PATUNG KEBANGGAAN nenek moyangku itu masih berdiri kokoh di tengah kota. Kota yang telah menjadi rumah moyangku sejak dulukala. Patung seorang perempuan. Aku mencium bau penindasan dari patung megah itu.
Aku menelusuri apartemen yang letaknya bersebelahan dengan universitas menuju rumahku. Kabarnya beberapa mahasiswa Asia sedang melaksanakan magang belajar di universitas itu. New York University. Aku ingin berbincang-bincang dengan mereka. Aku telah banyak mendengar perempuan Asia selalu mendapat tekanan dari keluarga mereka, bahkan dari negara yang mereka cintai.
Aku memiliki kebebasan untuk mengeruk informasi dari mereka. Dugaanku sedikit meleset. Kebanyakan perempuan Asia yang berasal dari Indonesia susah diajak berdiskusi tentang kebebasan, perjuangan, dan masa depan perempuan di negara mereka. Mereka hanya mengatakan bahwa pemahaman agama yang sempit dan tradisi keluarga telah berkarat dalam masyarakat Indonesia, hingga dewasa ini. Aku ingin lebih.
Meskipun aku bukan seorang warga Indonesia, aku peduli kepada nasib manusia. Mungkin bangsa kami memang ditakdirkan seperti itu. Mencampuri urusan bangsa lain. Atau lebih bijak jika dikatakan kami adalah keturunan bangsa unggulan. Kemajemukan bangsa kami lebih dari bangsa manapun. Di sini bisa ditemukan orang beraksen Rusia, China, dan Afrika. Seluruh bangsa ada di sini. Warna mata kami bermacam-macam, demikian juga warna kulit, dan rambut.
Suatu saat aku berpapasan dengan beberapa mahasiswi Indonesia di jalan masuk apartemen. Seorang diantaranya mengenakan penutup kepala. Aku seringkali muak melihat perempuan semacam itu. Terorisme mungkin telah membentuk pola pikirku.
“Hai, kalian dari Indonesia?” tanyaku sesopan mungkin.
“Ya, anda betul!”
Mereka sangat sopan dan ramah. Aku kenal Indonesia pertama kali karena keramahan penduduknya. Negeri kepulauan terbesar di dunia itu memiliki penduduk yang selalu tersenyum.
Tiba-tiba salah seorang diantaranya mengulurkan tangannya seraya menyebut nama. Mahasiswi berpakaian tertutup itu.
“I am Nurul!”
“Larry!” kataku singkat.
Aku menangkap cahaya cinta dari pancaran bola matanya. Wajahnya tampak berkharisma. Penuh kedamaian.
“Bagaimana nasib kaum perempuan di Indonesia? Kalian berbeda sama sekali dengan gambaran media massa!” kataku beberapa saat kemudian.
“Media massa di sini tidak mengenal kami. Makanya kami datang ke sini memperkenalkan kultur kami,” jawab Nurul antusias.
“Ya, anda terlalu negatif thinking!” kata yang lain.
Tidak mungkin media massa dan berita-berita di internet itu salah. Ada banyak bukti yang bisa dijadikan alasan kuat. Bukankah perempuan yang menghuni posisi strategis di Indonesia sangat sedikit? Bahkan penentangan terhadap presiden wanita menjadi bukti yang tidak bisa dibantah. Mereka menjadikan agama sebagai senjata menolak akses perempuan ke posisi-posisi strategis. Aku ingin pengakuan seperti itu.
Aku punya ide. Hari ini aku bertekad menjalin hubungan cinta dengan salah seorang diantara mereka. Aku akan berpura-pura mencintainya. Dengan cara itu salah seorang perempuan itu pasti mengaku. Membeberkan keadaan perempuan Indonesia yang serba tertekan.
Sore itu aku meminjam mobil ayah. Aku akan mendekati salah seorang diantara mereka, tetapi bukan anak ingusan bernama Nurul itu. Bagiku dia bukan sasaran yang tepat. Aku tidak tega membohonginya. Aneh juga bagiku.
“Brakhh!”
“Ukh!”
Sebuah sedan keparat melintas menyambar mobilku. Kulihat dua gadis cantik terkekeh-kekeh kepadaku seraya mengedipkan mata. Sedan itu melaju menelikung tikungan maut di depan. Sangat cepat. Agaknya kedua wanita liar itu sedang bereksperimen di sekitar apartemen ini.
“Dukhh!”
“He..heee!”
Sedan setan itu menerobos kerumunan pejalan kaki di trotoar. Beberapa orang terbanting mencium aspal. Aku menghentikan mobil.
“My God!”
“Are you Nurul?”
Salah seorang di antara mereka kukenal baik dari ciri khasnya. Dia memang Nurul. Dia hanya menatapku. Mulutnya tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Aku mengangkatnya ke atas mobil. Aku mengantarnya ke rumah sakit terdekat.
Aku menunggu hasil pemeriksaan dokter.
“Are you …” tanya seorang suster.
“I am Larry!” jawabku.
“Maksudku anda apanya gadis itu?”
“Aku pacarnya!”
“She is moslem!”
“Ya, tapi dia memang pacarku. Kenapa kalau dia…”
“Anda mau menikah dengan orang seperti itu?”
Suster ini agaknya juga berpikiran negatif terhadap perempuan Indonesia. Pikiran yang memang jarang ditemukan di selah-selah keramaian akademis. Tetapi ia akan muncul saat senggang. Di jalan-jalan gelap. Ketika tidak ada cahaya yang menyinari hati.
“You are Larry from High School of Missisipi!” katanya kemudian.
“Anda tahu?”
“Kamu seorang pemain basket terkenal di kota ini!”
Dia betul. Tetapi aku sudah lama mengundurkan diri demi perjuangan. Aku bergabung dalam organisasi pembebasan terhadap perempuan.
“Tuan Larry!”
Dokter memanggil. Aku masuk ruangan pemeriksaan.
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya!” kata dokter dengan mimik muka sedih. Tetapi kulihat mata cekungnya licik.
Aku melangkah ke luar dari ruangan berbau obat itu dalam kepedihan. Sebelum mencapai mobilku, aku melihat beberapa teman Nurul muncul. Dua orang polisi juga terlihat tergopoh-gopoh.
“Apa yang terjadi?” tanyaku kepada salah seorang suster yang melintas. Suster yang mengajakku bicara tadi.
“Dia teroris. Ditemukan bahan peledak di balik pakaiannya!”
“Hah!”
Tidak mungkin. Aku tidak percaya. Aku mengenal gadis dengan bola mata sejuk itu tidak berdosa. Mungkin sang dokter yang membunuhnya lalu meletakkan bahan peledak. Dia bekerjasama dengan pihak yang tidak menyenangi pendatang. Aku yakin.
Aku meluncur membelah keramaian kota. Menuju rumah. Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku rasanya menyukai Nurul. Hatiku berkata demikian. Aku heran juga!
Ketika aku melemparkan tubuh ke sofa, sebuah buku kecil meluncur dari sakuku. Diary harian. Salah satu bunyi diary itu membuat aku tertarik. Ditulis dalam bahasa yang rapi.
“Hari itu aku bertemu seorang lelaki Amerika yang mirip Rajabi. Tinggi dan kokoh. Rajabi pernah menyatakan cintanya padaku, tetapi aku menolak karena aku telah dijodohkan oleh orangtua. Aku mau melawan tapi takut durhaka. Aku hanya bisa pasrah menerima semua itu.”
Tanpa aku sadari Nurul menyelipkan buku kecil itu ke sakuku. Wajah penuh senyuman itu ternyata menyimpan duka. Duka kekejaman tradisi yang selama ini ingin kuhancurkan. Inilah pengakuan yang akan menjadi sumber inspirasiku membebaskan mereka. Masih ada jutaan Nurul yang terkungkung dalam penjara tradisi di mana-mana. Mereka tidak ada bedanya dengan patung-patung yang dibentuk oleh sang pematung bernama kebudayaan nenek moyang.