Isi Ikrar Mbah Hasyim Asy’ari di Sisi Ka’bah

0
508

Ka’bah pun menjadi saksi pembaitan. Di hadapan Ka’bah yang menjadi kiblat muslim sedunia, sekelompok pemuda dari berbagai negara, mengucapkan ikrar mengembangkan syiar Islam di negeri masing-masing.

Kelompok pemuda itu adalah saudara seperguruan yang barusan merampungkan pendidikan. Salah seorangnya KH Hasyim Ashari. Sekelumit kisah ikrar saudara seperguruan itu diungkapkan M Ishom Hadzik, keturunan KH Hasyim.

Di balik kisah ikrar tersebut, menyemburatkan keteguhan pemuda Hasyim mengembangkan ajaran Islam di muka bumi, sekaligus jalinan erat ukhuwah sesama muslim, kendati berbeda warna kulit.

Lahir di Desa Nggendang — dua kilometer sebelah utara Jombang — pada 24 Dzuqa’dah 1287 H (14 Februari 1817, Hasyim laiknya telah membawa kebesaran-Nya saat dilahirkan. Garis keturunannya pun berasal dari kalangan ulama. Kakeknya KH Usman dikenal sebagai ulama besar di masanya yang memiliki pesantren di Nggendang.

Orangtuanya, KH Asj’ari yang menyunting Halimah — putri KH Usman — menjadi penerus kemasyhuran pesantren Nggendang. Ia pun tercatat sebagai keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI.

Saat mengandung Hasyim, ibunya Halimah bermimpi: purnama rebah di kandungannya. Halimah terbangun, sembari menggigil mengisahkan mimpinya, kepada Asj’ari. Sang suami terpesona atas mimpi istrinya. Belakangan, dukun persalinan merasakan adanya tanda keistimewaan, saat pertama menyaksikan Hasjim.

Bayi yang lahir ini, demikian sang dukun meramalkan, kelak akan menjadi orang besar. Ramalan sang dukun kelak terwujud. Kendati demikian, bukan semata trah yang diwariskan, menjadikan Hasjim dikenal sebagai hadratus syeikh.

Tapi, semangat belajar dan tekad yang dimiliki, menempanya menjadi ulama besar. Tekad tersebut ditunjukkannya saat ia berusia 15. Setelah mengenyam dasar-dasar pendidikan agama di pesantren ayahnya, Hasjim minta izin untuk memperdalam ilmunya.

Dengan sarana transportasi sangat minim, ia memulai pengembaraannya, menyusuri berbagai pesantren di Jawa Timur. Dari beberapa pesantren, pemuda Hasjim terpikat untuk lebih lama memperdalam ilmu, di Pesantren Siwalan Pandji Sidoharjo. Pemimpinnya Kyai Ja’kub.

Di sana, berkat kecerdasannya, Hasjim segera menjadi santri yang menonjol. Perilaku dan tekadnya mencuri hati pimpinan pesantren. Bahkan, belakangan sesuai tradisi di lingkungan pesantren, Kyai Ja’kub pun mengangkat Hasjim sebagai menantu.

Ia dinikahkan dengan Khadidjah, putri Ja’kub pada usia 21 (1308H). Setelah pernikahan, Hasjim bersama istri dan mertuanya, menunaikan ibadah haji. Seusai merampungkan ibadah, mereka tak segera pulang, tetapi mukim di Tanah Suci.

Pemuda Hasjim yang haus ilmu, ingin memperdalam pengetahuannya, di sana. Namun, tujuh bulan di Mekkah, istrinya wafat setelah melahirkan bayinya Abdullah. Sayang, usia Abdullah, cuma 40 hari lalu menyusul ibunda. Perasaan Hasjim remuk. Ia pun kembali ke kampung halaman. Namun, didorong rasa haus ilmu, ia hanya tiga bulan di kampung halaman, lalu kembali ke Mekkah.

Selama tujuh tahun, ia memuaskan dahaganya, melalui bimbingan guru besar seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi, dan Syekh Mahfudz at Tarmisi.

Di antara guru-gurunya, Syekh Mahfudz sangat menyayanginya. Hasjim memperdalam ilmu hadis dari Mahfudz yang dikenal sebagai isnad dalam pengajaran kitab Sahih Bukhari ini. Bahkan, ia pun mendapatkan ijazah dari gurunya. Sang guru, Syekh Mahfudz memang berhak memberikan ijazah kepada muridnya yang menguasai Sahih Bukhari.

Mahfudz merupakan generasi terakhir dari 23 generasi ulama ‘Shahih Bukhari’ yang mendapatkan ijazah langsung dari Imam Bukhari. Hasjim kemudian memperolehnya dari Mahfudz, pertanda besarnya penghargaan sang guru pada muridnya.

Hasjim memang laiknya musafir di sisi Baitullah. Malam-malamnya, diisi dengan penyimakan pengajaran dari sang guru. Lihatlah: Hasjim bersama santri dari berbagai manca negara duduk di dalam lingkaran disiram cahaya pelita yang dinamakan fanus. Di tengah lingkaran, sang guru dengan jubah kebesaran memberikan wejangan.

Di saat senggang, ia terisak di sisi makam Rasullah, maupun di tempat mustajab, memanjatkan doa agar dapat mengharumkan Islam. Doa dengan linangan air mata itu, belakangan dikabulkan-Nya. Ishom mengisahkan saat hendak kembali ke Tanah Air, Hasjim bersama beberapa teman seperguruannya di antaranya Pangeran Syiria mengikat ikrar, disaksikan Baitullah.

Ikrar tersebut menyatukan mereka. Kelak menjadi pemuka agama di negerinya masing-masing, Hasyim tetap berkorespondensi dengan saudara-saudara seperguruannya.

Surat-surat itu tak sekadar pelepas rindu, juga menyatukan visi dalam mengemban syiar Islam. Sekembalinya ke Tanah Air, ia pun bersungguh-sungguh mengajarkan ilmu yang diperolehnya di Tanah Suci. Bahkan, kemudian ia memilih membuka pesantren di Tebu Ireng. Pilihan ini sempat menjadi tertawaan. Maklum, Tebu Ireng kala itu, muara maksiat: sebagian penduduknya masih terbiasa dengan judi, zinah, bahkan merampok. Di pusat kekelaman, Hasjim mendirikan pelita ilmu.

Cemoohan ditanggapinya dengan sikap, ”menyiarkan Islam itu artinya memperbaiki manusia. Jika manusia sudah baik, apalagi yang akan diperbaiki. Berjihad pun artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan.

”Siapa menyana, kelak Tebu Ireng tersohor sebagai pencetak pemuka agama yang andal? Bahkan, berkat semangat progresifnya, Tebu Ireng tercatat sebagai salah satu pelopor pengajaran ilmu umum, selain agama. Tak sekadar penyebar agama, ia pun dikenal berjiwa patriotik (Baca juga penuturan Pak Ud tentang KH Hasyim Ashari). (Republika)

 

Tinggalkan Balasan