Talangan Haji dalam Pandangan Fiqh Islam (2)

0
1011

Secara umum, akad atau al-`uqūd yang terjadi sehari-hari di tengah-tengah kita terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[1]

1        `Aqd al-mu`āwaḍah, yaitu akad dimana masing-masing dari kedua belah pihak menerima sesuatu dari pihak lain sebagai imbalan dari apa yang ia berikan, seperti jual beli, ijārah (sewa), muḍārabah (akad kerjasama dengan bagi hasil) dan lain-lain.

2        `Aqd al-tabarru`, yaitu akad dimana seseorang memberikan sesuatu tanpa menerima imbalan, seperti hibah, wakaf, wasiat dan lain-lain.

`Aqd al-mu`āwaḍah sah apabila di dalamnya terpenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:

a).    Wujūd al-tarāḍī (adanya kesukarelaan dari kedua belah pihak)

Kesukarelaan di antara kedua belah pihak merupakan prinsip yang paling mendasar dalam transaksi (al-`uqūd). Prinsip ini didasarkan pada firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا . [النساء : ٢٩]

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan (menggunakan) harta sesama dengan cara-cara yang batil. (yang diperbolehkan adalah) perdagangan yang dilakukan secara suka-rela. Dan janganlah kalian membunuh dirimu sendiri. sesungguhnya Allah amat mengasihimu”. [al-Nisā’ (04):29]

Ayat ini menetapkan dua prinsip yang menjadi dasar keabsahan perdagangan, yaitu pertama hendaklah perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela. Kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian pihak lain. Karenanya, setiap transaksi tanpa dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak adalah batal. Sebab itulah, tidak boleh ada pemaksaan atau jeratan (ikrāh atau ḍagṭun) berupa apapun dalam transaksi.

b).    `Adam al-gharar (tidak spekulatif)

Gharar adalah sesuatu yang dampaknya masih tersembunyi atau sesuatu yang memiliki dua kemungkinan sementara yang sering terjadi adalah yang paling dikhawatirkan[2]. Atas dasar prinsip inilah banyak praktik jual beli yang dilarang dalam fikih, seperti bai` `asb al-faḥli (jual beli sperma binatang), bai` al-malāqīḥ (jual beli janin yang masih dalam kandungan induknya), bai` al-maḍāmin (jual beli binatang yang masih belum terjadi pembuahan), bai` al-`arabūn/`urbūn, asuransi jiwa, dan lain-lain. Akad-akad ini dan sejenisnya dilarang sebab mengandung unsur spekulasi (gharar)[3].

Prinsip ini menjadi penting demi terwujudnya kepastian dan tidak terjadi perjudian yang mengarah pada adanya pihak yang menzalimi dan dizalimi. Prinsip ini didasarkan pada hadis Nabi :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ.[رواه مسلم]

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,“Rasulullah melarang jual beli dengan cara melempar kerikil dan jual beli yang mengandung unsur ketidakpastian.” [HR. Muslim]

c).    `Adam al-ribā (tidak mengandung riba)

Akad yang mengandung riba ialah akad jual beli atau hutang piutang yang mengandung kelebihan harta pada salah satu pihak tanpa ada imbalan dari pihak lain. Melihat intensitasnya, dapat dipastikan bahwa larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Intinya adalah jangan sampai seseorang dizalimi dengan kehilangan hak miliknya tanpa mendapatkan imbalan yang sepadan.

d).    `Adam al- ḍarar (tidak merugikan)

Yang dimaksud prinsip ini adalah bahwa suatu transaksi tidak boleh menimbulkan mudarat atau marabahaya pada salah satu pihak atau kedua belah pihak. Dengan demikian, setiap mu`āmalah yang menimbulkan mudarat atau marabahaya adalah batal. Prinsip ini didasarkan pada hadis Nabi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ . [رواه مالك]

“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, tidak boleh melakukan ḍarar baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain”. [HR. Imam Malik][4]

Transaksi yang pasti harus dijalani oleh setiap calon jama’ah haji untuk mendapatkan porsi/seat haji, mutlak harus memenuhi prinsip-prinsip transaksi tersebut di atas agar hajinya mabrur. Porsi/seat haji merupakan komponen paling penting dari istithâ’ah yang merupakan syarat wajib haji. Porsi dapat dibeli di SISKOHAJ milik Departemen Agama Pusat dengan membayar uang tunai sebesar 25 juta sebagai setoran awal melalui salah satu bank yang dipilih. Bank di sini hanya berposisi sebagai jalan lewat karena uang yang disetor tidak parkir di bank. Namun, ada bank tertentu yang tidak hanya menjadi jalan lewat tapi juga memberi talangan haji bagi orang-orang yang karena sebab-sebab tertentu tidak bisa membayar setoran awal sebesar 25 juta. Lalu apa makna dari pemberian talangan ini?

Pemberian talangan bisa bermakna pemberian pinjaman (القرض). Bank sebagai pemberi pinjaman (مقرض) dan nasabah sebagai peminjam (مقترض). Dan mungkin juga pemberian talangan dimaknai bahwa bank adalah sebagai بائع kedua  dan nasabah sebagai مشتري kedua. Dengan demikian, akad ini termasuk akad murâbahah (البيع بمثل الثمن الأول مع زيادة ربح). Ini berarti bank membeli porsi haji dari SISKOHAJ dengan harga 25 juta sebagai setoran awal dan menjualnya kepada nasabah dengan harga tersebut ditambah dengan keuntungan. Berhubung ketika nasabah datang ke bank untuk membeli porsi, barang yang dimaksud belum tersedia di bank, maka jual beli ini diberi nama بيع المرابحة ﻟﻶمر بالشراء.[5]

Transaksi yang semacam ini mengandung dua perjanjian yang harus sama-sama ditepati oleh kedua belah pihak. Pertama, janji pihak nasabah untuk membeli barang tersebut dari pihak perbankan. Kedua janji pihak perbankan untuk menjual barang itu dengan harga beli ditambah keuntungan bagi pihak bank.[6]

Jual beli seperti di atas merupakan jual beli yang dilegalkan menurut sebagian besar ulama. Pendapat ini dipertegas oleh imam Syafi’iy dalam kitab al-Um,

وَلَا بَأْسَ في أَنْ يُسْلِفَ الرَّجُلُ فِيمَا ليس عِنْدَهُ أَصْلُهُ وإذا أَرَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ السِّلْعَةَ فقال اشْتَرِ هذه وَأُرْبِحَك فيها كَذَا فَاشْتَرَاهَا الرَّجُلُ فَالشِّرَاءُ جَائِزٌ.

Tidak jadi soal bila seseorang dipesani barang yang sama sekali belum ia miliki. Dan apabila seseorang memperlihatkan suatu barang pada orang lain, kemudian ia mengatakan kepadanya, ‘Belilah barang itu, dan aku akan memberikan keuntungan sekian untukmu’ lalu barang itu dibeli oleh orang tersebut, maka transaksi yang demikian adalah transaksi yang diperbolehkan.[7]

Menurut hemat penulis, makna pertama lebih pas dengan kenyataan daripada makna yang kedua. Jadi, talangan pada hakikatnya adalah pinjaman, kecuali dilakukan modifikasi akad sehingga benar-benar menjadi بيع المرابحة yang memenuhi syarat-syarat. Berhubungan talangan ini dilakukan dengan sistem bunga maka hukumnya haram dan riba. Bunga tersebut tidak bisa dimaknai sebagai ujrah (upah), karena disini tidak ada pekerjaan (عمل) yang berhak mendapatkan imbalan upah, kecuali pekerjaan administratif yang harus dilakukan Bank sebagai konsekuensi logis dari kemauannya untuk memberikan talangan (pinjaman).

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa akad ini tidak lepas dari ketidakpastian (الغرر) karena harga porsi yang sesungguhnya baru bisa diketahui menjelang pemberangkatan calon jamaah haji ke tanah suci, yakni ketika melakukan penyetoran pelunasan. Sekiranya ketidakpastian ini bisa dihindari maka wajib untuk dihindari.

  1. A.    Istithâ’ah dalam Haji

Para ulama sepakat bahwa orang yang tidak memiliki istithâ’ah tidak wajib melaksanakan ibadah haji karena al-Qur’an sendiri jelas mengatakan,

… وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا …(97) [آل عمران/97]

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” [QS. Âli Imrân (3):97]

Menurut sebagian besar ulama, istithâ’ah adalah syarat wajib haji. Dari kalangan Malikiyah, ada yang berpendapat bahwa istithâ’ah adalah sebab wajibnya haji. Selain dua pendapat di atas, ada pendapat dari sebagian kecil kalangan Malikiyah bahwa istithâ’ah adalah syarat sahnya haji. Namun, pendapat ini lemah.[8] Kedua pendapat di atas (selain pendapat ketiga yang lemah) bermuara pada satu titik, yakni orang yang tidak istithâ’ah tidak wajib melaksanakan ibadah haji.

Mengenai apa yang dimaksud dengan istithâ’ah pada ayat di atas, para ulama berbeda pendapat. Kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan istithâ’ah adalah bekal dan kendaraan.[9] Pendapat ini didasarkan pada hadits nabi:

روى الامام أحمد, ثنا هشيم عن يونس عن الحسن قال: لما نزلت هذه الآية ( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ) قال رجل يا رسول الله ما السبيل؟ قال: الزاد والراحلة

Namun, ada sebagian kecil kalangan Syafi’iyah yang berpendapat bahwa dua hal itu adalah syaratnya syarat, yakni syarat bagi istithâ’ah yang merupakan syarat bagi wajib haji.[10] Kalangan Malikiyah menafsiri istithâ’ah dengan kemampuan untuk sampai ke tanah suci Makkah dengan tanpa adanya kesulitan yang berarti disertai dengan adanya rasa aman terhadap jiwa dan harta benda.[11] Pendapat inilah yang paling cocok sebagai tafsir makna istithâ’ah, karena secara bahasa istitha’ah berarti kemampuan, tidak terikat dengan suatu cara atau suatu alat tertentu. Sementara ongkos dan kendaraan hanyalah sebagian kecil dari istithâ’ah.

Walaupun istithâ’ah merupakan syarat wajib haji, tapi bila orang yang tidak istitâ’ah memaksakan diri untuk melakukan haji, haji yang dilakukan tetap sah dan menggugurkan kewajiban. Hal ini sama dengan orang yang tidak mampu shalat dengan berdiri, tapi memaksakan diri untuk shalat dengan berdiri, shalatnya sah dan menggugurkan kewajiban.[12]

Istithâ’ah yang merupakan syarat wajib haji, tidak wajib diusahakan. Artinya, tidak ada kewajiban bagi setiap muslim melakukan usaha agar memenuhi syarat wajib haji.[13]  Oleh karena itu, bila seseorang diberi uang oleh bapaknya untuk melaksanakan ibadah haji, ia tidak wajib untuk menerimanya. Tentang hal ini, para fuqaha’ sepakat.[14]

Orang yang berhaji dengan menggunakan fasilitas dana talangan, belum tentu tergolong orang yang tidak mampu yang memaksakan diri untuk berhaji. Karena orang yang menggunakan dana talangan haji adalah orang yang bisa melunasi dalam jangka waktu tertentu. Ini berarti orang tersebut sebenarnya memiliki dana yang lebih dari kebutuhan sehari-hari dan cukup untuk membeli porsi haji. Mungkin, uang tunai yang ia miliki mau digunakan untuk hal lain. Atau ia memiliki kekayaan selain uang yang untuk menjualnya diperlukan saat yang tepat. Pihak perbankan tentu sudah membuat perhitungan yang matang sehingga tidak mungkin sembarangan dan tidak akan memberikan talangan kecuali kepada orang yang diyakini mampu melunasi.

Kebijakan pemerintah dengan mendahulukan orang yang lebih dahulu mendaftar untuk mendapatkan giliran berangkat daripada orng yang mendaftar kemudian, tanpa memperhatikan tingkat kemampuan ekonomi, menurut hemat kami sudah benar, sesuai dengan prinsip من سبق فهو أحق. Begitu pula kebijakan pemerintah yang memperioritaskan calon jamaah haji yang lanjut usia, sudah sesuai dengan asas mashlahah.


[1] Prof. Dr. Muḥammad Ruwas Qal`ahji, al-Mausū`ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, II, h. 1412.

[2]  Sulaiman bin Muhammad bin `Umar, al-Bujairimī `ala al-Khatīb, VII, h. 277.

[3] Gharar terbagi menjadi dua macam, yaitu; pertama gharar yasīr (spekulasi yang relatif  kecil) yang masih ditolerir dalam praktek-praktek mu`amalah. Sebab hampir semua mu`amalah mengandung unsur gharar yasīr ini, seperti akad salām, muḍārabah dan sejenisnya. Kedua, gharar kaṡīr (spekulasi yang kuat). Gharar kaṡīr inilah yang tidak dapat ditoleransi dalam praktek-praktek mu`amalah seperti gharar yang terdapat dalam akad asuransi,  riba dan sejenisnya.

[4] Imam Malik, Al-Muwaṭṭa’, IV, h. 1078.

[5] Dr. Ali Ahmad al-Salusiy, al-Mu’âmalâh al-Mâliyah al-Mu’âshiroh, h. 146

[6] Dr. Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, jld. IV, h. 500

[7] Muhammad bin Idris al-Syafi’iy, al-Um, jld. III, h. 39.

[8] Al-Hattâb al-Ru`yâniy, Mawâhib al-Jalil, jld. III, h. 447

[9] Imam al-Alûsy, Tafsîr al-Alûsiy, jld. III, h. 138.

[10] Musâ al-Hajawiy, Al-Iqnâ’ fi Hilli Alfâdzi Abi Syujâ`, jld. I, h. 231.

[11] Al-Hattâb al-Ru`yâniy, Mawâhib al-Jalîl, jld. III, h. 448.

[12] Ibn Qudâmah, al-Mughniy, jld. III, h. 86

[13] Ibn Najîm al-Mishriy, al-Bahru al-Râiq, jld. VI, h. 366

[14] Ibn Abidin, Radd al-Mukhtâr, jld. VIII, h. 122.

Tinggalkan Balasan