Social Entrepreneur: Gagasan Dalam Membangun Peradaban Islam

0
1013

Pendahuluan

Dewasa ini globalisasi begitu terasa mendunia sehingga memunculkan dampak negatif yang tidak sedikit. Dalam ranah ekonomi, globalisasi yang dirupakan dengan neokapitalisme—menghalalkan semua cara demi mendapatkan keuntungan materi dengan cara yang dapat dipandang kondusif—melahirkan problematika sosial yang cukup serius. Semakin bertambahnya masyarakat miskin, pengangguran, meningkatnya tindak kriminalitas dan menurunnya angka kesehatan termasuk gizi buruk merupakan realitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ironisnya, kondisi yang sangat tidak menguntungkan itu justeru banyak dialami oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam termasuk Indonesia.

Pendidikan Sosial Entrepreneurship lahir sebagai solusi nyata menumbuhkan wirausahawan muda agar angka pengangguran tidak terus bertambah. Pada akhirnya tujuan pendidikan Sosial Entrepreneurship tidak hanya betumpu adalah Perluasan lapangan kerja di sektor informal maupun formal, namun juga meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja dan menciptakan fleksibilitas pasar kerja dalam kondisi hubungan industrial yang kondusif. Sehingga paradigma pendidikan dapat menjadi kunci pembangunan yang berkeadilan, berdaulat, dan berkelanjutan.

Social Entrepreneur (Kewirausahaan Sosial)

Pengertian sederhana dari Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship– nya untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare). Jika business entrepreneurs mengukur keberhasilan dari kinerja keuangannya (keuntungan ataupun pendapatan) maka social entrepreneur keberhasilannya diukur dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Dari berbagai pengertian tersebut maka Social Entrepreneur sesungguhnya adalah agen perubahan (change agent) yang mampu untuk :

  • Melaksanakan cita-cita mengubah dan memperbaiki nilai-nilai sosial
  • Menemukan dan mengenali berbagai peluang untuk melakukan perbaikan
  • Selalu melibatkan diri dalam proses inovasi, adaptasi, pembelajaran yang terus menerus
  • Bertindak tanpa menghiraukan berbagai hambatan atau keterbatasan yang dihadapinya
  • Memiliki akuntabilitas dalam  mempertanggungjawabkan hasil yang dicapainya,  kepada masyarakat.

Dalam bukunya How to Change the World, David Bornstein (R. Valentina Sagala, 21 April 2007) memaparkan bagaimana social entrepreneur di dunia, yang hampir tak terliput oleh media, telah mengubah sejarah dunia dengan terobosan berupa gagasan  inovatif,, memutus sekat birokrasi, mengusung komitmen moral yang tinggi dan kepedulian  mengagumkan yang akan terus menjadi sumber inspirasi. Buku tersebut menceritakan puluhan kisah, seperti Jeroo Billimoria (India) yang membangun jaringan perlindungan anak telantar, Vera Cordeiro (Brasil) yang mereformasi perawatan kesehatan, atau Veronika Khosa (Afrika Selatan) dengan model perawatan berbasis rumah (home-based care model) untuk penderita AIDS, yang telah mengubah kebijakan pemerintah tentang kesehatan di negaranya. Dari Bangladesh, dunia mulai diingatkan tentang kewirarusahaan sosial, ketika penghargaan Nobel tahun 2006 jatuh ke tangan seorang wirausahawan sosial bernama Muhammad Yunus. Yunus adalah anggota Global Academy Ashoka, di mana Ashoka dikenal sebagai sebuah organisasi global pertama yang mengembangkan konsep kewirausahaan sosial. Berkat gagasannya memberantas kemiskinan melalui sistem keuangan mikro yang lebih dikenal sebagai Grameen Bank, Yunus telah membantu jutaan kaum miskin di Bangladesh, terutama perempuan yang selama ini sangat sulit memperoleh akses. Melalui Grameen Bank, Yunus membangun sistem untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik di tengah kemiskinan yang mencekik. Ia membuktikan pentingnya sistem perbankan berubah menjadi sensitif dan berdampak pada masyarakat miskin, khususnya perempuan. Ia tidak hanya menginspirasi masyarakat Bangladesh, tetapi juga masyarakat dunia.

Bina Swadaya Entrepreneruship

Bina Swadaya merupakan lembaga pemberdayaan masyarakat yang lahir pada 24 Mei 1967 oleh sejumlah aktivis Ikatan Petani Pancasila (IPP) yang merasa terpanggil untuk memberdayakan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Bina Swadaya pun berupaya menjadi wahana pemberdayaan masyarakat yang mandiri dan konsisten, serta hadir secara kontekstual. Mandiri berarti adanya tekad untuk membangun dan menjaga kemandirian keuangan, dengan tidak bergantung pada bantuan lembaga dana. Konsisten dibuktikan dengan tetap berpegang teguh pada visi – misi pemberdayaan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Kontekstual berarti hadir untuk menjawab kebutuhan dan mengantisipasi tantangan dan peluang yang ada.

Kini Bina Swadaya Bina Swadaya bergerak dalam 7 bidang kegiatan yaitu : (1) Pemberdayaan masyarakat warga (Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pusat Kajian, Bina Swadaya Konsultan, dan Gugus Wilayah); (2) Pengembangan keuangan mikro (Bank Perkreditan Rakyat dan kantor cabang Pelayanan Keuangan Mikro); (3) Komunikasi pembangunan (Majalah Trubus, buku-buku pertanian non pangan, bahasa, kesehatan, ketrampilan, pendidikan, gaya hidup, perumahan, dan buku-buku cerita. Termasuk dalam kelompok inia dalah jasa pemasaran buku dan majalah; (4) Jasa percetakan; (5) Pengembangan agribisnis melalui Toko Pertanian; (6) Pariwisata alternatif; (7) Jasa akomodasi untuk pertemuan, pelatihan, workshop dan seminar.

Dari contoh diatas Tampak pula, para business entrepreneur pun banyak yang kian intens melakukan program-program pemberdayaan masyarakat. Mereka tidak sekedar melakukan tanggung jawab sosial(corporate social responsibility) dalam tataran yang sempit, namun banyak yang termotivasi untuk pemberdayaan masyarakat dalam lingkup yang luas. Tidak hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan semata namun tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Mereka berkiprah dalam beragam program pemberdayaan masyarakat, baik bidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, sarana dan prasarana maupun lingkungan hidup. Dengan spirit yang dimilikinya, entrepreneur dapat mengubah masyarakat bahkan dunia.

 

Konsep Social Entrepreneur Dalam Islam

Islam adalah agama yang dari awal berdirinya telah menabuh genderang perang terhadap kemiskinan. Mengapa demikian? Karena dalam  jangka panjang, kemisinan akan berdampak pada penistaan hak-hak kemanusiaan yang paling mendasar hingga menjerumuskan kedalam  jurang kefakiran. Bahkan kefakiran yang melebihi batas akan membawa seseorang  kepada kekafiran, baik kekafiran berpikir, bersikap dan berperilaku, Sebuah fenomena yang sangat dijaga betul agar tidak terjadi dalam kehidupan seorang muslim. Dalam Islam pengentasan kemiskinan  bukan didasarkan pada derma (charity) tetapi didasarkan pada kerja (full employment).  Dalam hal ini tentu saja para social entrepreneur mengambil peranan penting. Selain menyediakan lapangan pekerjaan, seperti dijelaskan diatas bahwa social entrepreneurship harus bisa  menjadi agen perubahan (change agent) untuk mewujudkan kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan masayarakat.

Sebagai umat muslim Rasulullah SAW  adalah teladan yang paling utama. Semasa hidupnya Rasulullah dan sebagian besar sahabatnya adalah para social entrepreneur berskala internasional dengan integritas dan kompetensi yang tidak diragukan  lagi. Salah satu keteladanannya adalah Rasulullah Saw membuktikan bahwa uang bukanlah modal utama dalam berbisnis, namun sifat Siddiq (benar dalam kata dan perbuatan), amanah (dapat dipercaya), fathonah (cerdas) dan tabligh-lah (menyampaikan risalah Allah SWT) yang menjadi kunci kesuksesan.  Seiring dengan kesuksesan bisnis Rasul SAW dan Sahabatnya, keteladanan lainnya adalah dalam prestasi zakat infak shodaqoh dan wakaf mereka yang sangat fantastis jumlahnya.  Pada saat itulah peradaban Islam begitu membumi. Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin tidak hanya dirasakan oleh umat muslim namun jauh hingga diluar jazirah Arab manakala azas keadilan dan kesejahteraan menjadi prioritas setiap pemimpin atau khalifah .

Meminjam  istilah DR. Abdulaziz Othman Altuwaijri bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang seimbang (well-balanced civilations) yang menjaga keseimbangan antara aspek kehidupan material dan spiritual. Dengan memberikan keteladanan dalam moderasi (tawasuth) yang juga merupakan karateristik dari pemikiran Islam (exemplary moderation). Suatu moderasi yang dibangun atas dasar keadilan dan kesetaraan. Tak salah kiranya jika gagasan social entrepreneurship menjadi komitemen bersama para pelaku usaha maka akan semakin mudah untuk membangun peradaban masyarakat Islam yang sebenar-benarnya  dan  mewujudkan negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur dimasa yang akan datang, Insyaallah

By:         Era Sofiyah

Image :  sanglucci

Tinggalkan Balasan