Surabaya, 1998
Jari-jari kecil itu menari-nari di atas selembar kertas gambar A3. Matanya hampir tidak berkedip dan bibir mengerucut, pertanda bahwa ia sangat serius pada apa yang dikerjakannya sekarang. Di pipi kanannya tampak bekas olesan ketidaksengajaan dari cat lukis warna biru dan hijau. Namun ia tidak peduli. Ia terus menggambarkan semua yang terbayang di pikirannya. Wajah ceria dirinya yang diapit oleh ayah dan bunda di sebelah kanan dan Mbak Ella serta Mas Yoga di sebelah kiri. Mereka berlima saling bergandengan tangan, dengan latar sebuah taman bunga dengan kembang-kembang cantik beraneka warna. Dari kejauhan tampak gambar sebuah rumah bercat ungu muda, itulah rumah mereka.
20 menit kemudian lukisan itu jadi. Sungguh sebuah lukisan yang indah yang merupakan karya dari seorang bocah kecil berusia 5 tahun. Gadis kecil itu tertawa lebar memandang hasil karyanya. Ia kemudian menoleh dan melihat potret nyata dari lukisannya. Ia melihat sosok ayah, bunda, Mbak Ella, dan Mas Yoga mendekatinya dengan wajah penuh kebahagiaan. Si kecil kembali menatap kertasnya dan menuliskan sesuatu di ujung kanan atas dari kertas gambarnya.
Nama : Safira Eriva
Sekolah : TK Tunas Bangsa I (B)
Judul : Keluargaku yang Gembira
@@@@@@@@@
Surabaya, 2009
Ramadhan kali ini terasa sedikit berbeda. Suasana tidak seramai biasanya. 2 bulan yang lalu si sulung alias Mbak Ella sudah meninggalkan rumah. Bukan kabur, tetapi memang sudah kewajibannya. Mbak Ella sudah menikah dan harus mengikuti suaminya yang bekerja di Bandung. Apalagi sekarang Mas Yoga juga sedang sibuk mengurusi bisnis barunya di bidang Advertising. Mas Yoga merupakan anak kedua dan satu-satunya lelaki dari tiga bersaudara di rumah ini. Ia sadar betul bahwa tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki untuk mencari nafkah itu lebih besar, terutama setelah ayah menjadi pensiunan semenjak setahun yang lalu. Berangkat pagi seperti pegawai kantoran, dan pulang sore menjelang buka puasa semakin sering dilakukannya. Bahkan terkadang ia baru pulang setelah jam sholat tarawih.
Kini di rumah tinggallah ayah, bunda, dan si bungsu, Safira. Oiya, aku lupa menyebut diriku sendiri. Aku adalah lukisan yang dibuat oleh Safira kecil saat usia 5 tahun. Aku dibuat dengan sepenuh hati sehingga Safira berhasil meraih juara I dalam lomba lukis tersebut. Semua anggota keluarga begitu bahagia terhadap berita ini. Aku dibawa pulang dan dipajang di dinding sebelah televisi, tepatnya di ruang keluarga. Aku diletakkan di situ supaya semua anggota keluarga tahu betapa membanggakannya Safira kecil mereka. Aku, sebuah lukisan berjudul ‘Keluargaku yang Gembira’.
Letakku yang strategis, seolah-olah menjadikanku sebagai pengamat sekaligus saksi apa saja yang terjadi di rumah ini. Pertengkaran-pertengkaran kecil antara ketiga kakak beradik tersebut. Penantian yang cukup menegangkan saat menanti pengumuman kelulusan Yoga dari SMA. Kegembiraan saat mengetahui bahwa Safira meraih penghargaan pelukis termuda dalam pameran lukisan di sebuah galeri terkenal di Surabaya. Ulang tahun pernikahan ayah dan bunda yang digelar kecil-kecilan oleh mereka berlima. Kebahagiaan saat acara ijab kabul Mbak Ella dengan suaminya, sekaligus kesedihan karena setelah menikah Mbak Ella langsung pindah ke Bandung mengikuti suaminya.
Aku tahu semuanya. Aku tahu bagaimana rasanya kebahagiaan, keceriaan, indahnya berbagi, kesedihan, hingga pahitnya suatu perpisahan yang tidak diinginkan. Aku sangat tahu bagaimana pertengkaran itu kerap terjadi beberapa bulan sebelum peristiwa itu. Pertengkaran yang berasal dari keinginan keras si bungsu untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, yang tidak diimbangi dengan restu dari orang tua. Bagaimana Safira tetap ngotot untuk kuliah di Australia namun kedua orang tuanya tetap tidak setuju. Mereka mengungkapkan berbagai alasan kekhawatiran orang tua terhadap anak bungsu kesayangan mereka. Alasan terkuat Ayah dan Bunda melarang Safira pergi adalah mereka khawatir Safira akan terjerumus ke dalam hal yang salah di luar negeri nanti, dan menurutku itu masuk akal.
Meskipun dibesarkan sebagai anak bungsu, Safira tetap tumbuh menjadi anak yang tidak manja. Namun terkadang sikapnya yang kekanak-kanakan, membuat ia bersikap tidak dewasa. Safira masih memerlukan pengawasan dari orangtuanya. Bukannya tidak percaya pada kemampuan anak, tetapi mereka lebih ingin mematangkan Safira untuk siap menghadapi segala kejutan hidup di dunia. Sayangnya Safira tidak menganggap itu sebagai sebuah perhatian dan kasih sayang orang tua. Dia malah menganggap itu hanya akal-akalan orangtuanya supaya Safira tidak kuliah nun jauh di sana.
Beberapa hari setelah itu, pertengkaran itu tidak pernah terjadi lagi. Awalnya kukira hati Safira sudah melunak dan berubah fikiran sehingga ia mau menuruti apa yang dikatakan oleh ayah dan bundanya. Namun ternyata tidak. Ia malah sudah melakukan tindakan besar yang jauh dari perkiraan keluarganya.
Aku masih ingat betul kejadian beberapa hari yang lalu, tepatnya hari ketujuh pada bulan Ramadhan tahun ini. Semuanya berawal saat keluarga mereka sedang santap sahur. Suasana pagi itu seharusnya berjalan seperti biasa. Ayah dan ibu duduk bersebelahan, sementara Safira bersebelahan dengan Mas Yoga. Mas Yoga berulang kali menguap, pertanda ia sangat mengantuk. Mereka menyantap makanan secara tenang dan perlahan, namun tiba-tiba keadaan berubah saat Safira berkata,
“Yah, Bun, Mas, aku mau minta ijin kuliah ke Australia. Aku sudah dapat beasiswa buat kuliah arsitektur di sana. Full scholarship, mulai dari biaya pendidikan, tempat tinggal, makan sehari-hari, sampe uang saku. Maaf aku tidak minta ijin dulu buat daftar beasiswa ini. Keputusanku sudah bulat. Aku sudah bertekad mau kuliah di luar negeri apapun yang terjadi. Aku bisa jaga diri di sana. Ini bukti penerimaannya. Aku tidak minta apa apa buat bekalku di sana. Aku cuma minta satu hal. Kalian mengijinkan aku dengan ayah dan bunda mau tanda tangan di kertas ini.” Perlahan Safira mengeluarkan selembar kertas dari amplop coklat yang dipegangnya. Ia meletakkan kertas berkop dengan lambang sebuah universitas tersebut di depan kedua orang tuanya.
Beberapa menit berlalu. Kesunyian masih melingkupi ruang makan. Semua terdiam, entah memang ingin diam atau tidak tahu mau berkomentar apa. Wajah ayah memerah, entah menahan marah atau menahan sedih. Sesuap nasi yang tadinya siap masuk mulut, langsung diletakkannya kembali. Bunda juga masih terdiam, tetapi kulihat matanya sudah memerah dan ada segerombolan air mata yang siap menetes kapan saja dari sana. Safira langsung membuang muka. Mungkin ia tidak tahan melihat ekspresi kedua orangtuanya, mungkin juga karena hal lain. Sepertinya hanya Mas Yoga yang tersadar dari suasana aneh ini. Ia langsung membanting sendok dan menggeser kursinya sehingga bisa berhadapan dengan adiknya.
“Fir, kamu sadar sama yang sudah kamu katakan, kan? Kamu serius? Kuliah itu bukan hal sepele, Fir!” ucap Mas Yoga. Intonasi suaranya masih tenang.
“Iyalah, Mas. Aku sadar betul pada apa yang sudah aku lakukan. Aku kan sudah bilang dari dulu kalau aku ingin kuliah ke Australia. Kalian saja yang tidak percaya pada kemampuanku. Kalian melarangku dengan berbagai alasan. Itu sama saja dengan kalian menghalangi cita-citaku!” balas Safira sedikit berteriak.
“Kita percaya sama kamu, Fir. Kita juga tidak ada niat untuk menghalangi cita-citamu. Kam pikir lah, Fir. Ingat ya, kelancaran kuliah kamu itu tergantung dari restu orang tua. Kalau ayah dan bunda tidak mengijinkan kamu, kamu pikir kuliah kamu akan berjalan dengan baik meskipun kamu sudah memperoleh full scholarship itu?” teriak Mas Yoga. Kini ia sudah benar-benar marah.
“Aku….” balas Safira tak kalah keras, namun tiba-tiba terhenti saat ayah menggebrak meja sambil menatap mereka berdua tajam.
“Kalian mau semua tetangga kita datang ke sini menonton pertengkaran kalian? Kalian sadar kan ini waktu sahur? Tidak ada suasana makan sahur yang pakai teriak-teriak seperti kalian. Lagipula ini bulan Ramadhan, Nak. Bulan mulia. Kalian mau menodai bulan mulia ini dengan pertengkaran semacam ini?” ucap ayah. Ayah tidak berteriak, meskipun sedang marah. Suaranya tegas namun menusuk. Safira dan Mas Yoga langsung terdiam, tidak ada yang berani menyela ayah.
“Safira, coba Ayah ingin lihat berkas-berkas beasiswa kamu.” ucap ayah tanpa senyum sama sekali di wajahnya. Safira menyerahkan amplop coklat yang dipegangnya. Kulihat ia masih sedikit gentar menghadapi ayahnya.
“Nduk, apa sudah dipikir baik-baik? Apa masalah ini tidak bisa kita bicarakan lagi?” akhirnya bunda angkat bicara. Sepertinya ibu sudah bisa mengendalikan perasaan sedihnya.
“Kalau masalah ini didiskusikan lagi, aku pasti yang kalah, Bun. Aku sudah yakin sekali mau ambil beasiswa ini.” jawab Safira mantap. Ia lebih percaya diri berbicara kepada ibunya daripada dengan ayahnya.
“Kita diskusi itu bukan untuk mencari yang menang ataupun yang kalah, Fir. Kita diskusi itu buat cari solusi.” ucap bunda lagi. Safira sudah mau mengeluarkan argumennya lagi, namun terhenti karenan ucapan Mas Yoga.
“Sudahlah, Bun. Percuma kita bicara sama dia. Seperti berbicara dengan batu.” kata Mas Yoga sambil melirik tajam.
Ayah berdehem. Mendengarnya tubuh Safira menegang. Sekujur badannya langsung terasa dingin. Jantungnya berdegup kencang. Ia menangkupkan kedua tangannya di bawah meja, pertanda bahwa dia sedang sangat gugup. Sebagai kepala keluarga, ucapan ayah adalah suatu keputusan di keluarga ini. Bunda dan Mas Yoga juga langsung menatap ayah. Mereka semua menanti apa yang akan keluar dari mulut beliau. Entah amarah, nasihat, atau malah ijin dari beliau. Tidak ada yang tahu.
“Oke, ayah sudah baca semuanya. Kamu bilang ini sudah keinginanmu dan kamu yakin akan hal itu. Kamu bilang kami tidak percaya pada kemampuanmu, padahal sebenarnya bukan seperti itu. Kamu bilang kami menghalangi cita-citamu, padahal sebenarnya kami sangat mendukung cita-cita yang memang sesuai dengan bakat kamu. Jika menurut kamu kuliah di Australia memang jalan yang baik untuk cita-cita kamu, ya sudah jalani saja terserah kamu. Kamu bilang jika rencana ini dibicarakan lagi maka kamu akan menjadi yang kalah, maka semoga kamu merasa menang setelah ayah mengijinkan kamu berangkat ke Australia.” Tegas. Lugas. Tanpa basa-basi. Itu keputusan ayah di pagi buta itu. Tentu saja bunda dan Mas Yoga awalnya terkejut mendengar keputusan ayah. Bunda sudah berulang kali membujuk ayah supaya memikirkan lagi keputusannya. Namun ayah bergeming. Beliau tetap pada keputusannya yang semula.
Lain halnya dengan Safira. Mendengar perkataan ayahnya, sekujur tubuhnya langsung menghangat. Degup jantungnya normal kembali. Ia sudah meregangkan kedua telapak tangannya. Rasa gugup mulai terbang dari jiwanya. Senang, tentu. Gembira, pastinya. Tetapi ia belum lega. Ia merasa bahwa ayahnya tidak sepenuh hati memberikan keputusannya. Perasaan itu tergambar jelas di wajahnya. Kau tahu kan bagaimana rasa senang namun masih ada ganjalan di hati? Rasanya kita tidak bisa berbahagia sepenuhnya. Rasanya sebenarnya tidak nyaman. Rasanya ingin menuntaskan dan menghilangkan ganjalan di hati. Rasanya Safira ingin memastikan lagi kepada semua anggota keluarganya. Namun ia memilih untuk tidak melakukan itu. Mendengar ayahnya sudah mengijinkannya saja membuatnya gembira bukan kepalang.
“Kapan kamu berangkat, Fir?” tanya Bunda perlahan sembari berusaha menahan air matanya yang hendak menetes.
“Minggu depan, Bun.” jawab Safira. Kini bunda tak kuat menahan kesedihannya. Air matanya menetes, sementara di sebelahnya ayah hanya terdiam kaku. Mas Yoga pun melakukan hal yang sama. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi.
Lima hari kemudian, tepat di hari ke-12 bulan Ramadhan, Safira berangkat mengejar cita-cita yang diinginkannya. Ia berangkat hanya dengan diantar Mas Yoga. Bunda tak kuasa melihat kepergian putri bungsunya, sementara ayah beralasan bahwa beliau sibuk mengerjakan sesuatu. Sebelum Safira menuju tempat pemeriksaan tiket, ia dan Mas Yoga berpelukan lama sekali. Sempat Safira mendengar kakaknya berbisik, “Apapun yang terjadi, kamu tetap keluarga kami dan kami tetap keluarga kamu, Safira.”
@@@@@@@@@@@
Surabaya 2013
Rumah itu masih seperti yang dulu. Masih sama seperti saat pertama kali selesai dibangun. Rumah itu juga masih ditinggali oleh keluarga yang sama. Tidak ada yang berubah. Kalaupun ada, itu mungkin adalah suasana di dalam rumah tersebut. Dulunya, suasana rumah itu begitu ceria. Begitu ramai dengan keriuhan para penghuninya.
Aku merasa seseorang menyentuhku dengan perlahan. Kemudian dia mengusapku perlahan. Tak lama kemudian terdengar isak tangis dari seorang wanita. Tak salah lagi, beliau pasti bunda. Sudah bertahun-tahun bunda melakukan hal ini kepadaku, lebih tepatnya semenjak Safira pergi dari rumah ini. Bunda selalu melakukannya ketika teringat akan putri bungsunya. Berdiri memandangiku, lukisan hasil karya Safira kecil. Kemudian bunda akan mengusapku perlahan, mungkin beliau sedang membayangkan mengusap kepala Safira. Tak lama bunda akan menangis, itu pertanda bahwa ia sangat merindukan kehadiran Safira di rumah ini. Mungkin di dalam hati kecilnya bunda ingin sekali suasana keluarga ini kembali seperti dulu. Mereka berlima yang bahagia bersama, sebahagia yang terwujud pada diriku, pada sebuah lukisan.
Jujur saja, kuakui kalau kehadiran Safira sangat mempengaruhi suasana di rumah ini. Selain dia adalah anak bungsu, pembawaannya yang ceria bisa membawa kebahagiaan di rumah ini. Setelah Safira pergi, sering kesunyian hinggap di rumah ini. Ayah lebih sering diam dan semakin sibuk mengerjakan sesuatu yang tak kumengerti. Bunda pun jadi sering menangis karena merindukan putri kecilnya. Mas Yoga juga semakin jarang berada di rumah dengan alasan bisnisnya yang semakin menyibukkan dirinya. Mbak Ella yang diberitahu beberapa hari setelah Safira pergi, awalnya sempat terkejut mendengar berita ini. Namun ia juga tak bisa membantu banyak karena kesibukan mengurus keluarganya di Bandung.
Ini adalah Ramadhan ke-4 yang dilalui keluarga ini tanpa kehadiran Safira. Sudah 4 tahun Safira pergi dan ia belum pernah sama sekali pulang ke Indonesia. Selama ini mereka hanya berkomunikasi lewat telepon dan email, itupun jarang sekali dilakukan. Safira beralasan bahwa dirinya sangat sibuk menjalani aktivitasnya di Australia. Selain kuliah, ia juga menjalani kerja part-time untuk menambah uang sakunya. Jika ditanya tentang kembali ke Indonesia, Safira tidak menjawab dan malah mengalihkannya ke cerita lain.
Semua berjalan seperti biasa. Ayah, bunda, dan Mas Yoga akan memulai aktivitas pagi dengan makan sahur bersama. Kemudian mereka akan melanjutkan aktivitas masing-masing hingga malam tiba. Seringkali hanya ayah dan bunda yang buka puasa bersama di rumah dan Mas Yoga akan berbuka entah di mana, entah bersama temannya atau kolega bisnisnya. Kemudian aktivitas hari itu akan ditutup dengan istirahat malam, dan kembali lagi mengulang hal yang sama esok harinya. Yang mereka tahu bahwa mereka harus tetap menjalani kehidupan dengan baik. Namun yang mereka belum tahu bahwa Allah sudah menyiapkan kejutan untuk keluarga ini.
Kejutan pertama datang di minggu terakhir bulan Ramadhan. Keluarga Mbak Ella datang dari Bandung dan mereka berkata akan berada di Surabaya hingga lebaran nanti. Betapa bahagianya kedua orangtuanya mendengar berita itu. Suasana rumah kembali ceria berkat kehadiran ketiga anak Mbak Ella yang masih kecil. Tingkah mereka yang lucu sempat menghibur nenek dan kakeknya yang sedang merindukan Safira.
Ayah dan bunda tidak tahu bahwa telah ada kejutan lain setelah ini. Kejutan yang sudah dipersiapkan oleh anak-anak mereka. Ya, Safira akan pulang ke Indonesia pada Ramadhan tahun ini. Safira sedang liburan dan ia diizinkan oleh bos tempatnya bekerja untuk pulang ke Indonesia, berlebaran bersama keluarganya. Kepulangannya kali ini sudah direncanakan dengan matang, dan ia pun sudah membicarakannya dengan kedua kakaknya. Mereka akhirnya sepakat untuk menjadikan hal ini kejutan bagi kedua orang tuanya.
Sore itu, Mbak Ella sedang membantu bunda menyiapkan hidangan buka puasa. Mas Yoga pun sudah tiba di rumah dan sedang menonton televisi bersama ayah serta Mas Ryan, suami mbak Ella. Saat sedang menata makan di meja, tiba-tiba saja bunda memandangiku. Lama sekali, kemudian ia berkata, “Seandainya Safira juga ada di sini bersama kita. Pasti kebahagiaan kita akan menjadi sempurna.” Semua terdiam mendengar ucapan bunda. Mbak Ella langsung melirik Mas Yoga, dan mereka mengangguk bersamaan sembari tersenyum.
Tak lama kemudian terdengar bel pintu rumah berbunyi. Ayah beranjak dari kursinya dan segera ke depan untuk membukakan pintu. Lama sekali, ayah tidak kembali dari sana dan mengatakan siapa tamu yang datang. Tak sabar menunggu, bunda pun menyusul ke depan. Kini, berdiri di depan mereka berdua seorang gadis manis berambut panjang yang selama ini sangat mereka rindukan. Ya, itulah Safira, putri bungsu mereka yang baru saja datang dari Australia. Tanpa banyak kata, Safira memeluk kedua orangtuanya. Air matanya langsung mengalir deras. Betapa ia merindukan hal ini selama bertahun-tahun.
Kegembiraan itu lengkap sudah. Keinginan bunda terpenuhi, yakni memperoleh kebahagiaan yang sempurna di Ramadhan kali ini. Kini bunda tak perlu lagi mengusapku ketika merindukan Safira. Bunda bisa langsung mengusap lembut putrinya, sembari mendengarkan celotehan Safira mengenai kehidupan di Australia. Bertahun-tahun tidak bertemu, tetap tidak ada yang berubah dari Safira. Ia masih seorang gadis yang ceria dan membawa kebahagiaan di rumah ini.
Bagaimana dengan aku? Tentu saja aku sangat senang melihat semua ini. Aku tak lagi melihat bunda menangis dan ayah yang sibuk sendiri. Juga tak ada lagi Mas Yoga yang selalu pulang malam dengan alasan bisnis. Kini keluarga itu selalu bersama, menghabiskan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan dengan penuh kebahagiaan. Ya, akhirnya aku bisa melihat wujud nyata dari diriku. Aku bisa melihat secara jelas, potret sebuah keluarga yang gembira.
Oleh: Aisyah Asmi, Gresik Jawa Timur
Img: