[Cerpen] Bersepaian Tanah

0
1060

Kala sang surya menyiramkan kilau merah saga ke segenap alam raya, saat itulah Wega merasakan betapa eloknya kekuasaan Tuhan yang mengadakan semuanya. Entah mimpi apa yang Wega endapkan hingga ia berfikir, “Sekiranya matahari senantiasa terlambat bangun seperti diriku tentu kiamat semakin terlihat nyata. Sekiranya tumbuhan terlambat mengolah hasil hembusan nafasku , tentu serasa tercekik aku di ruang terbuka. Sekiranya angin terlambat menyeka wajah dunia, entah bagaimana awan bisa menyemaikan hujan dengan rata”. Megahnya alam raya dengan segala keteraturannya tertuang dengan lembut dalam rekahan hatinya. Peti pikiranya terbuka dan ia merasa ringan untuk menjalani hari ini demi menuntaskan tugas akhirnya.

Ia yakin ia pasti tidak lagi terlambat untuk menanggalkan jas almamaternya di semester ini, tentu Wega menyadari jikalau ia ingin hengkang dari kampus mewahnya, keseriusan dibutuhkan dalam segala geraknya. Kegigihan untuk menyelesaikan kata demi kata dalam revisinya, membuka mata untuk beberapa waktu yang lama, demi melawan cahaya monitor yang terus menyorotinya, dan aktivitas lain yang membutuhkan tetes demi tetes keringatnya. Untuk kesekian kalinya ia harus duduk terengah-enggah setelah memacu motornya untuk mengejar tanda tangan dosen pengujinya. Wega memesan es sambil menatap ke arah jalan raya. Dari pandangannya tertangkap sesosok laki-laki berumuran setengahsenja yang sedang mencangkul lubang CCTV yang di pinggir jalan. Wega semakin penasaran dengan lelaki tadi lantaran warna kulitnya putih dan wajahnya bersih serta pakaiannya bagus, seolah bukan menunjukkan seorang kuli jalanan.

Bertepatan surutnya minuman yang sudah diminumnya terdengar lantunan adzan dari Masjid Al Hidayah yang terletak di gang 10 tersebut. Ia pun sekali lagi melihat pemandangan yang menarik di seberang jalan, Bapak berkulit putih yang bekerja tadi mengahiri gerakannya untuk mengayunkan cangkulnya. Ia pun bangkit lalu menghampiri satu demi satu kuli yang ada di sana, seolah mengajak mereka untuk menuju tempat mulia itu, Masjid Al Hidayah. Beberapa orang mengikuti langkah beliau menuju teras masjid. Wega pun turut menuju masjid sembari membuntutinya dari belakang denganmotornya.

“Pak..”. Wega tersenyum sambil mengangukkan kepala.

“Oh iya mas, mari saya mandi dulu”. Bapak berkulit putih itupun membalas senyuman Wega.

“Oh iya, silahkan Pak”.

Seiring mengalirnya waktu, sholat dhuhur pun berahir dan yang penasaran menunggu Bapak tadi untuk di luar diajak bincang-bincang. Dan beliaupun akhirnya keluar lalu langsung disambut oleh Wega.

“Maaf Pak saya Wega, lagi istirahat kerja ya Pak?”

“Iya mas, saya Bapak Firdaus”

“Sudah lama ya Pak, kerja menggali lubang begitu”

“Oh ndak juga mas, saya cuma ngisi liburan semester ini ja, ya sambil nyari ilmu”

“Loh berarti pekerjaan Bapak bukan penggali lubang sebenarnya?. Mencari ilmu bagaimana toh Pak?” Tanya Wega dengan penasaran.

“Ya tidak mas, saya mengajar sekaligus merangkap kepala sekolah dasar. Mas tau kan waktu menggali lubang CCTV itu juga harus masuk ke dalam tanah, di sanalah saya menimba ilmu tentang kematian. Sebenarnya pendapatannya tidak seberapa. Tapi ilmu yang saya dapat jauh sangat luar biasa. Ya dari pada saya menggali lubang tidak jelas di rumah, mending saya membantu menggali lubang sekaligus merasakan sedikit hikmah kematian”.

“Subhanallah, luar bisa Pak, jarang sekali saya melihat pejabat yang seperti Bapak. Saya masih banyak dosa Pak, jadi ngeri kalau mengingat mati itu”

“Biasa saja mas, saya juga awalnya ngeri kalau mengingat mati. Namun yang saya rasakanternyata sangat nikmat mas. Ketika mati kelak kita benar-benar berpindah dari keadaan yang luas menjadi sempit, yang ramai menjadi sepi, yang gerak menjadi diam, yang utuh menjadi remuk,  yang bersama-sama menjadi kesepian, yang terang jadi gulita, yang hangat jadi menggigil, yang wangi jadi busuk, yang cerewet jadi bisu, yang cantik jadi buruk, yang kaya jadi miskin, yang manis jadi hambar, yang tertawa bisa jadi menangis, yang berpangkat bisa jadi dihujat, yang kuat jadi lemah, yang bersih jadi jijik, dan yang nyata akan tinggal sejarah.” Begitulah Pak Firdaus merakit kata demi kata hingga air matanya menggantung di bawah kelopak beliau.

Terlihat wajah Wega tertegun dalam seribu hikmah, seolah ia menyelami galaksi dalam samudra cahaya. Ia bukan lagi mendengarkan kata-kata Pak Firdaus, melainkan mencecapnya dalam dada yang dipenuhi rasa. Imajinasinya semakin liar menjelajahi frasa demi frasa. Ia membayangkan betapa Pak Firdaus mengenal dengan jujur setiap apa yang ia ungkapkan dengan pemahaman beliau ketika menggali dalam tanah. Dalam pikiran Wega, Pak Firdaus pasti sudah merasakan sesaknya dalam tanah, risihnya berada di dalamnya, pengap udaranya, dan beliau sudah bisa mengambarkan kematian yang nanti menantinya. Mengambarkan berbaring beralaskan tanah, bertemankan cacing, dan berbaju putih tipis yang tidak sulit ditembus air dan hewan yang siap menyantapnya.

Sekali lagi Pak Firdaus menuangkan kata demi kata ke dalam dada Firdaus yang sudah basah dengan rasa tanah.

“Mas ketika tanah telah menyatu dengan kita, kita tidak lagi butuh aneka minuman yang berasa, warna-warni makanan yang menghiasi lidah, salep kecantikan yang ternama, laptop atau hand phone yang memukau mata, kendaraan yang mengkilap harganya, atau bahkan wanita-wanita yang menghamburkan magnet cintanya, kita kelak tidak butuh itu semua. Yang kita butuhkan hanya tiga saja. Tiga hal inilah yang benar-benar berlaku di alam sana. Yang pertama pastinya tingkah kita yang dengannya Allah ridho pada kita. Yang kedua ilmu-Nya yang kita tuangkan hingga bermanfaat bagi sesama. Dan yang terahir buah hati kita yang menjadi kekasih-Nya lalu mengalirkan doanya untuk kita.” Di akhir katanya Pak Firdaus mengatakan, “Mas kematian itu pasti menghampiri kita tanpa memandang jumlah usia kita, aktivitas kita, dan dimana saja tempatnya, maka mari kita siapkan bersama”.

Wega dengan terbatah-batah menggetarkan pita suaranya, “Baik Pak..”

Pak Firdaus tersenyum dan berpamitan pada Wega. Keduanya berpelukan erat layaknya hati yang saling memancarkan gravitasinya. Keduanya berpisah, Pak Firdaus kembali ke tempat mengasah hati dan pikirannya dalam tanah lalu Wega menuju tempat untuk mengembara dalam dunia maya.

Pada mulanya, Wega hanya ingin menyalin kajian yang disarankan dosen penguji untuk revisi tugas akhirnya. Namun entah kenapa seolah jari-jemarinya telah dikuasai oleh pikiran tentang akhir kehidupan. Ia pun menelusuri ruang dunia maya yang lalu menemukan deretan hadist yang membuatnya tertegun untuk ia selami. Ia pun segera mencetaknya dalam lembaran kertas untuk ia tunjukkan ke Pak Firdaus, boleh jadi beliau belum pernah membacanya.

Untuk Bapak Firdaus, semoga kita bisa saling mengingatkan akan eloknya mengingat mati. Saya lampirkan hadist berikut untuk kita renungkan bersama :

Imam Ahmad telah meriwayatkan, demikian juga Abû Dawud dan Hâkim, dari Barô’ bin ‘Âzib a ia berkata, “Suatu ketika kami keluar bersama Rosululloh  mengantarkan jenazah seorang lelaki dari Anshor. Begitu sampai di pemakaman dan belum sempat pembuatan lahad terselesaikan, Rosululloh duduk dan kami pun duduk di sekeliling beliau seolah-olah di atas kepala-kepala kami ada burung. Sementara itu di tangannya beliau memegang sebatang kayu untuk membuat titik di tanah. Sejurus kemudian, Rosululloh mengangkat kepalanya lalu bersabda, “Mintalah perlindungan kepada Alloh dari siksa kubur…” beliau mengucapkannya dua atau tiga kali. Setelah itu beliau bersabda,“Sesungguhnya seorang hamba yang beriman itu apabila telah meninggal dunia dan hendak menuju akhirat maka malaikat-malaikat langit turun kepadanya. Wajah mereka putih seperti matahari dengan membawa kain kafan dan hânût (minyak jenazah) dari surga. Lalu mereka duduk di dekatnya sejarak pandangan mata. Setelah itu datanglah Malaikat Maut duduk di dekat kepalanya, ia berkata, “Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan keridhoan Alloh.” Rosululloh melanjutkan, “Maka nyawanya pun keluar seperti aliran air yang keluar dari teko minum. Lalu Malaikat Maut mengambilnya. Jika ia sudah mengambilnya, ia tidak akan membiarkannya berada di tangannya sekejap mata pun sampai akhirnya diambil oleh malaikat-malaikat langit dan mereka letakkan roh itu di kafan dan hânût tadi. Dari sana keluar aroma paling wangi yang pernah ada di bumi. Kemudian mereka membawanya naik, tidaklah mereka melewati satu kumpulan malaikat melainkan mereka berkata, “Aroma wangi apakah ini?” Mereka menjawab, “Aroma Fulan bin Fulan.” Mereka menyebutnya dengan namanya yang terindah sewaktu di dunia. Hingga sampailah mereka di penghujung langit terbawah (langit dunia), lalu mereka meminta izin untuk dibukakan pintu untuknya dan dibukakan. Maka semua malaikat yang posisinya dekat dengan satu tingkatan langit ikut mengantarkannya hingga langit berikutnya hingga sampai di langit ke tujuh. Maka Alloh berfirman: “Tulislah catatan hamba-Ku ini di ‘Illiyyîn dan kembalikan dia ke bumi. Karena sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari bumi, di sana lah mereka akan Ku kembalikan dan dari sana pula lah mereka akan kubangkitkan untuk kedua kalinya.” Rosululloh melanjutkan, “Makanya nyawanya pun dikembalikan (ke jasadnya), dan datanglah dua malaikat, mereka berkata, “Siapa tuhanmu?” ia menjawab, “Tuhanku adalah Alloh.” “Apa agamamu?” ia berkata, “Agamaku Islâm.” Mereka berkata lagi, “Siapa lelaki yang diutus kepada kalian ini?” ia menjawab, “Dia adalah utusan Alloh n?” Mereka bertanya lagi, “Dari mana engkau mengetahui ilmunya?” ia menjawab, “Aku membaca kitab Alloh kemudian aku mengimani dan membenarkannya.” Maka berserulah penyeru dari langit, “Hamba-Ku benar, bentangkanlah hamparan dari surga untuknya, berikan pakaian surga untuknya, dan bukakan pintu menuju surga untuknya.” Maka datanglah seorang lelaki yang elok rupanya, indah pakaiannya dan harum aromanya. Lelaki itu berkata, “Terimalah kabar gembira yang akan menyenangkanmu, ini lah hari yang dulu dijanjikan kepadamu.” Ia bertanya, “Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan.” Lelaki itu menjawab, “Aku adalah amal sholehmu.” Ia berkata, “Robb, tegakkan hari kiamat. Robb, tegakkan hari kiamat.”

Rosululloh melanjutkan, “Adapun hamba yang kafir, apabila ia meninggalkan dunia dan akan menuju akhirat, turun kepadanya malaikat-malaikat langit yang hitam wajahnya. Mereka membawa kain mori kasar, lalu ia duduk di dekatnya sejarak mata memandang. Setelah itu datanglah Malaikat Maut hingga ia duduk di dekat kepalanya. Ia berkata, “Hai jiwa yang kotor, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Alloh.” Maka ruhnya tercerai berai dalam jasadnya lalu malaikat Maut mencabutnya seperti mencabut besi panas dari dalam wol yang basah. Lalu Malaikat Maut mengambilnya, ia tidak membiarkan nyawa itu ada di tangannya sekejap mata pun hingga akhirrnya para malaikat langit meletakkannya di dalam mori kasar tadi. Dan keluarlah dari sana aroma bangkai paling busuk yang pernah ada di muka bumi. Lalu para malaikat itu membawanya naik, tidaklah mereka melewati sekumpulan malaikat melainkan mereka berkata, “Aroma busuk apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah Fulan bin Fulan,” sembari menyebut nama terburuknya yang pernah dipanggil semasa di dunia, hingga akhirnya mereka tiba di langit dunia dan dimintakan izin untuk membuka pintunya namun tidak dibukakan untuknya. Setelah itu Rosululloh membaca ayat: “…sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum…” (Al-A‘rôf [8]: 40) Lalu Alloh berfirman, “Tulisan buku catatan amalnya pada Sijjîn pada bumi yang terbawah. Maka nyawanya pun dilempar sekali lempar. Setelah itu Rosululloh membaca ayat: “…. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Al-Hajj [22]: 31). Kemudian rohnya dikembalikan ke jasadnya, dan datanglah dua malaikat lalu mereka mendudukkannya. Mereka berkata, “Siapa tuhanmu?” Ia menjawab, “Haa…haa…aku tidak tahu.” Mereka bertanya lagi, “Apa agamamu?” ia menjawab, “Haa…haa…aku tidak tahu.” Mereka bertanya lagi, “Siapa lelaki ini yang diutus kepada kalian?” Ia tidak diberitahu siapa namanya, maka dikatakan kepadanya, “Muhammad?” Ia menjawab, “Haah…haah…aku tidak tahu.” Maka penyeru dari langit berseru, “Hambaku telah berdusta, bentangkanlah hamparan dari neraka untuknya, bukakan pintu neraka untuknya.” Maka datanglah hawa dan angin panas darinya dan kuburnya disempitkan hingga sendi-sendi tulangnya tercerai berai. Kemudian datanglah seorang lelaki yang berbaju jelek dan busuk baunya. Lelaki itu berkata, “Terimalah kabar yang membuatmu sedih, ini lah hari yang dulu dijanjikan kepadamu.” Ia berkata, “Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan.” Lelaki itu berkata, “Aku adalah amalan burukmu.” Maka ia berkata, “Robb, jangan tegakkan hari kiamat.”

Wega keluar melangkahkan kaki pada tempat Pak Firdaus kerja sekaligus membangun kesadaran jiwanya. Mendadak pada saat itu Wega tertegun melihat tempat beliau yang begitu ramai di kerumuni orang. Jalan-jalan menjadi macet, setiap mata yang melintas mengarahkan inderanya ke tempat yang akan Wega tuju.

Tidak lagi melangkah, ia mengayunkan kakinya untuk berlari dan masuk ke sela-sela kerumunan manusia. Ketika berada di cepitan-cepitan kerumunan Wega menangkap hingar binggar suara di sekelilingnya.

“Meninggal, dia sudah meninggal, terjepit pipa”.

“Subhanallah, bau galiannya harum”

Wega pun tak menghiraukan apa yang dikatakan mereka sampai Wega melihat apa yang terjadi di hadapannya. Sesosok tubuh yang terkulai lemah di angkat dari dalam galian, bibirnya merekah dan tersenyum bahagia. Baunya semerbak memenuhi udara dan menyejukkan dada. Senyum itu adalah milik Pak Firdaus, “inalillahi wainnalillahi rajiun”, Wega mengucapkannya dengan buliran air mata yang membasahi bibirnya. Kertas yang ada di tangan Wega terjatuh hingga angin menyahutnya dan melambungkannya. Sebelum isi kertas itu sampai ke pemahaman beliau, ternyata jasad beliau justru mengabarkan apa yang telah tertera dalam rangkaian hadist Rasulullah Saw.

***

Goresan peristiwa kala itu benar-benar mengendap dalam ukiran hatinya. Kini setiap detik waktu melintasi angka demi angka, Wega senantiasa menerawang setiap aktivitasnya dengan akhir kehidupan. Ia telah mengalirkan pemahaman dzikrul maut dalam setiap nadi aktivitasnya. Ia menyederhanakan untuk mengingat mati tanpa menggali lubang seperti gurunya yang telah mendahului. Ia cukup mengamati keringat asin tubuhnya adalah pengingat kematian dari bagian metabolismenya. Ia cukup memahami seberapa harum apa yang ia hirup sejenak pasti berevolusi menjadi simbol kematian yakni CO2 atau juga knalpot kita. Simbol kematian juga ia hirup kala segala kelezatan makanan bermetafora dalam feses kuning, hitam dan hijau yang tentunya menjijikan. Dalam segala kesegaran minuman juga ia pahami akan ikon kematian yang setelah melewati satu meter rongga tubuhnya berubah menjadi urine yang pasti ia ikhlaskan untuk dibuang. Tak berhenti begitu saja, Wega juga tampak mengenali kematian pada setiap kuku dan juga rambut yang panjang lalu menjadi bangkai ringan setelah tumbang oleh benda-benda tajam.

Metamorphosis Wega melesat cepat, secepat bumi mengarungi orbitnya. Kemalasannya seolah telah membeku dan nyala imanya semakin mengelorakan gemuruh dakwahnya. Hingga pada bulan yang mulia telah tiba ia laiknya melangkah di atas sajadah takwa.

***

Separuh bulan, terdengar kabar kematian anak muda saat pulang sholat Tarawih. Wega menghadap Rabb-nya. Dan tentu sejarah akan menunggu siapa yang berikutnya mengetuk tanah.

Oleh: Vera Kusuma Wardani, Sidoarjo Jawa Timur

Tinggalkan Balasan