[Cerpen] Papa, Maafkan Aku

0
818

“Aku benci papa! Benci …. benci kenapa sich aku harus punya papa kayak dia, lebih baik aku ga punya dech dari pada punya papa kayak dia “Astaghfirullah … entah kenapa kata – kata itu bisa keluar dari mulut ku. Sebelumnya sekalipun aku tak pernah mengatakan kalimat seperti itu. Ya Allah maafkanlah aku. Aku benar-benar khliaf.”

Dalam pandangan ku, sebenarnya papa adalah adalah seorang sosok yang baik, bahkan sangat baik dan perhatian. Sangking perhatiannya aku terkena flu doang, dia membentak – bentak ku habis – habisan.

“Udah dibilangin! Jangan minum air dingin masih juga diminum.” Aku jadi geram! Karena minuman dingin adalah minuman favoritku. Eh malah papa yang sangat melarang ku untuk meminum minuman dingin. Kesal dech dibuatnya. Dia ga pernah suka dengan apa yang aku sukai.

Seiring waktu, aku terus beranjak dewasa. Aku juga telah mengetahui apa pilihan agama ku yang menurut ku itu adalah agama yang paling benar. Aku lebih memilih agama ayah ku yaitu Islam dari pada agama yang dianut oleh ibu ku. Aku sudah memilih agama Islam itu sebagai agama yang akan ku anut, bahkan sebelum aku beranjak dewasa. Ketika aku masih kecil.

Sejak kecil papa memang sangat dekat dengan ku, ditambah lagi aku adalah anak satu-satunya. Kasih sayang mereka hanya milik ku seorang. Ia juga tak pernah lupa untuk mengajak ku kemanapun ia pergi. Dan juga selalu mengintai ku kemanapun aku pergi. Aku benar-benar heran dengan perilaku papa yang satu ini. Pernah aku bertanya pada mama tentang hal ini.

“Ma, kenapa sich papa selalu mengintai–ngintai Rey kayak spy internasional aja?”

“Rey, sebenarnya papa mu ingin melindungi mu. Ketika kamu masih kecil,” tiba – tiba aja suaranya terputus.

“Kenapa ma? Ketika aku masih kecil ?? Ada apa serbenarnya?”

“Rey itu hanya sebagai perhatian seorang ayah kepada anaknya apa itu salah?”

Huch mama memang ahli dalam hal mengalihkan pembicaraan.

Semakin lama, aku pun semakin bingung dibuatnya, sampai saat ini belum bisa membaca bagaimana jalan pikirannya. Pernah papa memarahiku tanpa alasan yang jelas. Padahal menurutku itu adalah hal yang sepele. Bayangkan, papa memarahi ku karena aku shalat berjamaah di masjid yang berada di sekitar komplek. Memang sich, sejak kecil aku paling dilarang yang namanya pergi ke masjid. Tapi apa salahnya sich? Seharusnya papa yang beragama Islam dapat lebih memahami bahwa kewajiban bagi seorang muslim adalah melakukan shalat berjamaah di masjid. Eh ! ini malah kebalikan. Mama yang bukan seorang muslimah malah tak pernah melarangku untuk pergi ke masjid. Bahkan memberi kebebasan kepadaku mau pergi ke tempat ibadahnya atau tidak.

Karena perilaku papa itulah aku jadi minder kalau bermain dengan teman sebayaku, teman – temanku semuanya pada suka pergi ke masjid. Terkadang tanpa sepengetahuan papa aku juga ikut-ikutan pergi ke masjid. Akan tetapi kekhawatiran yang selalu mengiri langkah ku. Aku selalu melirik ke belakang, samping, ke kanan dan kiri. Taku-takut kalau papa juga sedang melewati jalan yang sama dengan jalan yang kulewati.

“Kak Uti. Sehabis shalat hati Rey jadi tenang ya,” ucap ku polos seraya menatap Kak Uti yang berdiri tepat di sampng kanan ku.

“Pastinya,” jawabnya penuh semangat.

“Karena dengan beribadah berarti kita telah mendekatkan diri kita kepada Allah.”

Kutatap erat-erat muka bersih itu, sedangkan kaki ku tidak henti-hentinya mendayung sepeda roda tiga miliku. Diam-diam aku memiliki rasa kagum terhadap Kak Uti, ia bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan padanya. Walaupun hanya sebatas pada pengetahuan yang ia miliki.

Tiba-tiba tubuh ku mengeluarkan keringat dingin. Ada seseorang yang marah – marah dibelakang. Aku sangat kenal dengan suara itu. Itu suara papa!. Papa tahu kalau aku baru pulang dari masjid.

“Rey!!!” Seakan – akan halilintar memanggil nama ku.

“Udah dibilangin ! masih juga pergi!”

Sekarang papa benar-benar sudah berada di depan ku dan Kak Uti. Wajahnya memerah seperti api yang berkobar-kobar. Peluh ku juga semakin deras meluncur dari sekujur tubuh.

“Plaaaaaaakk….” sebuah tamparan keras mendarat dengan mulus di bagian pipi perempuan yang sedang berada di sampingku. Kak Uti menangis kesakitan sambil memegang pipinya.

“Udah dibilangin jangan dekati Rey! Bandel banget kamu ya!” kata papa. Kak Uti terdiam tanpa sepatah katapun. Papa ku langsung menarik ku paksa tanpa memperdulikan keadaaan sekitar. Semua orang yang berada di situ tercengang melihat aksi papa. Tapi ia terus melangkah tanpa peduli.

Seperti ku, mereka juga tak habis piker kenapa ada seorang muslim melarang anaknya untuk pergi ke masjid? Jujur, hatiku sangat tenteram ketika mendengar suara azan dikumandangkan. Hatiku tergerak untuk menjawab seruan itu. Terkadang aku heran, kenapa orang yang berada di sekitarku yang ngakunya beragama Islam pada gak melakukan shalat di masjid. Padahal nggak ada yang melarang mereka untuk melakukannnya. Tidak seperti diriku ini. Ayahku terus-terusan melarangku untuk shalat berjamaah.

Detik demi detik berlalu tanpa mau berhenti walau hanya sejenak. Kini kelakuan ayahku semakin menjadi-jadi. Dulunya aku masih sempat melakukan shalat berjamaah secara sembunyi-sembunyi. Tapi semenjak beberapa bulan ini, walaupun sembunyi – sembunyi aku melangkahkan langkah kaki ku ini untuk memasuki masjid, selalu saja papa cepat mengetahuinya. Entah bagimana caranya ia mengikuti ku. Sekarang, aku merasa dimanapun aku berada, pasti ada yang sedang mematai-matai ku.

Tapi tekad ku sudah bulat. Aku ingin mendakwahi papa ku untuk menjadi seorang muslim yang benar-benar beriman, bukan hanya Islam KTP. Dan juga mengajak mama ku untuk menganut agama yang kuanut. Itu bukanlah hal yang mudah. Untuk bisa melakukan itu. Aku harus memiliki banyak ilmu tentang Islam, tapi bagaimana caranya aku bisa memperdalam ilmuku. Pergi ke majlis-majlis? Oh mustahil !! Papa pasti dengan keras akan melarang ku. Untuk melaksanakan shalat bersama para musliminn lainnya saja papa marah besar, apalagi menghadiri majlis-majlis yang ada.

Aku harus berani bertindak! Satu-satunya cara agar aku bisa mendalami agama Islam adalah melarikan diri dari rumah. Itulah satu-satunya cara yang bisa ku tempuh. Dan aku berjanji, setelah benar-benar mendalami agama Islam, aku akan segera kembali ke sini dan mendakwahi kedua orang tuaku . Janji !!

Semua barang telah aku persiapkan. Papa dan mama pun sedang lelap bersama mimpinya masing-masing. Untuk berjaga-jaga aku pun membawa celengan yang aku miliki. Lumayan lah. Sudah beberapa tahun belakangan ini aku terus menabung di celengan ini.

Okey sepertinya ini memang adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri. Berencana untuk menuntut ilmu di sebuah pesantren. Tapi aku belum tahu secara pasti pesantren mana yang akan kupilih. Tapi itu bukanlah sebuah masalah, toh di perjalanan nanti aku bisa menentukannya.

***

Pagi sudah menyingsing. Banyak orang sudah lalu lalang di jalan. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Seperti juga aku yang sedang mencari sebuah tempat yang tepat untuk menuntut ilmu agama. Sejak tadi aku hanya berjalan dan belum mendapatkan satu pesantren pun. Namun tiba-tiba langkah ku terhenti. Mata ku menangkap sebuah tulisan pada sebuah pamplet yang sudah usang. “Tholabul Ilmi.” Aku mendekati ke arah pamplet itu dan mencoba mengintip ke bangunan di belakangnya. Aku sangat yakin bahwa itu adalah sebuah pesantren. Ku langkahkan kaki ku ke dalamnya.

“Mbak, apakah saya bisa menjadi santri di sini?” kulontarkan sebuah pertanyaan kepada seorang wanita yang berpakaian rapi dan menutup auratnya dengan baik.

“Insya Allah masih bisa dek. Adek mau masuk sini ya?”

“Iya mbak. Boleh minta formulirnya?”

Mbak yang mendengarkan permintaan ku itu pun langsung menyodorkan sebuah kertas formulir kepada ku. Dengan teliti aku melihat formulir itu. Di sana tertera biaya yang harus ku byara sebagai biaya masuk.

Dari mana aku bisa mendapatkan uang. Ah, ku buka saja celengan ku. Mbak yang berada di depanku hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku ku.

“Yah… uang ku hanya cukup untuk beberapa bulan di sini,” ujar ku pada wanita itu sambil terus menghitung-hitung uang yang aku miliki.

“Nggak papa dek. Santri di sini juga banyak yang nyantri sambil kerja. Ya hitung-hitung untuk sedikit membantu orang tua mereka.”

“Oh ya …. Alhamdulillah kalau gitu, memangnya mereka banyak yang berprofesi sebagai apa?”

“Ya ada yang menjadi tukang cuci, kebersihan dan lain sebagainya,” katanya.

Hmmmm. … Sepertinya aku kurang berminat untuk menjadi tukang cuci atau sebagainya. Tapi sepertinya ada satu pekerjaan yang aku minati.

“Kalau loper koran ada ga?”

“Ada sih tapi agak susah untuk menjadi loper koran. Karena pada pukul 07.00 aktivitas megajar belajar telah dimulai. Jadi terpaksa mereka yang menjadi loper koran harus bangun lebih cepat dan memulai pekerjaan sebelum sebuh, agar tidak telat masuk kelasnya.

Kalau cuma itu syaratnya, gampang. Aku bisa bangun lebih awal, yang penting aku bisa nyambi kerja sambil nyantri untuk biaya selama tinggal di sini. Hari-hari pun kulalui dengan profesi sebagai santri binti loper koran. Aku sangat menikmati pekerjaan itu. Aku juga bisa selalu melakukan shalat malam, mandi sebelum shubuh seperti yang disunnahkan oleh rasul. Setelah itu baru aku melemparkan koran-koran itu ke setiap pintu rumah pelanggan. Selama menjalani pekerjaan itu aku menjadi makin semangat belajar dan rasa kantuk pun tak pernah mampir ke mata ku lagi. Mungkin karena setiap pagi aku mengantarkan koran menggunakan sepeda, jadi selain bekerja, aku juga bisa berolah raga.

Di sana para ustadz dan ustadzah mengajar dengan penuh keihklasan. Dan mereka, Masya Allah, mereka adalah orang yang sangat baik. Semua santri menyukai mereka, sehingga ilmu pun mudah diserap. Mereka juga sangat antusias melihat santri yang ingin benar-benar mendalami ilmu agama Islam. Sehingga dalam jangka waktu yang singkat, akupun sudah mendalami agama Islam dengan baik.

Suatu ketika, aku pun mulai berani untuk menceritakan tentang papa dan mama ku kepada seorang ustad. Ia adalah Ustadz Fauzan, guru favoritku. Dia juga sangat dekat dengan ku.

Setelah lama menjelaskan tentang keadaan papa dan mama, akhirnya sampai juga pada pokok permasalahan. “Ehm… ustadz kenapa ya papaku seperti itu?” Anehkan? Aneh banget malah.”

Ustadz menatapku lekat-lekat. Dalam dan sangat dalam. Lalu ia tersenyum seakan pasti bisa menjawab pertanyaan – pertanyaan yang ku lontarkan.

“Ustadz mau tanya pernah ga kamu merasa kangen kepada kedua orang tua mu selama kamu belajar di sini?” tanya Ustadz Fauzan.

“Tentunya ustadz. Aku kangen pada mama.”

“Kalau begitu, coba sejenak bayangkan raut keletihan ayah mu. Lihatlah helai rambutnya yang mulai memutih menghiasi kepalanya. Di balik ketidaknyamanan yang kamu rasakan, ada sebuah cinta yang selalu menjadi pelindung mu.”

“Setelah membayangkan itu semua, apakah kamu masih tidak kangen pada papa mu?” Ustadz Fauzan melanjutkan pertanyaannya.

Aku terdiam. Menurut ku, apa yang dilakukan papa selama ini pada ku masih sulit untuk dianulir. Karena itu, sangat wajar jika aku Cuma kangen pada mama. Karena sejak kecil, mamalah yang selalu bisa mengerti aku, selalu mau mengajakku bermain, bercertia atau berdongeng.

“Tapi tahukah kamu, bahwa sepulang papa bekerja dan dalam kondisi lelah papa selalu menanyakan pada mama mu tentang kabarmu dan apa yang kamu lakukan seharian ini,” tanya ustadz dengan lirih.

Aku mengangguk tanda menyetujui.

“Bolehkah kalau pembahasan selanjutnya mengenai perempuan. Karena menjaga anak perempuan lebih susah dari pada menjaga anak laki-laki. Dan agar penjelasan nantinya lebih mudah dihayati. Gimana?”

“Terserah ustadz aja dech. Yang penting saya bisa tahu latar belakang kenapa papa bersikap seperti itu.”

“Saya bisa merasakan bagimana perasaan ayah mu. Karena saya juga seorang ayah. Biasanya seorang ayah akan mengajari anaknya belajar sepeda. Dan ketika ia menganggapmu bisa, maka ia akan melepas roda bantu di sepedamu. Kemudian mama mu akan melarangnya. Dia akan berkata jangan dulu papa, jangan dilepas dulu. Mama takut kamu akan terjatuh dan terluka. Tapi sadarkah kamu? Dengan penuh keyakinan papa mengajari mu untuk bersepeda tanpa roda bantu, karena ia yakin kamu pasti bisa.”

“Dan ketika kamu beranjak dewasa, kamu mulai menuntut untuk keluar malam, dan papa dengan tegas berkata tidak boleh. Karena kamu merupakan sesuatu yang sangat – sangat berharga. Setelah itu kamu marah marah dan masuk ke kamar sambil membanting pintu. Tapi tahukan kamu, keika itu papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam bathinnya. Dia sangat ingin mengikuti kemauanmu, tapi lagi lagi dia harus menjagamu.”

“Di saat kamu butuh uang untuk membiayai sekolah, orang yang pertama kali megerutkan kening adalah papa mu. Papa mu pasti akan berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temanya yang lain. Ketika papa tidak bisa memenuhi permintaan kamu. Tahukan kamu bahwa papa mu merasa gagal untuk bisa membuat anaknya senang dan tersenyum?”

“Saat papa mu kelak melihat anak gadisnya duduk di pelaminan bersama seorang lelaki yang dianggapnya pantas menggantikannya. Papa pun tersenyum bahagia. Apakah kamu tahu, di hari bahagia itu papa mu akan pergi ke belakang panggung sebentar untuk menangis? Papa mu menangis karena sangat bahagia. Kemudian papa mu akan berdoa. Dalam lirih doanya kepada Allah, dia akan berkata Ya Allah tugasku telah selesai dengan baik…., putri kecil ku yang lucu dan ku cintai telah menjadi wanita yang cantik…… bahagiakan lah ia bersama suaminya.”

Aku terdiam. Gambaran yang disampaikan Ustadz Fauzan begitu menyentuh perasaan ku. Tak terasa beberapa butiran air bening mulai memenuhi kelopak mata ku. Ia terus melanjutkan paparannya.

“Begitulah perasaan seorang ayah terhadap anaknya yang hanya segelintir orang mengetahuinya. Mungkin perilaku ayah mu memang salah. Bahkan benar-benar salah, itu semua terjadi karena dia tidak mengetahui hakikat Islam yang sebenarnya. Oleh karenanya kamu harus bisa mendakwahkannya agar bisa menjadi seorang muslim sejati,”

Lagi lagi aku hanya bisa mengangguk. Tak ada sepatah kata pun yang bisa ku ucap saat ini. Aku ingin menangis. Aku ingin menangis dengan sekeras kerasnya. Aku kangen papa.

***

Tak ada yang berubah pada rumah ku. Semuanya masih seperti dulu. Rumah itu tampak sangat sepi. Cukup lama aku menunggu seseorang keluar dari sana, tapi tak kunjung muncul. Namun beberapa saat kemudian muncul lah seorang perempuan tua yang berpakaian serba hijau muda dan jilbabnya yang besar keluar dari balik pintu. Aku melihatnya dengan seksama. Siapakah dia? Yang pasti bukan ibuku. Karena ibu ku tak memakai jilbab, begitu kata ku dalam hati.

Kemudian perempuan itu pun keluar sambil menundukkan pandangannya tanpa melirik ke arahku. Jalannya lumayan dekat dengan ku, hingga aku bisa melihatnya dengan jelas.

“Mama…” suara ku histeris.

Wanita itu tersentak dan mengalihkan pandangannya ke arahku.

“Rey” mamapun langsung memelukku.

“Kemana kamu selama ini nak?”

Aku tak menjawab pertanyaannya, aku masih bengong.

“ Mama……” kata itu lagi yang keluar dari mulutku…..

“Mama sekarang adalah seorang muslimah Rey. Papa mu yang mengajak mama untuk memeluk Islam,” jelas mama seakan tahu apa yang ingin aku tanyakan.

Alhamdulilah ya Allah, terima kasih atas hidayah Mu ya Allah.

“Ma, sekarang papa dimana?” tanyaku gembira…

“Papa mu sudah meninggal Rey, sejak setahun yang lalu,” ucap mama tegar.

“Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun” aku gemetar. Bila tak menggenggam tangan mama erat, aku pasti sudah kelimpungan dan ambruk ke tanah.

“Tapi papa mu benar-benar menjadi seorang muslim sejati setelah kepergianmu nak,” kata mama.

Sesaat kemudian mama menatap ku lekat. Ia memperhatikan wajah ku cukup lama. Aku bisa melihat rasa rindu yang dalam pada bola matanya. Aku pun merasa begitu. Aku sangat rindu pada mama. Sementara pikiran ku maish membayangkan wajah papa. Aku merasa bersalah telah meninggalkan papa hingga tak sempat melihatnya lagi.

Keheningan membalut pertemuan kami. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirku maupun mama dalam tempo yang cukup lama.

Baru beberapa saat kemudian, mama memulai pembicaraan dan seakan mencoba mengingat sesuatu.

“Sebelum papa mu menginggal, papa berpesan kepada mama untuk menceritakan sesuatu kepada mu, menyangkut masa kecilmu “

Mendengar itu, aku mengerutkan dahi.

“Dulu papa sangat senang membawa mu ke masjid.”

“Hah… apa ma?”

“Iya Rey. Tapi orang orang yang berada di luar masjid selalu melihat sinis kepada kalian. Papa bingung, papa baru mengetahui penyebab itu semua ketika teman-temanmu melemparkan batu ke arah mu dan berkata untuk apa selalu pergi ke masjid, mamanya aja bukan orang Islam. Mereka mengejek mu. Uuuu,,,, punya mama aneh ! punya mama aneh. Kemudian kamu pulang ke rumah dengan darah yang terus mengalir dari kepala mu hingga membasahi pakaian mu. Papa marah sekali. Sejak saat itulah papa tidak mengizinkan mu untuk pergi ke masjid. Jadi ia melakukan itu semua semata-mata untuk melindungimu Rey. Papa tahu kamu sangat sedih dengan keputusan papa, tapi itu semata – mata dilakukannya untuk melindungimu. Ia sangat saying pada mu. Ia tak ingin anaknya terluka lagi walau setitik,” kata mama sambil menyeka air mata di wajah ku.

Aku terperangah. Tak tahu harus berkata apa. Aku meraih tubuh mama dan memeluknya erat. “Maafkan aku papa..maafkan aku. Aku rindu papa,” batin ku.

– selesai –

Oleh: Nadya Husna Keumala, Img: opinionnotes

Tinggalkan Balasan