[Cerpen] Jika Allah tidak Sayang pada Kita

0
573

Segala kebahagiaan itu tidak selamanya di takar dan diukur dengan harta, kekayaan dan jabatan. Ada kala dimana kesehatan, ketenangan hati atau ketenangan bantinlah yang lebih berharga dan dibutuhkan dari segalanya. Memang kita tidak dapat memungkiri harta dan kekayaan juga sangat di perlukan, baik untuk mencukupi kebutuhan hidup maupun untuk ibadah. Tapi apalah guna jika harta melimpah namun tak ada ketentraman hati di dalamnya, ia sibuk dan terus di perbudak dengan hartanya. Apalah guna kekayaan namun hatinya selalu tak tenang atas kekayaan yang di simpannya. Apalah guna harta menggunung tapi ia tidak menggunakanya dalam kebaikan di jalan-Nya.

Ku mencoba mendorong sekuat tenaga gerobak sayuran ku. Ya inilah pekerjaanku sebagai penjual sayuran segar yang setiap pagi berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Ada rasa lelah menyelinap dalam setiap langkah-langkah ku. Namun ku coba tetap bersabar dengan semangat yang terus membara. Aku yakin Allah selalu memberikan kemudahan dan kebaikan atas apa yang aku lakukan.

Sudah tiga tahun aku hidup seperti ini. Hidup dengan pekerjaanku sebagai penjual sayur keliling dan pekerjaan tambahan lainnya. Meskipun hanya pekerjaan seperti ini,tapi tetap aku bersyukur karena sampai saat ini aku masih dapat menghidupi istriku Isma dan putriku Shafa yang baru berusia tujuh tahun. Sembilan tahun yang lalu keluarga kami bisa di katakan berkecukupan dalam ekonomi. Kami memiliki tiga toko sayuran dan dua toko sembako di pasar daerah tempat kami tinggal dengan sembilan belas pegawai yang bekerja membantu kami. Namun seiring waktu berjalan,ternyata Allah memiliki rencana yang begitu indah untuk keluarga kami. Mungkin karena Allah ingin kami lebih dekat dengannya hingga Allah menggambil nikmat yang pernah Allah titipkan pada kami.

Allah mengambil nikmat yang kami peroleh berupa nikmat sehat dari istriku. Ya,setelah kami menikah kami menekuni pekerjaan yang telah ku jalani sebelumnya dengan tiga toko sayuran dan dua toko sembako yang di miliki. Satu tahun kemudian kami di karuniai seorang putri,selang dua tahun barullah Allah mencabut perlahan-lahan nikmat sehat dari istriku hingga usaha toko-toko milik kami juga ikut meninggalkan kami satu persatu untuk biaya pengobatan istriku. Sekuat tenaga ikhtiar dan do’a kami jalankan mulai dari obat herbal dan tidak lupa tentunya kami memohon dan meminta kesembuhan kepada-Nya. Namun Allah sepertinya ingin kami tetap bersabar atas ujian yang Ia beri kepada kami.

Sakit yang di derita oleh istri ku dari hari ke hari semakin menjadi. Kesehatanya menurun drastis. Selalu terlihat rasa kesakitanya namun selalu ia sembunyikan dari aku dan putriku. Disinilah Allah menambahkan ujian-Nya kepada kami. Aku memutuskan kembali untuk memeriksakan istriku ke rumah sakit setelah sebelumnya penolakan selalu keluar dari ucapanya. Ia selalu meyakinkan aku bahwa ke adaanya baik-baik saja dan hanya sakit magh biasa karena telat makan. Namun aku selalu tidak tega bila ia sedang merasakan kesakitanya. Hingga aku putuskan untuk tetap membawanya ke rumah sakit.

Setelah pemeriksaan selesai. Dokter mengabarkan hasil yang ia dapatkan dari penyakit istriku. Ternyata selama ini bukan magh yang sedang di alami istriku tapi penyakit ginjal yang sedang di alaminya. Dokter meminta kepada ku agar segera mengambil langkah untuk oprasi secepatnya agar kondisinya tidak semakin memburuk.

Aku kabarkan berita ini pada istriku,ada rasa sedih ketika akan menyampaikan berita ini padanya. Namun rasa sedih itu tidak terlihat dari wajah istriku,ia tetap pada wajahnya yang tersenyum memandangku saat aku berbicara padanya dan mencoba tetap tegar atas segalanya. Mungkin ia tersenyum karena tidak ingin aku bersedih akan keadaan yang dialaminya.

Ada rasa cemas dan khawatir yang selalu menggelayuti hatiku saat proses oprasi istriku berlangsung. Jujur aku sangat takut kehilanganya. Gelisah selalu menghantui aku saat itu. Ku peluk putriku erat-erat saat berada di ruang tunggu. Terdengar suara adzan Ashar memanggil kami untuk segera menunaikan kewajiban saat itu. Aku dan putriku segera berjalan menuju masjid dekat rumah sakit. Dalam do’a ku pada-Nya,aku meminta agar Allah memberikan keselamatan dan kesembuhan pada istriku.

Setelah lima belas hari di rawat di rumah sakit. Akhirnya dokter telah mengizinkan kami untuk membawa pulang Isma. Harapanku setelah kami meninggalkan rumah sakit ini yaitu agar istriku lekas kembali sembuh seperti sedia kala. Tapi ada perkataan dari dokter yang saat itu mematahkan semangat istriku untuk kembali sembuh seperti sebelumnya. Dokter menyatakan bahwa kerja ginjal istriku akan bergantung pada alat yang terpasang dalam tubuh istriku. Dan kemungkinan besar alat tersebut akan selamanya terpasang disana. Ya,Allah ingin ku menangis seketika itu saat mendengar pernyataan dokter. Namun aku tetap tidak boleh menunjukan perasaan sedih ini kepada istriku.

Kami tiba di rumah tepat pukul 14.00. Sebelum istriku datang untuk kembali ke rumah,aku rapikan semua ruangan yang sebelumnya tidak pernah aku perhatikan keadaannya karena aku sibuk untuk menjaga Isma saat itu.

Di atas kasur ku lihat ia terbaring begitu lemas. Perlahan bibirnya mengeluarkan kata-kata kepadaku.

“Abi maaf, Ummi ingin minta tolong ambilkan cermin boleh?”. Pintanya padaku.

“Boleh,bentar ya ummi sayang. Abi ambilkan untuk ummi”. Ucapku padanya.

Tiba-tiba air matanya berlinang dari kedua matanya.

“Astaghfirullah. Abi,ini siapa? Apa ini wajah ummi? Mengapa wajah ummi seperti ini Abi?”. Ucapnya sambil memperhatikan cermin yang sedang di genggamnya.

“Ummi tetap cantik ko”. Ucapku padanya.

Selama lima belas hari tersebut memang ia tidak pernah melihat wajahnya di cermin. Sakit yang di rasakanya membuat berat badanya juga ikut berkurang,mungkin sekarang sekitar 35 kg kurang lebih berat badanya.

“Abi akan tetap sayang dan cinta pada ummi. Apapun keadaan ummi saat ini. Ummi percaya pada Abi kan?”. Tanyaku padanya.

Ia hanya mengangguk dan tersenyum padaku dengan air matanya yang terus mengalir. Ingin aku ikut menangis bersamanya untuk menumpahkan kesedihan ini. Tapi tak mungkin aku luapkan kesedihan ini padanya.

Berhari-hari keadaan Isma semakin membaik. Tapi ia tetap bergantung pada alat yang ada pada tubuhnya. Setiap harinya ia habiskan waktu untuk beribadah dan mengajari Shafa belajar. Baik pelajaran agama atau pelajaran di sekolahnya. Aku sangat kagum padanya. Meskipun keadaanya sakit dan selalu terbaring di kamar ia tetap berusaha untuk selalu membimbing Shafa dalam belajar.

Pada suatu hari Isma menyatakan suatu hal yang membuatku kaget.

“Abi,maafkan ummi”. Ucapnya.

“Untuk apa ummi meminta maaf pada abi? Ummi tidak ada salah ko pada abi. Bilapun ada,Abi yang harus banyak minta maaf pada ummi. Ternyata menjadi ibu rumah tangga itu tidak semudah yang abi bayangkan ya ummi? Bangun pagi-pagi sudah merendam pakaian,menyiapkan sarapan,terus mencuci pakaian yang tadi sudah di rendam,membersihkan rumah dan lain-lain. Maaf kan abi ya ummi karena telah merepotkan ummi selama ini. Terimakasih atas kebaikan ummi pada abi yang selama ini abi sendiri tidak menyadarinya ”. Jelasku.

“Ummi yang harus minta maaf pada abi karena pekerjaan yang seharusnya ummi kerjakan saat ini jadi abi yang mengerjakan semuanya”. Ucapnya

“Abi…”

“Iya ummi sayang”. Jawab ku.

“Abi mengapa tidak mencoba mencari pangganti ummi saja supaya pekerjaan abi ada yang membantu?”. Tanya istriku.

“Ummi sayang,kenapa berbicaranya demikian? Maafkan abi,maksud abi barusan bukan mengeluhkan akan keadaan abi sekarang”.

“Ummi ikhlas”. Suara istriku terdengar sendu.

“Ummi,abi tidak suka bila ummi berbicara demikian. Tetap ummi yang selalu ada dalam hati abi tidak dengan wanita yang lain.” Jelasku.

“Abi,kata dokter ummi akan seperti ini sampai kapanpun”. Suaranya terdengar dengan nada sedih.

“Dokter itu hanyalah manusia,ummi. Sama seperti kita. Apa yang dokter katakan itu hanyalah perkiraannya saja. Sebenarnya yang menyembuhkan itu adalah Allah dan salah satu ikhtiar kita agar sembuh itu dengan kita berobat ke dokter dan tidak lupa untuk selalu berdo’a pada-Nya”.

“Tapi kenapa ya abi,ketika kita ingin berbuat baik Allah selalu memberikan ujiannya kepada kita. Abi,ummi capek dan ummi sudah lelah.” Nadanya setengah menggerutu.

“Ummi yang dulu abi kenal tidak seperti ini. Ia selalu optimis,selalu berbaik sangka atas apa yang Allah tetapkan pada kita. Memang suatu hal yang wajar jika dalam keadaan seperti ini kita mengeluh. Itu hal yang manusiawi. Saat ujian datang,ada kala iman tetap teguh dan bertambah namun ada juga keimananya ikut memudar,tapi abi berharap ummi tidak demikian. Ummi harus tetap optimis dan tetap berhusnuzhan atas apa yang Allah beri selama ini.” Harapku padanya.

“Apa mungkin Allah sudah tidak sayang lagi pada ummi ya abi?”. Ujar Isma.

“Ummi sayang,jika Allah tidak sayang pada kita,untuk apa Allah melebihkan nikmat kita dari yang lain hingga saat ini? Jika Allah tidak sayang pada kita,untuk apa Allah memberikan ujian pada kita? Terkadang kita tidak menyadari bahwa ujian itu merupakan salah satu bentuk rasa sayang Allah kepada kita. Munggkin Allah ingin selalu mendengar do’a-do’a kita, mungkin Allah ingin agar kita lebih fokus untuk beribadah mendekatkan diri pada-Nya, mungkin Allah ingin memberikan ujian sakit ini supaya Allah menggugurkan dosa-dosa yang telah kita perbuat. Ummi ingat akan hadist ini?

Rasulullah SAW bersabda , yang artinya ,” Tidak ada yang menimpa seorang hamba muslim dari kepenatan, sakit yang berkesinambungan (sakit menahun), kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai duri yang ia tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya ( HR.Bukhari). Ummi,Allah yang menjamin kehidupan kita,maka serahkanlah segalanya pada-Nya apapun itu. Allah menginginkan kebaikan pada diri ummi atas ujian yang Allah beri berupa sakit ini”. Jelasku padanya.

“Iya Abi,ummi percaya akan semua yang abi katakan barusan. Ummi berkata demikian hanya ingin menguatkan hati ummi agar selalu yakin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya. Terimakasih ya abi. Maafkan ummi bila selama ini selalu merepotkan dan menyusahkan abi”.

Terdengar suara lirih istighfar dari bibirnya berulang-ulang. Sesak sekali dada ini setiap ingin menarik nafas setelah mendengar ucapan istighfarnya. Yang aku kenal darinya,Isma adalah wanita yang sabar,kuat,cerdas dan selalu teguh pada pendirianya. Tidak pernah aku bayangkan bagaimana bila aku berada di posisinya saat itu. Mungkin aku tidak dapat setegar Isma dalam menjalani hari-hari ini.

Itulah pembicaraanku denganya saat itu. Saat ini aku hanya bisa menatap wajahnya dalam setiap tidurnya. Sudah beberapa hari ini kesehatanya menurun. Ia hanya dapat tertidur dengan rasa sakit yang ia derita. Hampir saja aku lupa,obat isma sudah habis saat ini. Aku harus membelinya sekarang. Aku mengajak Shafa untuk membeli obat sekaligus  membeli makanan untuk siang ini karena aku tidak sempat memasak.

Di sepanjang jalan. Aku membayangkan jika saat ini bisa berjalan bersama-sama dengan Isma. Ada kerinduanku padanya seperti beberapa tahun silam saat kami bisa berjalan-jalan bersamanya. Tiba-tiba suara Shafa mengagetkanku.

“Abi…abi.. coba lihat wanita itu sangat cantik”. Ia menunjuk kepada seorang wanita yang sedang menggandeng anaknya bersama suaminya.

“Tapi ummi Isma lebih cantik bagi abi. Abi salut pada ummi. Ketika ummi  mengandung Shafa, beliau terkadang kesusahan dalam mengurus dirinya dan pekerjaan rumah. Ketika itu abi melihat kecantikan ummi. Ketika ummi selalu semangat untuk mengajar Shafa belajar,baik pelajaran sekolah ataupun pelajaran agama. Ketika itu Abi melihat kecantikan ummi. Ketika Ummi berhasil mengajarkan mengaji Shafa sampai Shafa saat ini hafal 3 juz. Saat itu juga abi melihat kecantikan ummi. Begitupun dengan sekarang. Ketika ummi selalu bersabar dan tetap tersenyum kepada abi dan Shafa dalam sakitnya. Abi selalu melihat kecantikan dari diri ummi. Kecantikan tidak selalu terlihat melalui fisik Nak,tapi dilihat dari hatinya”. Jelasku padanya.

Tiba-tiba putriku menangis dan memeluk aku. Aku hentikan langkah ini. Ku coba menanyakan mengapa ia menangis saat itu.

“Shafa mengapa menangis nak?”. Tanyaku.

“Abi maafkan Shafa ya karena Shafa sudah berbicara demikian pada abi. Shafa rindu ummi. Shafa rindu bisa mengaji bersama-sama dengan ummi. Shafa rindu menghapal Al-Quran bersama ummi. Abi,apa ummi saat ini tidak mau belajar lagi dengan Shafa ya? Mengapa ummi tidak bangun seperti biasanya untuk mengajar Shafa?”. Tanya putriku dengan isak tangisnya.

“Ummi,sedang membutuhkan istirahat yang cukup nak. Ummi sangat sayang pada abi dan Shafa. Sebenarnya ummi juga sangat ingin bisa belajar bersama-sama dengan Shafa setiap harinya. Menemani Shafa dalam mengaji,menghapal Al-Quran dan lainnya.  Shafa jangan lupa selalu do’akan ummi ya agar segera lekas sembuh”. Ujarku padanya.

Setelah sampai di depan halaman rumah. Shafa segera berlari menuju kamar ummi nya. Ia pandangi wajah umminya dengan tatapan penuh kasih sayang.

“Ummi,Shafa sayang Ummi. Ummi janji ya cepat sembuh dan mau mengajarkan Shafa membaca Al-Quran lagi?”. Pinta Shafa pada umminya.

Isma hanya terdiam. Memang sudah beberapa hari ini terkadang ia tidak sadarkan diri. Namun terkadang ia kembali siuman. Shafa menangis tersedu-sedu saat permintaanya tidak di jawab oleh Isma. Jemari manisnya mengelus-ngelus wajah Isma sambil berkata. “Ummi,Shafa sayang dan cinta ummi karena Allah. Kini Shafa benar-benar melihat kecantikan ummi yang abi maksudkan”. Suaranya begitu menyayat hatiku saat itu. ketika itu aku benar-benar tidak dapat menahan air mata ini. Kembali aku peluk erat-erat Shafa dengan tasbihku yang keluar dari bibirku.

Untuk Isma istriku dan Shafa putriku. Engkau bagaikan dua bidadari yang hadir untuk ku saat itu. Maafkan abi ya ummi. Maafkan abi wahai putriku Shafa. Abi tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya doa dan kesabaran lah yang ada untuk bekal abi saat ini. Duhai istriku Isma,jika Allah tidak sayang kepada kita ,maka Allah tidak akan memberikan ujian ini kepada kita. Ummi lekas sembuh ya. Abi selalu menunggu ummi. Ummi tidak usah khawatir,abi akan tetap bersama dan selalu menemani ummi disini bersama Shafa.

Oleh: Eki Arti Santia

Img: fotografindo

Tinggalkan Balasan