[Cerpen] Kiran untuk Kirana

0
1087

            Suara keributan di luar kamar Kiran telah mengusir lelap tidurnya. Entah sejak kapan keributan itu menembusi gendang telinganya. Kiran tak bisa mengingatnya. Apa yang bisa diingat dari seorang anak seusianya? Usia hanya mengenalinya pada dua bahasa. Tangis dan tawa.

            Mulanya, tangis Kiran acap pecah. Sebab, suara keributan menjentikkan ketakutan di hatinya. Pelan-pelan, Kiran menjadi terbiasa. Kini, suara keributan itu bagai kidung pembuka pagi baginya.

Kiran seolah telah dipahamkan oleh waktu. Bahwa ketenangan akan kembali menimangnya. Setelah terdengar bunyi gesekan pintu gerbang dan deru mesin mobil menjauh.

Lalu, seperti pagi yang berkesudah. Kirana datang membuka jendela kamar Kiran. Bersamaan dengan jendela yang terkuak, udara pagi melesak masuk. Lantas, Kirana menghampiri Kiran di pembaringan dan memberinya kecupan.

“Sudah bangun, Nak.”

Kiran memandang Kirana sejenak. Bibir Kirana melengkungkan senyum. Tangannya membelai kepala Kiran. Sedang matanya menghangat. Hangat menjelma sebulir kilau. Jatuh mengenai wajah Kiran.

Ujar Kirana, “Ayo, kita pergi ke taman, Nak. Sambil bunda suapi Kiran makan, kita berjemur di sana.”

Kirana menggendong Kiran. Dalam gendongannya, tulang-tulang Kiran terasa kaku. Tak luwes menyatu dengan pinggangnya. Keluar dari kamar, ia bersama Kiran berjalan melewati ruang makan.

Di sana, serpihan-serpihan beling berserakan di lantai. Tampak berkilau. Tak sekali-dua kali lantai menampa serakan beling. Serpihan yang mengilau itu terlihat menarik di mata Kiran. Namun, karena serpihan-serpihan itu juga Kirana pernah meneriakinya.

“JANGAN KIRAAAN!!! BERHENTIIIII!!!”

Kiran abai dengan teriakan Kirana saat itu. Ia terus merangkak. Beberapa jengkal lagi, seserpih beling nyaris menyayat kulit Kiran. Dengan gegas berlari Kirana menghampirinya.

“Maaf, Nak. Benda ini berbahaya untuk Kiran. Kiran bisa terluka.”

Kirana melembutkan suara sembari menatap Kiran. Kiran hanya membalasnya dengan pandangan kosong.

*

Sinar mentari tampak lurus menjuntai dari balik gumpalan-gumpalan awan putih. Sebagian sinarnya menyorot bumi. Meresapkan perlahan sisa-sisa embun di pucuk dedaunan dan rerumputan ke udara. Lainnya, membagi hangat pada atap-atap rumah.

Taman telah ramai oleh beberapa anak-anak seusia Kiran. Kebanyakan dari mereka dalam gendongan entah sang ibu atau baby sister-nya. Sisanya para manula yang tengah menyambut kehangatan pagi dengan olah tubuh atau duduk-duduk. Kaki     “Rupanya, Kiran sudah tak sabar ingin segera berjalan, Nak,” ucap Kirana saat merasakan kaki Kiran melonjak-lonjak dalam gendongannya.

Kirana menurunkan Kiran. Kedua tangannya menggenggam jemari Kiran. Lantas menuntun langkah kecil Kiran. Baru beberapa depa kaki terjejak, jejaring pandang Kiran mendapati sepasang burung kecil terbang merendah sambil berputar-putar. Gerakannya membesarkan kegembiraan Kiran.

Kiran tertawa-tawa. Langkah kakinya menjadi serampangan. Sepasang burung itu terburu ingin dijangkaunya. Namun, begitu Kiran mendekat, sepasang burung itu terbang kian tinggi.

Kiran menangis sejadinya. Tangisnya bercampur dengan letupan amarah. Tangan Kiran tak siap dengan amukan yang terjadi tiba-tiba. Jemari Kiran terlepas dari genggamannya. Kiran menggelusurkan diri ke tanah. Ia membenturkan kepalanya. Dengan tangis yang masih kencang.

Tangis Kiran menyeret kaki Kirana ke bangku taman. Kirana mendudukkan Kiran di pangkuannya. Tangannya mengusap-ngusap punggung Kiran. Pun bibirnya mengecup kepala Kiran berulang kali.

Selama ini, amarah adalah cara Kiran berbicara bila keinginannya tak terpenuhi. Amarahnya adalah amukan yang menyakiti diri sendiri. Tak hanya ketika berada di luar. Di rumah, lantai juga tak jarang menerima hantaman dari kepalanya.

Setelah tangis Kiran reda, Kirana menghadapkan wajah Kiran ke wajahnya. Dilihatnya mata Kiran sembari berkata, “Nak, burung itu bersayap. Sayap membawa mereka terbang tinggi. Kiran tak bisa-”

Kalimat Kirana terpangkas oleh ulah Kiran. Kiran menundukkan kepalanya. Tubuhnya berontak menggeliat. Tangis kembali pecah setelahnya. Kirana tak lagi berbicara. Hanya belaian lembut hangat pada Kiran yang ditumpahkan Kirana dalam diam.

Kiran paham. Betapa Kiran sulit mengendalikan diri. Pun memusatkan perhatian pada satu titik tertetu dalam jangka waktu lama. Bertatapan mata dengan Kiran lebih dari lima detik adalah hal yang musykil.

“Kita pulang sekarang, Nak. Mentari sudah semakin panas. Sudah bukan waktunya lagi untuk Kiran berjemur.”

*

Rembulan menyabit di angkasa. Kirana hanyut meresapi termaramnya. Bersama sunyi yang mengepung hatinya, Kirana merenungkan keganjilan-keganjilan. Akan perubahan lelaki yang menikahinya empat tahun silam.

Selain keributan yang kini kerap mewarnai pagi, didapatinya lelaki itu kian menghambar. Rumah tak lebih dari sebuah wahana penenggat lelah sekehendak suaminya datang. Kesibukan lebih sering melarutkan suaminya di luar kota.

Sewaktu ranjang menjadi tempat peraduan bersama, seringkali hanya kebekuan yang menyelimuti. Rengkuhan telah jarang didapatinya. Perbincangan hangat begitu sulit mengalir. Masih tanak dalam ingatan Kirana tentang percakapan lalu. Ketika di atas ranjang, punggung sang suami membelakanginya.

“Adakah wanita lain yang telah memalingkanmu dariku?”

“Sudahlah, berapa kali pertanyaan itu kamu ulang!

“Aku merasakan perubahan itu. Kapan terakhir kali kita berbicara dengan hati? Kamu lebih sering memilih amarah untuk menghindari perbincangan.”

“Tidak ada wanita lain atau apa pun! Aku hanya lelah! Pekerjaan-pekerjaanku sudah terlampau menyita pikiran! Pahamilah!”

Tempias menampa rinai gerimis. Rinai gerimis melahirkan suara gemericik. Gemericik menderas. Menyadarkan Kirana dari kelana waktu lampau. Dipandanginya Kiran yang tertidur pulas. Tepukan tangannya telah mengantarkan Kiran pada bunga tidur.

Lirih terdengar ujar dari bibir Kirana, “Bunda menyayangimu. Lebih dari bunda menyayangi diri sendiri, Kiran.”

*

Waktu terus menumbuh-kembangkan Kiran. Tak terasa, usianya telah menapaki empat tahun. Jalan kehidupan Kirana kian berliku dan cadas berbatu seiring pertambahan usia Kiran. Kiran tumbuh menjadi anak yang “istimewa”. Lainnya, bahtera rumah tangganya semakin dirasainya oleng.

“Kamu berkelahi lagi?! Berapa pot bunga tetangga yang kau pecahkan?! Haaah?!!!”

“Tapi ayah-”

“Kamu ini!! Selalu saja menyusahkan! Berapa kali ayah menerima keluhan dari orangtua teman-temanmu! Pagi ini, tak cuma pot bunga yang hancur. Kamu juga melukai temanmu! Lagi dan lagi!”

“Tapi ayah-,” sebuah tamparan mendarat di pipi Kiran. Dari seorang lelaki yang Kiran panggil ayah.

“Bundaaaaaa!”

Mendengar teriak kesakitan Kiran, perih menikam-nikam hati Kirana. Pun memanaskan matanya. Kirana kekang setengah mati agar panas di matanya tak leleh melinang. Bukan keluhan-keluhan tentang Kiran yang memerihkan hatinya. Tetapi apa yang barusan dilakukan oleh suaminya.

Bagi Kirana, keluhan-keluhan dari bibir para tetangga tak lagi dirasainya tajam menusuk. Keluhan yang baru saja didapati atau keluhan lainnya serupa itu sudah sering Kirana reguk.

Semenjak Kiran berusia dua tahun, keluhan demi keluhan telah berguliran. Mereka katakan Kiran acap tak terkendali saat bermain dengan teman seusianya. Kiran menjambak, mendorong, memukul dan mengigit anak-anak mereka.

Semasa itu, Kirana kerap menghaturkan maaf atas tingkah polah buah hatinya. Selaju aliran waktu, keluhan-keluhan yang melahirkan cemoohan dari banyak bibir, menempa Kirana menjadi kebal. Cemoohan-cemoohan telah membentuk antibodi di hatinya.

Kirana mendekati Kiran, “Kiran, pergi ke kamar dulu, Nak. Dan tolong tutup pintunya,” titah Kirana sembari menatap Kiran.

Kiran tak bergeming sampai Kirana menegaskannya dengan isyarat tangan, “Ayo, Nak. Kiran pergi ke kamar duluan. Tutup pintunya. Nanti bunda susul.”

Kiran berlalu dari hadapan mereka. Seiring lesapnya punggung Kiran dari hadapan Kirana dan pintu kamarnya tertutup rapat, adu mulut dimulai.

“Tak seharusnya kamu lakukan itu! Kamu tak pernah memberinya kesempatan untuk menjelaskan! Cobalah memahami Kiran!” cetus Kirana.

“Kamu selalu membelanya!” nada suara suaminya tidak kalah tinggi.

“Lalu, kamu? Bisakah mencoba sedikit saja bersabar menghadapi Kiran?”

“Anak itu hanya membawa keluh-kesah para tetangga ke sini! Dia terlalu nakal.”

Pecah sudah wadah hati Kirana menampung kesabaran. “Kamu bahkan tak tahu seberapa istimewanya anakmu sendiri! Dan kamu sendiri? Terlalu tempramental,” balas Kirana dengan sengit lantas meninggalkan suaminya.

Kirana melangkahkan kaki ke kamar Kiran. Di dalam kamar Kiran, kertas-kertas dengan bermacam coretan warna berselirak di lantai. Gambar-gambar buatan Kiran menempeli dinding kamarnya penuh-penuh. Itulah Kiran. Gambar adalah caranya membahasakan rasa. Kiran terlahir dengan anugerah berdaya imaginasi tajam, melebihi anak seusianya.

Di sisi pembaringan, Kiran duduk menelungkupkan kepala di atas kedua kakinya yang menekuk. Badannya berguncang kecil. Sengguk tetas bersama guncangan.

“Kiran….”

Kirana mengangkat kepala Kiran. Airmata Kiran menganak-sungai. Dahinya berdarah.

“Mengapa ayah selalu marah pada Kiran, Bunda? Ayah juga selalu bilang Kiran anak nakal. Kiran nakal, ya, Bunda?” tanya Kiran.

Kirana menatap Kiran dalam-dalam, “Kiran tidak nakal, Nak.”

“Mereka mendorong Kiran lebih dulu, Bunda. Mereka marah karena bola yang Kiran lempar mengenai muka mereka. Kiran sudah bilang tidak mau main bola. Tapi mereka paksa Kiran.”

Kirana mengerti. Benda apa pun yang dilemparkan Kiran, tak pernah tepat mengenai sasaran. Kejanggalan itu telah dirasai Kirana. Kala Kiran mulai berjalan di usianya yang menginjak dua tahun.

Saat berjalan, Kiran kerap menabrak apa-apa yang ada di hadapannya. Otaknya seolah tak bisa memperkirakan adanya aral yang merintangi langkahnya. Kiran tak bisa mengira-ngira jarak dan kecepatan. Sepanjang usianya, Kiran tak pernah bermain bola.

“Mereka bilang, ‘Kiran bodoh’.”

Kirana menghapus airmata Kiran. Lalu membersihkan luka di dahi Kiran. Ucapnya, “Biarkan saja mereka berkata begitu pada Kiran. Apa pun yang mereka katakan, Kiran tetap anak bunda. Bunda selalu sayang Kiran. Kiran tidak bodoh, Nak. Dengan belajar, Kiran bisa pintar.”

Kirana mendekap Kiran. Lama. Hingga Kirana meneteskan airmata. Sejauh ini, selancarnya Kiran berbicara, Kirana dapati dengan perjuangan dan gumam doa-doa di sepertiga malam-Nya. Masih tertanam ingatan dalam Kepala Kirana. Ketika Kirana mengajarkan satu kata “meja” kepada Kiran. Saat itu Kiran berusia dua tahun.

“MEJA. M-E-J-A,” eja Kirana dengan mata yang tak lepas menatap Kiran. Pula sembari tangannya menunjuk benda yang dinamai meja.

Anak seusianya, mengucapkan benda bersuku kata minimal dua tak begitu sulit diucapkan. Sedang bagi Kiran, adalah kerja keras untuk rahangnya bergerak dan matanya berkonsentrasi.

Hari-hari milik Kirana tercurah habis untuk menerapi Kiran. Kirana merutinkan terapi bicara untuk Kiran. Selama empat jam per hari. Berbagai kosakata Kirana kenalkan pada Kiran.

Buku bergambar tanpa huruf-huruf atau angka-angka memperkaya isi kepala Kiran akan kosakata. Gambar dengan warna terang mencolok lebih menarik di mata Kiran daripada deretan huruf-huruf atau angka-angka. Kirana melakukannya sepanjang dua tahun.

*

Kiran mendapati tubuh Kirana tak tertangkap rabaannya. Matanya membuka sesaat. Dilihatnya Kirana tengah telimpuh di atas sajadah. Selebihnya, kantuk berat melelapkan Kiran kembali.

Sesungguhnya, batin Kirana tengah menjerit. Katarsis perih dilepaskannya bersama reratap yang lirih sepanjang sujud. Tetas sudah keganjilan yang selama ini direnunginya. Terkuak sudah bangkai yang suaminya pendam.

Di suatu siang, mata kepalanya mendapati sang suami mematahkan setia. Suami Kirana bermain api dengan wanita yang dikenalnya. Sembilu melumat pertahanan Kirana dengan sempurna. Hatinya remuk-redam. Mumur tak bersisa.

Kirana menghujani-Nya bertubi-tubi ampun dalam sujud panjangnya. Sisi manusia Kirana tak sanggup untuk menambal sulam mahligai rumah tangganya. Komitmen tanpa setia, baginya terasa percuma. Luka telah mengoyak parah hatinya.

Usai kucuran reratap memberinya kelegaan, ia rebah di pembaringan. Direngkuhnya Kiran dengan perasaan bersalah yang mendalam. Matanya masih saja basah. Pun hatinya berdarah. Batinnya menggemakan permohonan maaf. Atas apa yang akan diberikannya kepada Kiran: sebuah keluarga yang tercerai-berai.

Dari sebalik jendela, lengkung rembulan membentuk parang yang terang. Lingkarnya tak lagi penuh. Seperti hati Kirana yang tak lagi utuh.

*

Perubahan status memaksa Kiran membanting tulang demi menjaga asap dapur tetap mengepul. Pun membiayai sekolah Kiran. Kiran telah bersekolah di Taman Kanak-Kanak tak jauh dari kantor Kirana bekerja.

Sejauh Kirana telah mengambil pilihan, Kiran tak pernah mempersalahkan dirinya. Meski tak bisa disangkal, hati kecil Kirana tetap merasai, anak adalah korban terbesar perceraian.

“Kiran baik-baik saja, Bunda. Selama ada bunda bersama Kiran,” ujar Kiran ketika Kirana menjelaskan perpisahannya dengan sang ayah.

Kiran tak pernah mengeluhkan apa-apa di depannya. Sampai suatu ketika, Kirana mendapati keluhan dari salah satu guru di sekolah Kiran.

“Anak Anda sulit untuk diarahkan membaca dan menulis. Ia cenderung memilih bermain sendiri atau berulah saat kami menegaskan sikap padanya. Kiran sering menunjukkan pengulangan kesalahan yang sama dalam menulis. Entah dia sengaja melakukannya atau tidak.”

“Kesalahan bagaimana, Bu?” tanya Kirana.

“Contoh: Huruf ‘b’ dan ‘d’ sering tertukar. Lalu, angka 7 ditulis terbalik ke bawah seperti gambar hidung. Kiran juga masih kesulitan memegang pensil dengan benar di lima tahun usianya.”

Keluhan yang sampai ke telinga Kirana membuka pembicaraan antara dirinya dan Kiran di suatu malam.

“Kiran… Kiran tidak suka dengan pelajaran baca tulis di sekolah?”

Kiran mendadak kaget. Kekagetan membisukan mulutnya cukup lama. Sepanjang kebisuan Kiran hening meraja.

“Bunda tidak marah, Nak. Bunda hanya ingin tahu mengapa Kiran tak suka dengan pelajaran baca tulis,” Kirana memecah hening dengan suara lembutnya.

“Angka-angka dan huruf-huruf itu seperti menari-nari di mata Kiran, Bunda. Kepala Kiran pusing.” Kiran akhirnya bersuara.

Kirana terdiam sesaat. Kepalanya mengail bermacam kotak ingatan dan mencocokkan dengan beragam kemungkinan. Kemudian melepaskan senyum untuk Kiran. Kirana melihat ketegangan teraut di wajah Kiran.

Setelah wajah Kiran mencair, Kirana menatapnya, “Kiran, tolong letakkan tas bunda di kamarmu, Nak. Lalu, tolong ambilkan minum untuk Bunda. Bunda haus. Kiran ambilkan juga piring di dapur untuk wadah kue brownies yang bunda beli. Nanti kita makan bersama-sama di sini sambil bunda temani Kiran belajar. Tapi, sebelumnya, Kiran bawa buku PR Kiran dulu.”

Kiran mematung sesaat. Lantas, ia menyambar tas yang disodorkan Kirana dan pergi ke kamarnya. Beberapa menit kemudian, Kiran kembali membawa piring. Tanpa minum dan buku PR di tangannya.

“Terima kasih, Nak. Bagaimana kalau kita bercerita tentang teman-teman Kiran di sekolah. Siapa saja teman-teman Kiran?”

“Teman-teman Kiran banyak, Bunda. Yang paling lucu itu teman laki-laki Kiran. Orangnya berkepala bulat dan berpipi gemuk. Kiran paling suka dengan teman perempuan yang kulitnya putih. Rambutnya juga hitam lurus,” celoteh Kiran antusias.

Dari celotehan yang mengalir, tak satu pun terucap sebuah nama. Kiran hanya menyebutkan teman-temannya dengan karakteristik tertentu. Padahal, Kiran sudah setengah tahun bersekolah. Cukup sudah analisa yang dilakukan Kirana.

Huruf-huruf dan angka-angka membuat Kiran tertekan. Kiran tak bisa mengingat nama-nama temannya. Kiran kebingungan menerima empat perintah dalam satu kalimat panjang. Latar belakang keilmuan yang pernah dicecap Kirana, mengarahkannya pada sebuah indikasi: Kiran mengidap disleksia.

*

Segala cara Kirana tempuh. Sepagi-pagi Kirana bangun, disiapkannya makanan berbentuk huruf atau angka untuk Kiran. Kirana melafalkan bunyi huruf atau angka itu sebelum Kiran menyantapnya.

Kirana menjejali buku cerita bergambar yang menarik perhatian Kiran. Bila Kiran merasa bosan, Kirana membiarkan Kiran berkutat dengan game di notebook-nya. Kiran tak memainkan sembarang game. Kirana menyuguhkan game ketangkasan yang melatih Kiran membedakan kanan-kiri, atas-bawah.

Pasir dan playdough juga tak luput dari bidikan Kirana sebagai media belajar. Kirana menuntun jemari Kiran menuliskan huruf-huruf dan angka-angka di atas pasir. Sedangkan ketika bermain playdough, Kirana mengajari Kiran membentuk huruf-huruf dan angka-angka. Lalu, huruf-huruf yang terbentuk, disusunnya menjadi beberapa kata.

Lainnya, Kirana memakai media yang paling disukai Kiran. Mereka melukis bersama. Usai melukis, Kiran akan menceritakan apa yang dilukisnya. Setelahnya, dengan kuas berpoles warna dalam genggaman, Kiran menggoreskan judul pendek di atas lukisan kanvasnya.

*

Tanggal merah meliburkan Kirana dari pekerjaan. Ketika tanggal memerah, Kirana kerap mengajak Kiran pergi ke taman. Di sana, sebelum terik menyengat kulit, mereka melakukan ritual: lari-lari kecil dan bermain bola.

Lepas mengolah si kulit bundar, Kiran belajar berhitung sambil bermain. Anak tangga yang dinaungi pepohonan menjadi alatnya. Kirana menuliskan angka-angka di setiap undakan anak tangga. Mulai dari nol sampai  sepuluh. Kirana meminta Kiran berdiri di undakan anak tangga yang bertuliskan angka nol.

“Kiran, Kalau bunda bilang tambah, berarti Kiran naik. Kalau bunda bilang kurang, berarti Kiran turun.”

“Tambah-naik. Kurang-turun. Begitu, ya, Bunda?” Kiran mencoba mengingat dan mengulang perintah.

“Ya, Nak. Mulutnya juga ikut menghitung.”

“Siap, Bunda.”

“Sekarang, mulai dari nol ditambah dua.”

Kiran menghitung langkah. Kakinya menaiki anak tangga sebanyak dua. Berhenti tepat di anak tangga yang bertuliskan angka dua.

“Ditambah lagi lima.”

Kiran kembali naik. Sebanyak lima anak tangga.

“Jadi berapa sekarang, Kiran?”

Kiran terdiam. Dalam diam, ia memperhatikan lama angka yang tertera. Kepalanya menggali-gali ingatan dari ragam angka yang pernah dikenalnya, “Tujuh, Bunda.”

“Hebat. Sekarang, dikurangi tiga.”

Kiran turun tiga langkah. Berhenti tepat di anak tangga bertuliskan angka empat. Ketika Kirana menanyainya, Kiran menjawab dengan benar angka yang tertera di anak tangga tempatnya berdiri. Berulang-ulang mereka melakukan permainan itu. Hingga Dahaga Kiran menghentikan permainan. Pula dirasai Kirana matahari kian terik.

Terik dan dahaga menyeret langkah kaki mereka menuju bangku taman. Kerumunan orang-orang terkumpul di sana. Termasuk penjaja makanan dan minuman.

Semilir angin sejuk menyapu kulit. Tiupannya menggemerisikkan dedaunan. Gemerisik dedaunan mengiringi perbincangan dua bibir.

“Bunda…. Kiran mau sekolah lagi. Kiran mau lanjut ke sekolah SD.”

Lidah Kirana kelu kebas. Hatinya mengharu-biru. Kirana tersenyum. Lantas memberikan anggukan sebagai jawaban.

*

Kirana merasai kegelisahan erat meringkusnya. Pikirnya, ujian masuk SD yang tengah dihadapi Kiran adalah musabab kegelisahannya. Sebanyak ayunan kaki membawa Kirana ke tempat kerja, hatinya tak henti menabur doa-doa. Kegelisahan membuatnya pikun. Bahwa kantornya akan kedatangan karyawan baru hari ini.

Sesampainya di kantor, karyawan baru tengah memperkenalkan diri kepada seluruh karyawan, “Perkenalkan, nama saya…,”

Mendadak, dunia tak berjalan normal bagi Kirana. Adanya wanita itu menghempaskan Kirana pada tilas yang basah dan berdarah. Wanita itu bekas temannya. Yang pernah menjadi onak dalam rumah tangganya. Yang akhirnya meluluh-lantakkan rumah tangganya. Yang telah bersuamikan mantan suaminya.

Sekejap, Kiran tak tahu bagaimana menamai keadaan. Juga bagaimana ia membahasakan rasa dengan kata. Lidahnya kaku beku. Kepalanya bagai terhantam godam besar. Melayang berputar. Lemas melunglai. Hati Kirana tercabik-cabik. Lagi. Ah, betapa….

*

Pintu gerbang menyangga tubuh Kirana yang berdiri. Entah berapa menit Kirana habiskan untuk menanti Kiran. Penantiannya tetas setelah ia melihat Kiran. Kiran berlari ke arahnya. Senyum riang terukir di sana. Sedang Kirana memalsukan senyum untuk menirai sebatan perih yang memecut hatinya.

“Bagaimana tesnya, Nak?”

“Guru laki-laki dan perempuan di ruangan itu bilang, Kiran bisa sekolah di sini, Bunda,” ujar Kiran sambil terlonjak-lonjak.

Hati Kirana gerimis. Dalam satu waktu, didapatinya getir-duka dan riang-bahagia datang bersamaan. Kirana melingkarkan tubuh Kiran dalam rengkuhannya. Erat-erat. Seolah tengah menyadap kekuatan darinya.

“Mengapa bunda menangis?” tanya Kiran ketika mendapati sealir linang di sudut mata Kirana.

“Bunda senang, Nak. Bunda terharu,” Kirana menyeka wajahnya yang basah, “kita pulang sekarang, Nak,” lanjut Kirana.

Seiring anggukan Kiran, dua pasang kaki berjalan. Hati Kirana menelan entah pada keadaan esok. Di atas bayang luka yang kembali koyak menganga, Kirana membajakan hati untuk bertahan. Demi Kiran yang dititipkan-Nya. Dan Sang Kuasa tak pernah salah memilihkan Kirana suratan: Kiran untuk Kirana.

Oleh: Vinny Erika Putri, Harjamukti, Cirebon

Img:

Tinggalkan Balasan