Semangat Memberi, Mendamaikan Hati

0
431
Kami Butuh Donasi Anda

Di sebuah kota tinggallah dua orang bijak yang sudah hidup bersama selama 30 tahun. Selama itu mereka belum pernah sekalipun bertengkar. Suatu hari seorang dari mereka berkata,

”Tidakkah kau berpikir bahwa inilah saatnya kita bertengkar, paling tidak  ya sekali ini saja”.

Kawannya menyahut, ”Bagus kalau begitu! Mari kita mulai. Apa yang harus kita pertengkarkan?”

Orang bijak pertama menjawab, ”Bagaimana kalau sepotong roti ini?”
”Baiklah, marilah kita bertengkar karena roti ini. Tapi, bagaimana kita melakukannya?” tanya orang bijak kedua.

Orang bijak pertama lalu berkata, ”Roti ini punyaku. Ini milikku semua.” Orang bijak kedua menjawab, ”Kalau begitu, ambil saja.”
Sahabatku, alangkah damainya dunia ini kalau kita semua berperilaku seperti dua orang bijak tersebut. Coba Anda renungkan, bukankah pertengkaran, perselisihan, dan peperangan yang terjadi di dunia ini bersumber dari sikap mental kita, yaitu sikap mental meminta atau tangan dibawah? Hanya saja kita tidak menyadari. Mental meminta dan menuntut tidak selalu dimiliki oleh orang yang secara materi kekurangan atau rakyat jelata, tetapi bahkan tetap dimiliki oleh seseorang yang secara materi kaya dan berpangkat tinggi. Banyak prilaku tidak manusiawi yang kita lakukan kepada orang lain, pada saat yang sama kita menuntut diperlakukan dengan sangat-sangat manusiawi dan dipertuan-agungkan. Kita suka meminta, tapi sayangnya kita tak suka memberi. Muncullah sifat gampang tersinggung, mencela dan mencaci orang yang kita anggap kurang menghormati kita.

Di rumah, kita meminta perhatian pasangan kita, meminta anak-anak memahami kita, meminta pembantu melayani kita. Di tempat kerja, kita meminta bantuan bawahan, meminta pengertian rekan sejawat, dan meminta gaji yang tinggi pada atasan. Di masyarakat, mereka yang mengaku sebagai pemimpin selalu meminta pengertian dan kesabaran masyarakat, meminta masyarakat hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang. Bahkan disekolah tempat anak kita menuntut ilmu, kita meminta kepada para guru dan kepala sekolah agar anak kita diperhatikan, diperlakukan istimewa, jangan sampai ketinggalan dari teman-temannya.Disaat ada masalah dengan anak kita, spontan kita menyalahkan guru dan sekolah.Dijalan raya, kita menuntut semua orang memberikan kelancaran bagi perjalanan anda, maka ketika ada orang lain yang melakukan kesalahan atau anda anggap mengganggu jalan anda, langsung saja anda mengeluarkan kata-kata kotor tanpa merasa bersalah sedikitpun.Sikap mental seperti inilah yang akan membawa kehidupan ini jauh dari kenyamanan, ketentraman dan kebahagiaan. Yang ada, hanyalah emosi dan emosi, homo homini lupus.

Semangat kita sehari-hari adalah ”semangat” meminta dan menuntut, bukan memberi. Mengapa kita suka meminta tetapi sulit memberi? Mungkin saja, logika kita yang sedikit eror. Kita beranggapan bahwa, ”Dengan meminta, milik kita  akan bertambah, sebaliknya dengan memberi milik kita akan berkurang.” Pikiran semacam ini menimbulkan ketamakan, kerakusan dan selalu kurang.Tidak pernah bisa menghargai orang lain, apapun yang dilakukan oleh orang lain kepada kita, terasa kurang, salah dan banyak kelemahan. Pada saat yang sama, kita tidak pernah menyadari kekurangan dan kesalahan sendiri.

Sahabatku, Subhanallah, ternyata Sunnatullah (hukum alam) menyatakan yang sebaliknya. Justru dengan banyak memberi, kita akan banyak pula menerima. Coba perhatikan siapakah orang yang disenangi dalam pergaulan? Jawabannya pasti orang yang suka memberi. Sebaliknya orang-orang yang dibenci adalah orang yang angkuh, pelit, rakus dan tak pernah memberi.
“Semangat memberi” tak ada kaitannya dengan banyaknya harta atau kekuasaan  yang kita miliki. Memberi tidak harus berupa harta. Tidak usah menunggu kaya atau berkuasa. Biasanya orang yang akan memberi jika sudah kaya atau berkuasa, hanyalah sebuah kedok belaka dari kepelitan dan kerakusannya.

Coba perhatikan orang-orang yang shalih? Mereka tidak berdiri diatas tumpukan kekayaan dan kekuasaan. Akan tetapi mereka mendapatkan ketenangan dan ketentraman.Hidupnya memberikan manfaat kepada kehidupan ummat manusia bahkan kepada lingkungan alam sekitarnya. Dan akhirnya kehidupan mereka juga tidak kekurangan secara lahir dan batin, dihormati, disegani dan dipatuhi oleh orang-orang disekelilingnya.  Sejarah mereka ,dikenang sepanjang masa, melebihi para pemilik harta dan keuasaan.Semua itu karena mereka mau memberikan apa yang bisa diberikan kepada orang lain.Bukan hanya harta, tetapi ilmu, perhatian, tenaga dan pikirin, bahkan terkadang harga diri dan kehormatannya dikorbankan demi harga diri dan kehormatan orang lain. Sebut saja para ulama’ seperti Syekh Abdul Qadir al Jailani, Imam Syafi’I, alGhazali,dan Wali Songo serta ulama’ nusantara yang lainnya.Mereka itu bukan sosok penguasa atau orang kaya, akan tetapi namanya abadi dalam kenangan ummat Islam bahkan manusia secara keseluruhan. Lebih dari itu, para nabi Allah dan Nabi kita Muhammad SAW. Semuanya dihormati dan disegani, bukan karena meminta akan tetapi karena memberi.

Sementara itu,mereka yang tak mau memberi karena takut miskin atau merasa gengsi. Seolah-olah dengan memberi,harta mereka akan terkuras habis, dengan peduli, kehormatannya akan berkurang.  Akhirnya mereka menjadi benar-benar miskin. Karena bukankah ketakutan akan kemiskinan merupakan kemiskinan itu sendiri? Para koruptor dan penilep uang rakyat, mereka itulah orang-orang termiskin dinegeri ini,meskipun penampilan mereka berdasi dan bersepatu nicis, naik mobil mewah dan memiliki beberapa rumah dengan harga miliaran rupiah.

Sebaliknya ada orang yang sederhana tetapi senantiasa mau berbagi dengan orang lain. Mereka inilah orang-orang yang kaya.Dan lebih dari itu, mereka menjadi “manusia” yang sebenarnya, tidak korupsi, tidak suka memusuhi atau menghina, bisa bergaul ramah dan berbagi dengan sesama.  Yang menjadikan kita kaya sebenarnya bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita berikan kepada orang lain.Apa yang kita berikan kepada orang lain, itulah asset kita yang sebenarnya.
Sumber kekayaan yang sejati sebenarnya terletak di dalam diri kita sendiri. Tidak mengapa kita berikan sedikit assesoris terhadap tubuh kita dengan permata atupun berlian, rumah yang indah atau kendaran yang mewah, sepanjang kita menyadari bahwa itu semua tidak hakiki, sekedar assesoris. Sedangkan permata yang ”asli” sebenarnya ada di dalam diri kita sendiri.Jangan lupa untuk selalu merawat dan menggunakannya sesuai petunjuk produsennya, yaitu Sang Maha Pencipta.

Kahlil Gibran mengatakan, ”Bila engkau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila engkau memberi dari dirimu itulah pemberian yang penuh arti”. Ada banyak cara untuk memberi. Kita bisa memberikan perhatian, pengertian, waktu, energi, pemikiran, pujian, dan ucapan terima kasih. Kita juga bisa memberikan jalan bagi pengendara mobil lain di jalan raya, atau sekedar senyuman terhadap semua orang yang kita temui. Hal-hal yang sederhana ini dapat berarti banyak bagi orang lain dan diri kita sendiri.

Abu Kabsyah al Anmari mendengar Rasulullah SAW bersada,” ada tiga perkara yang aku bersumpah atasnya dan aku akan mengucapkan suatu hadits, maka hafalkanlah oleh kalian.Pertama, harta seorang hamba tidak akan berkurang karena disedekahkan.Kedua, tak seorang hambapun yang didhalimi oleh orang lain kemudia dia bersabar menghadapinya, kecuali Allah akan menambah kemuliaannya. Ketiga,tidak seorang hambapun yang membuka pintu meminta-minta kecuali Allah akan membukakan untuknya pintu kefakiran.Kemudian, sesungguhnya dunia ini diisi oleh empat golongan manusi, yaitu; 1.seorang hamba yang diberi karunia harta dan ilmu, kemudia dia bertaqwa kepada Allah dalam mempergunakannya, menyambung persaudaraan dan mengerti hak Allah didalamnya, maka orang tersebut menduduki peringkat kedudukan yang paling utama.2.seorang hamba yang diberi ilmu dan tidak diberi kelebihan harta, akan tetapi dia memiliki niat yang baik dan berkata,” seandainya aku kaya, niscaya aku akan berbuat seperti perbuatan fulan yang baik,maka dengan niatnya yang baik tersebut pahala orang tersebut sama dengan yang pertama.3.seorang hamba yang diberi harta akan tetapi tidak memiliki ilmu, maka orang tersebut menghabiskan hartanya tanpa ilmu, tidak brertaqwa kepada Allah didalam mempergunakannya, tidak menyambung persaudaraanya dan tidak mengerti hak Allah didalamnya. Orang ini berada pada kedudukan yang terburuk.4. Seseorang yang tidak diberi karunia harta dan ilmu, kemudian dia berkata,” seandainya aku memilki harta, niscaya aku akan berbuat seperti perbuatan sifulan itu (nomor 3).Maka sesuai niatnya, dosa orang ini sama dengan orang yang ketiga”. HR.Turmudzi[1]

Author: Muzammil, Yogyakarta


[1] Sunan Turmudzi,Juz 9, hal.111

Tinggalkan Balasan