya Lyla ingin mengantarkan Vara namun Vara selalu bilang ia taka apa-apa, jadilah Lyla menuruti apa yang disuruh Vara.

Namun tak disangka Vara terpeleset saat berada dikamar mandi yang sedang dibersihkan itu. Lyla kaget bukan kepalang. Apalagi melihat darah yang mengalir dari balik gamis Vara. Dan saat kepanikan itu Alhamdulillah Lyla bertemu dengan Wildan yang saat itu sedang berada disebuah bengkel tak jauh dari kamar mandi di tempat wisata danau tersebut. Lylapun meminta bantuan Wildan untuk membawa motornya dan dia pergi ke rumah sakit dengan taksi. Lyla belum sempat memberitahukan Farhan saat itu karena handphone miliknya dan milik Vara mati. Saat Wildan datang barulah ia dapat menghubungi. Untungnya Lyla memberitahu kemana ia membawa Vara pada Wildan. Farhanpun hanya menghela nafas usai mendengar cerita Lyla.

“Maafkan Lyla ya mas. Andai Lyla mengantarkan Vara. Mungkin Vara nggak akan seperti ini.”

“Sudahlah, nggak usah disesali. Kita berdoa saja semoga tidak akan terjadi apa-apa.” Seru Farhan. Sungguh dibalik lubuk hatinya ada penyesalan. Ia yakin Vara seperti ini karena dirinya.

“Oya, terima kasih ya Wil. Sudah membantu saya.” Ucapnya, Wildan hanya tersenyum.

***

Matanya masih tertutup. Wajah bersihnya masih tampak pucat namun tenang. Disisinya Farhan memegangi tangannya yang putih bersih itu. ia meciumi sedalam kasih dan cintanya. Kini tangannya tergengam erat. “Sayang maafin mas ya.” Ujar Farhan.

Tak terasa embun mengalih hangat dari pipinya. Baru kali ini ia menangis sebagai seorang suami. Rasanya banyak sikap dia yang salah selama ini. Dari sini ia tahu, apa yang harus ia lakukan. Ia harus bisa menjadi penopang yang tangguh untuk belahan jiwanya yang masih terbaring. Untuk membesarkan hati istrinya nanti ketika ia telah membuka matanya. Ya.. Ia kini sudah merasa lebih baik ketika harus menerima satu yang menyakitkan.

***

Di ruang itu ia masih terdiam. Melihat sekeliling kamar yang nampak berbeda dengan kehadiran satu benda. Ya, kini Vara sudah boleh pulang oleh dokter sejak kemarin ia siuman. Rasanya memang menyakitkan ketika ia harus terbangun dan menerima semua ini. apalagi ketika ia melihat benda yang baru ia lihat, semakin merasa tergores pilu itu.

Sebuah box tidur bayi yang akan menjadi hadiah surprise permohonan maaf Farhan, suaminya. Namun rasanya benda ini bukan lagi mejadi hadiah karena ia harus menerima bahwa seorang yang ia idam-idamkan dirumah ini, yang akan menempati tempat tidur ini, harus tertuda. Vara keguguran. Satu hal yang saat ia terbangun rasanya ingin tertidur lagi dan bukan kenyataan itu yang ia terima. Namun ia memang harus menerima semua ini dengan besar hati. Kini ia dan suaminya sudah kembali seperti sedia kala. Bahkan suaminya yang selalu membersarkan hatinya untuk menerima semua ini.

Sang suami yang sedari tadi hanya melihatnya memandangi box bayi, menghampiri dan memeluknya. Lalu mengusap air mata yang Vara tak sadari runtuh dari balik matanya.

“Sayang… sabar ya. Semua ini titipan Allah. Dan ketika Allah mengambilnya, bukan berarti Allah ingin merusak kebahagian kita. Karena Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik lagi. Ikhlas ya sayang. Ini semua ada hikmahnya. Mungkin ini memang salah Mas, tapi kita bisa memperbaiki hubungan kita kan sayang?” Vara mengangguk dan segera memeluk suaminya.

“Maafin Vara juga ya Mas…” Lirihnya.

“Oya, ada satu hal yang sampai sekarang masih mengusik fikiran Vara, emmm sebenarnya mas kenapa sih? Vara udah jelasin ke mas, tapi mas masih tetep bersikap begitu. Jujur Vara nggak suka kayak begini.” Bukannya menjawab Farhan malah cengengesan. Vara hanya cemberut.

Farhanpun mengandeng istri tercintanya itu. dan mendudukannya di kasur. Lalu ia beranjak sebentar dan mengambil sesuatu dari balik tas kerjanya. Sebuah buku diary berwarna biru. Vara terlonjak kaget.

“Sikapku yang begitu ke kamu, karena buku ini sayang. Kamu kenal kan dengan buku ini.”

Ya, tentu saja kenal, itu kan buku diary miliknya. Dan kini Vara tahu apa maksudnya. Mengenai buku itu yang berhubungan dengan dinginnya suaminya padanya. Diary yang isinya mayoritas mengenai sosok Wildan, pemuda yang Vara kagumi sebelum ia menikah dengan Farhan. Sosok yang Vara cintai secara sembunyi yang ia rasa hanya perasaan sebelah tangan saja.

“Ya Ampun sayangku, jadi karena buku diary ini. hehehe. Maaf ya sayang lagian ngapain sih kamu ngorek-ngorek tentang hal ini. ini udah masa lalu. Dan nggak untuk sekarang. Emm ternyata suamiku ini cemburu yaa?”

“Bukan hanya karena itu, jelas aja aku mempermasalahkan hal ini, kamu masih deket sama dia plus tiap kekampus otomatis kamu ketemu dia. Gimana nggak bikin aku geger. Jangan-jangan sampai sekarang juga masih lagi.” Ketus suaminya, yang ternyata diam-diam mengambil buku diary saat mereka menginap dirumah Vara. dua minggu lalu.

“Ya nggak dong sayang, lagian aku kan udah jadi milik kamu. Aku lebih baik bersama orang yang benar-benar mencintaiku dari pada mencintai orang yang belum tentu mencintaiku. Lagian Allah udah nunjukin jodohku, yaitu kamu mas.”

“Dan satu lagi, semenjak kita menikah aku udah mencoba melupakannya, dan mencoba memupuk rasa untuk kamu. Ketika berhasil dan aku sudah benar-benar mencintai mas, mas malah buat aku seakan runtuh lagi.”

“Yaudah maafin mas ya sayang.” Vara menghela nafas lalu mengangguk senyum.

Dia teramat bahagia mendapat kasih ini. kasih yang Allah tautkan padanya dan suaminya. Ternyata Allah melabuhkan cintanya pada belahan jiwanya ini memang tak pernah salah. Apalagi saat Allah menggerakkanya untuk menerima suaminya dulu. dan kini mereka bersepakat untuk saling terbuka. Dan saat itu pula Farhan memberikan kejutan yang tertunda. Sebuah tiket traveling ke Singapore dan Malaysia selama seminggu. Begitu bahagianya Vara. semoga ini menjadi pelipur lara dari kegugurannya.

Oleh: Huliyyatul Ashfiya, kota Bekasi

Img: i.brta.in

Tinggalkan Balasan