Talangan Haji dalam Pandangan Fiqh Islam (1)

0
706

Oleh: KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag.

Penulis adalah Sekretaris Syuriah PBNU, aktif mengajar sebagai dosen di Ma’had Aly Situbondo dan Institut Agama Islam Ibrahimy Sukorejo.

Bagi masyarakat Indonesia, ibadah haji merupakan rukun Islam yang yang memiliki daya tarik yang sangat kuat. Mereka yang sudah pernah naik haji, lebih tertarik untuk naik haji kembali dari pada menggunakan dana haji untuk kepentingan pemberantasan kemiskinan, pendidikan, perbaikan jalan, dan lain-lain. Bahkan terlihat banyak masyarakat muslim Indonesia yang berhaji bukan hanya karena didorong kewajiban agama semata, akan tetapi juga untuk menciptakan pencitraan diri. Dengan faktor tersebut, akhirnya banyak masyarakat berebut untuk segera melaksanakan ibadah haji. Di sisi yang lain, Arab Saudi, terutama Makkah dan Madinah, bukanlah tempat yang cukup luas untuk menampung seluruh jamaah haji dari seluruh penjuru dunia. Sehingga setiap negara diberi quota calon jamaah haji. Hal ini berakibat pada terjadinya antrian untuk melaksanakan ibadah haji (waiting list). Semakin tahun, waiting list semakin lama. Bahkan, di sebagian daerah ada yang mencapai lebih dari 10 tahun.

Masyarakat yang ingin segera melaksanakan haji harus segera mendaftarkan diri ke DEPAG. Semakin cepat mendaftar, semakin cepat pula untuk berangkat. Bagi yang memiliki uang tunai, tidak ada masalah. Tetapi, bagi kalangan yang tidak memiliki uang tunai, tentu harus menunggu sampai tabungannya terkumpul dan cukup. Melihat hal ini, Bank Mu’amalah memberikan solusi dengan meluncurkan program Dana Talangan Haji.

A.    Fiqh Mu’âmalah dan Talangan Haji

Berbicara tentang Dana Talangan Haji, berarti berbicara tentang  fiqh mu’âmalah. Fiqh mu’amalah memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan fiqh ibadah. Fikih mu`âmalah (fikih sosial), yaitu fikih yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama, seperti jual beli, gadai, sewa-menyewa, politik dan lain-lain. Prinsip-prinsip fiqh mu’âmalah, antara lain:

1        Bināuhu `alā asāsi al-mabādi’ al-`ammah [1]

بِنَاؤُهُ عَلىَ أَسَاسِ الْمَبَادِئِ الْعَامَّةِ

Artinya, fikih mu`āmalah dibangun di atas prinsip-prinsip universal (al-mabādi’ al-`āmmah), seperti nilai-nilai keadilan (al-`adālah), kesetaraan (al-musāwah), musyawarah (al-syū), saling membantu (al-ta`āwun), dan toleransi (at-tasāmuḥ). Dengan basis prinsip-prinsip tersebut, tercipta hubungan-hubungan sosial yang berkeadilan dan anti ketimpangan.

 

 

2        Al-aṣlu fī al-mu`āmalāh al-iltifāt ilā al-ma`ānī [2]

الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَاتِ الْإِلْتِفَاتُ اِلَى الْمَعَانِي

Artinya, prinsip fikih mu`āmalah adalah mengutamakan substansi daripada format. Dalam transaksi jual beli misalnya, sangat diperhatikan prinsip al-tarāḍī (suka sama suka)  sebagai substansi. Sedangkan ijāb-qabūl (peryataan verbal) tak lain adalah format yang memanifestasikan al-tarāḍī. Dalam mu`āmalah, dimensi luar bisa berubah sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia.

3        Al-aṣlu fī al- mu`āmalāt al-ibāḥah [3]

الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ

Pada dasarnya mu`āmalāt adalah diperbolehkan (al-ibāḥah). Ini berarti, untuk membolehkan suatu praktik mu`āmalah tidak diperlukan dalil yang membolehkannya, baik naṣ Al-Qur’an maupun naṣ Hadis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang diperlukan adalah mengetahui tidak adanya dalil yang melarang.

Senada dengan kaidah ini adalah kaidah,

الْمُعَامَلَاتُ طَلْقٌ حَتَّى يَرِدَ الْمَنْعَ .

“Persoalan-persoalan mu`āmalah itu longgar sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya”.

Kaidah ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya ayat,

…وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ… [الأنعام : ١١٩]

“…Dan Allah telah menjelaskan secara rinci hal-hal yang telah diharamkan-Nya…”. [QS. al-An`ām (6): 119]

Mafhūm ayat ini adalah, bahwa segala hal yang tidak dijelaskan secara rinci keharamannya berarti halal.

4        Binā’uhu `alā murā`āti al-`ilal wa al-maṣāliḥ [4]

بِنَاؤُهُ عَلىَ مُرَاعَاةِ الْعِلَلِ وَالْمَصَالِحِ

Fikih mu`āmalah dibangun atas dasar memperhatikan `illah dan maṣlaḥah. Jika `ibādah bersifat ta`abbudī, ghairu ma`qūli al-ma`nā dan ghairu mu`allah bi `illatin, maka fikih mu`āmalah sebaliknya, yakni bersifat ta`aqqulī (reasonable) atau mu`allah bi `illatin. Artinya, mu`āmalah didasarkan pada ilat (`illah), ḥikmah dan maṣlaḥah yang dapat dipahami oleh akal sehat manusia.

5        Al-jam`u baina al -ṡabāt wa al-murūnah [5]

الْجَمْعُ بَيْنَ الثَّبَاتِ وَالْمُرُوْنَةِ

Fikih mu`āmalah memadukan antara ketegasan dan kelenturan. Dalam mu`āmalah ada bagian yang tidak bisa berubah dan bagian yang bisa berubah. Ada dua bagian mu`āmalah yang tidak dapat berubah. Pertama prinsip-prinsip dasar mu`āmalah, seperti at-tarāḍī, kejujuran, monopoli dan riba. Kedua yang menyangkut maqāṣid al-syarī’ah (tujuan disyariatkannya mu`āmalah).

Sedangkan yang dapat berubah sejalan dengan perubahan situasi (al-aḥwāl) dan kondisi (al-ẓurūf) adalah yang berkaitan dengan format dan teknik operasional bagaimana menjalankan mu`āmalah. Di sinilah berlaku kaidah,

[6]الثَّباَتُ فِي اْلأُصُوْلِ وَالْمَقَاصِدِ وَالْمُرُوْنَةُ فِي الْفُرُوْعِ وَالْوَسَائِلِ.

“Konstan dalam hal prinsip dan tujuan dan lentur dalam persoalan cabang dan media atau sarana mencapai tujuan.”

6        Al-nuṣūṣ  fī al-mu`āmalah ijmāliyyatun-kulliyatun [7]

النُّصُوْصُ فِى الْمُعَامَلَةِ إِجْمَالِيَّةٌ – كُلِّيَّةٌ

Teks-teks yang mengatur persoalan mu`āmalah bersifat global-universal dan berupa prinsip-prinsip dasar. Kondisi seperti ini bukannya tanpa disengaja oleh Syāri` (pembuat syariat, Allah dan rasul-Nya). Syāri` sengaja memberi aturan demikian agar ajaran mu`āmalah dapat bergerak dinamis merespon aneka persoalan hukum yang terus berkembang di tengah masyarakat.

Salah satu hal yang terpenting dalam fiqh mu’âmalah adalah persoalan al-uqûd (transaksi). Jika fikih mu`āmalah mengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara umum, maka al-`uqūd (transaksi) mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonominya. Ulama kontemporer menyebutnya dengan “al-mu`āmalāt al-māliyyah”.


[1] Muḥammad Uṡman Syābīr. al-Mu`amālāh al-Mu`āṣirah, h. 16.

[2] Imam al-Syātibī, al-Muwāfaqāt, II, h. 520.

[3] Muhammad Uṡman Syabīr. h. 18.

[4] Ibid, h. 21.

[5] Ibid,  h. 24.

[6] Makna kaidah ini adalah “ketentuan yang mengatur al-maqāṣid bersifat konstan, sedangkan ketentuan hukum yang mengatur tata-cara atau wasīlah menuju al-maqāṣid bersifat lentur”. Dalam tataran teori hampir semua ulama sepakat atas kaidah ini. Namun dalam tataran pemahaman ketentuan hukum mana yang termasuk kategori al-maqāṣid dan mana yang al-wasā’il dan dalam ranah mana kaidah ini diterapkan, masih menjadi perbincangan serius dikalangan ulama, bahkan menimbulkan pro-kontra. Salat misalnya, apakah ia maqāṣid yang bersifat konstan ataukah ia adalah wasā’il yang elastis keberadaannya. (al-Mu`āmalāt al-Māliyyah al-Mu`āṣirah fī al-Fiqh al-Islā, h. 24).

[7] Abdul Waḥḥāb Khallāf, `Ilmu Uṣūl al-Fiqh, h. 30.

Tinggalkan Balasan