“Anna, kenapa kamu masih saja tidak mau melepas jilbabmu sayang? Bukannya Mama ingin mencampuri hak pribadimu, hanya… hanya Mama tidak tega.” Mama Anna menghisap segelas teh di tangannya kemudian memandang putrinya prihatin.
“Tidak perlu seperti itu Mama. Anna yakin saat ini bukan saat yang tepat untuk bertemu dengan jodoh Anna. Mama sendiri yang bilang, semua jauh lebih indah saat waktunya.” Anna menyunggingkan senyum di wajahnya membuat lesung pipinya semakin kelihatan.
Selalu itu yang mereka bahas kala keduanya duduk bersama. Mama Anna ingin putrinya itu melepas jilbab yang membalut mahkota terindahnya karena sampai usianya sekarang tak ada satu lelakipun yang mencoba melamar Anna. Desakan itu semakin kuat setelah Carrol, adik Anna telah menikah terlebih dulu. Mamanya yang seorang Indonesia menganggap hal ini adalah aib bagi putriya. Dan Anna selalu berusaha menolaknya sebaik mungkin. Entah sampai kapan karena desakan itu tak hanya datang dari mamanya tapi juga keluarga yang lain.
“Hello… Anna, ini Prancis. Dan lelaki sini tak ada yang menyukai perempuan berjilbab,” sahut Dann, adik lelaki Anna. “Akupun tak akan mau dengan wanita seperti itu. Terlihat kolot,” lanjutnya kemudian duduk di samping Anna.
“Tak ada perkecualian dalam melaksanakan perintah Tuhan di belahan bumi manapun,” jawab Anna santai.
“Aku menyerah bicara denganmu.” Dann mengibaskan tangannya.
Di antara jeda pembicaraan mereka tiba-tiba ponsel Anna bergetar keras ingin segera diangkat. “Sebentar,” kata Anna kemudian berjalan agak menjauh.
“Bonjour[1]… Oh, bien[2]. Kamu?… Syukurlah… Tidak, aku tidak ada jam kuliah hari ini… Apa? Bertemu?… Dimana… Baiklah. Tunggu! Aku akan segera ke sana.” Anna menutup ponselnya kemudian bergegas masuk ke kamarnya.
Tak kurang dari lima menit gadis campuran Indonesia-Prancis itu keluar dengan dandanan begitu rapi dan tentu saja cantik.
“Hei! Siapa yang berhasil membuatmu seperti orang kerasukan begitu?” goda Dann.
“Apa maksudmu?” Anna memandang adiknya tajam.
“Baru lima menit yang lalu kau masuk kamar dan sekarang kau sudah keluar dengan dandanan sangat rapi. Tunggu! Kau akan menemui teman lelakimu? Kau sudah punya pacar? Ya Tuhan, ternyata ada lelaki Prancis yang menyukai gadis berjilbab. Syukurlah.” Dann mengelus-elus dadanya.
Anna sudah berdiri di samping adiknya kemudian dia mengangkat tas kecilnya dan braaaakkk! Dann mengusap-usap pipinya yang memerah sambil merintih kesakitan. “Kau benar-benar kerasukan!” kata Dann.
“Semoga yang kau katakan benar.” Mama Anna menutup buku yang dipegangnya sambil memerhatikan kepergian Anna.
“Apa?! Mama ingin dia benar-benar kerasukan?” mata Dann melebar.
Kali ini Dann harus mengelus-elus kedua pipinya karena baru saja sebuah buku mendarat di sebelah pipinya yang lain.
***
Anna akan menemui Adrien, teman seorganisasinya. Mereka terlibat dalam kegiatan penggalangan dana untuk korban bencana yang diadakan oleh organisasi mereka.
“Baru saja aku membuat draft acara nanti tapi tentu aku perlu pendapatmu.” Adrien memberikan selembar kertas ke Anna.
“Mmm bagus tapi kurasa kita harus meminta persetujuan Jane juga. Tak ada yang meragukan kebrilianan ide-idenya,” kata Anna.
“Baiklah. Nanti aku akan menghubunginya.” Adrien meminum kopi hangat di depannya.
Selama beberapa menit tak ada pembicaraan di antara mereka. Masing-masing sibuk meracik kata-kata agar keheningan itu segera berakhir.
“Anna…” Adrien memecah kesunyian.
“Ya,” jawab Anna sedikit gugup.
“Aku… sebenarnya ada yang ingin kukatakan.” Adrien menghentikan perkataannya dan mengambil udara sebanyak yang ia mampu kemudian menghembuskannya panjang. “Aku sebenarnya menyukaimu. Baiklah mungkin aku kelihatan bodoh tapi jujur aku tak ingin menjadi lelaki pencundang. Dan entahlah, apa dengan mengatakan begini akan membuat dadaku sedikit lega atau malah sebaliknya. Ah bodoh! Apa yang baru saja kukatakan.” Adrien begitu salah tingkah.
“Tidak ada yang salah dengan perasaanmu, Adrien. Aku bisa membalas perasaanmu.” Anna memaksa detak jantungnya untuk tetap tenang meski rona merah itu tak dapat ia sembunyikan dari wajahnya. Karena memang sejak lama Anna menyembunyikan ‘virus merah jambunya’ ke Adrien.
***
“Mama… Mama… ini sangat mengejutkan. Berita heboh Ma!” Dann keluar dari kamar Anna dan berlari ke dapur menghampiri mamanya.
“Hentikan Dann! Kau bisa membuat tetangga bangun,” kata mamanya ketus.
“Biarlah mereka terbangun sekalian aku akan memberitahu mereka bahwa Anna, kakakku yang kemana-mana selalu membawa kain di kepalanya itu kini sudah mempunyai pacar. Namanya… Andrean, Andre, ah bukan. Akan kulihat dulu.” Dann membuka ponsel Anna.
Sebelum Dann berhasil membukanya, Anna sudah secepat kilat menyambar benda kecil itu.
“Apa yang kau lakukan?” teriak Anna.
“Sayang, benar apa yang dikatakan adikmu?” tanya mama Anna penuh harap.
Tak ada jawaban dari Anna. Lidahnya terlalu malu untuk menjawabnya.
“I… iya Ma, dia seorang muslim,” jawab Anna pada akhirnya.
“Ya Tuhan! Aku harus menelepon papamu. Mungkin nenekmu di Indonesia juga perlu tahu. Ah tidak itu saja, paman, bibi dan sepupumu juga perlu tahu. Carrol, ya dia adalah orang pertama yang harus kuberitahu.” Mama Anna mengangkat gagang telepon di meja dan menekan beberapa tombolnya.
“Mama, jangan seperti itu. Ma, hentikan!”
Tak ada yang bisa menghalangi kemauan mama Anna. Terlihat di sana dia sudah berbicara dengan beberapa orang di telepon.
***
Anna baru saja selesai menyelesaikan shalatnya. Matanya begitu lengket karena dia lembur sampai jam 2 dini hari untuk mempersiapkan acara penggalangan dana siang nanti. Tiba-tiba ponselnya bergetar keras.
“Adrien, kau telepon pagi-pagi sekali. Apa kau ingin menanyakan acara siang nanti?” Anna menempelkan ponsel di telinga dan mengapitnya dengan bahu sementara kedua tangannya merapikan tempat shalatnya.
“Ya itu salah satunya. Tapi ada hal lain yang lebih penting.”
“Lebih penting? Apa itu?” Anna menyipitkan kedua matanya.
“Aku sudah mengenalkanmu pada orangtuaku. Dan mereka menyukaimu. Tapi…”
Anna bisa mendengar lelaki itu tengah mengambil napas sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya berat.
“Tapi mereka ingin kau melepas jilbabmu jika telah menjadi istriku,” lanjut Adrien.
“Apa? Tidak Adrien. Tidak!” Anna menggeleng cepat.
“Maka hubungan kita tidak akan disetujui, Anna. Akupun lebih suka kau tidak berjilbab,” Adrien menjelaskan.
“Maaf Adrien. Sungguh, aku tidak bisa.” Anna langsung menutup ponselnya. Ia tak tahan untuk segera mengeluarkan cairan bening dari matanya. Sebuah kesalahankah berjilbab itu?
***
Sama dengan bunuh diri jika Anna bercerita kepada mamanya tentang permintaan keluarga Adrien.
“Assalamu’alaikum Nek…,” Anna menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
“Waalaikumsalam Anna. Kemarin mamamu menelepon, dia…”
Belum selesai neneknya bicara, Anna sudah menyela. “Ya, Anna tahu.” Anna memejamkan matanya sebentar. “Tapi kami sudah tidak bersama lagi,” kata Anna pelan.
Anna bercerita panjang lebar kepada neneknya.
“Apa Anna harus menuruti permintaan Mama?”
“Kau sudah dewasa Anna. Kau tahu mana yang baik dan yang buruk untuk dirimu. Pikirkan baik-baik apa dampak dari keputusan yang kau ambil, sayang,” ucap neneknya.
Otak Anna terlalu kacau untuk berpikir sekarang. Kata-kata mamanya berseliweran tak karuan di pikirannya. Benarkah jilbab ini membuat tak ada lelaki yang menyukaiku?
***
“Bonjour, Anna. Kau akan…” Mama Anna menghentikan kata-katanya begitu melihat putrinya sudah berdandan rapi dan tanpa penutup kepala.
“Kau akan kuliah?” mama Anna melanjutkan pertanyaannya.
Anna mengangguk.
“Dengan baju maksudku penampilan seperti itu?” Kening mama Anna berkerut dalam.
Anna kembali mengangguk.
“Mana jilbabmu?” Mama Anna memusatkan perhatiannya ke rambut Anna yang dibiarkan terbuka.
“Anna berangkat dulu, Ma.” Anna mencium kedua pipi mamanya dan melangkah pergi. Tiba-tiba Anna memutar badannya dan berkata, “Bukankah ini keinginan Mama?”
Wanita paruh baya itu masih tak mengedipkan matanya. Banyak pertanyaan yang ingin ia keluarkan kepada putrinya itu tapi tak ada satupun yang berhasil ia ucapkan.
“Tapi Mama sudah tak keberatan kau memakai jilbab,” teriak mama Anna.
Tentu saja Anna tak mendengar apa yang dikatakan mamanya karena ia sudah melaju dengan sedan putihnya.
***
Saat di kelas tadi Anna sedikit mendapat gangguan dari mamanya. Mamanya menyebut bahan-bahan yang harus Anna beli saat pulang nanti di telepon. Anna sempat meminta untuk mengirimnya lewat pesan singkat tapi mamanya beralasan takut Anna lupa. Jadilah Anna menunda mengistirahatkan tubuhnya karena ia harus ke supermarket terlebih dulu.
“Anna…” Seorang perempuan berwajah Asia mendekati Anna yang sedang sibuk mencoreti bahan-bahan yang sudah diambil.
“Astrid, Comment allez-vous[3]?” Anna memeluk wanita itu.
“Baik,” jawab Astrid masih penuh keheranan.
Astrid adalah mahasiswa asal Indonesia tapi berbeda universitas dengan Anna. Kegiatan keagamaan yang diikuti keduanya merupakan penyebab mereka menjadi teman baik.
“Kau juga akan belanja di sini?” tanya Anna.
Astrid hanya menggangguk. Dia seperti orang yang kehabisan kata-kata.
“Kita bisa belanja bersama. Ayo!” Anna menarik trolleynya.
Merasa terus diperhatikan oleh Astrid, Anna menoleh dan berkata, “Ada apa Astrid?”
“Dimana jilbabmu?” Astrid memandangi kepala Anna yang tanpa penutup.
Anna hanya tersenyum tipis. “Bukankah menaati orangtua juga perintah agama?” katanya sambil mengambil sekotak keju di depannya.
Astrid tahu masalah Anna selama ini. Ia juga tahu bagaimana kuatnya usaha Anna menolak permintaan mamanya.
“Kau yang bilang Anna bahwa tidak ada kata tapi dalam ketaatan.” Astrid mendekat ke arah Anna. “Anna, kenapa tiba-tiba kau menyerah?” Astrid memandang Anna prihatin.
“Aku tidak menyerah, Astrid. Aku hanya ingin membuat mamaku bahagia. Apa itu salah?” Anna menarik trolleynya dan meninggalkan Astrid.
***
Anna membanting pintu mobilnya. Ada beberapa hal yang membuatnya kesal hari ini. Pertama, waktu istirahatnya terpaksa ditunda karena ia harus mampir ke supermarket, kedua, tentu saja sikap Astrid tadi itu.
“Tidak bisakah orang-orang ini tidak mencampuri kehidupanku?” Anna berkata kesal pada dirinya sendiri.
“Mademoiselle[4], bisa kau membantuku?” Seorang gadis kecil menghadang jalan Anna.
Melihat wajah imut gadis itu Anna tak bisa menolaknya. “Apa yang bisa kulakukan untukmu gadis cantik?” Anna menaruh barang belanjaannya dan menumpukan kedua lututnya di tanah.
Gadis itu menunjuk ke kerudung putih di kepalanya. “Bisa kau merapikannya? Angin keras tadi membuatnya bengkok ke kanan dan ke kiri,” kata gadis itu polos.
Anna tersenyum melihatnya. “Siapa namamu?” tanya Anna.
“Diana.”
“Beau nom[5]. Kau suka memakainya?” kata Anna sambil merapikan kerudung gadis itu.
“Bien sûr. Je suis un musulman[6],” kata gadis itu dengan menaruh tangan di dada.
Sejenak Anna terdiam. Ia merasa… malu.
Tangan Diana menyentuh rambut panjang Anna. “Kau juga akan sepertiku jika kau seorang muslim.”
“Oh Mademoiselle, Merci beaucoup.[7]” Gadis kecil itu segera berlari setelah merasa kerudungnya sudah cukup rapi.
“Diana…,” Anna memanggil gadis itu.
Diana memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Anna.
“Kita sama. Aku juga seorang muslim,” kata Anna sambil meletakkan kedua tangannya di dada.
***
Astrid, apa yang harus aku lakukan?
Anna mengirim sebuah pesan ke Astrid. Beberapa menit kemudian ponsel Anna berbunyi sebentar namun keras.
Seorang muslim yang baik akan membuktikan bahwa dirinya benar-benar muslim. Anna, aku yakin kau tahu yang terbaik.
Anna memejamkan matanya, mengajak otaknya berpikir sejernih mungkin dan mencoba mengkompromikannya dengan suara hati.
“Ma, apa kau melihat ada yang salah denganku?” Anna mendekati mamanya yang sedang mempersiapkan makan malam mereka.
“Mama tidak mengerti apa maksudmu, Anna. Lebih baik kau ikut Mama ke dapur dan bantu Mama,” kata mama Anna sambil berlalu ke dapur.
“Dann…,” Anna menoleh ke arah adiknya.
“Dia sudah tidak mempermasalahkan kain yang kau pakai di kepalamu itu lagi karena kau akan segera dijodohkan dengan seorang pengusaha kaya raya yang mau menerimamu apa adanya. Dia teman Papa,” jelas Dann.
Anna mengerutkan keningnya dalam.
“Informasi lebih lanjut hubungi Mama,” seringai Dann. “Tapi omong-omong, Mama bilang kemarin kau lupa tak memakai jilbab ketika keluar rumah. Saat itu kurasa itu awal yang baik untuk kau segera mendapat jodoh,” lanjutnya.
Anna menggeleng sambil meletakkan tangan di dadanya. “Je suis un musulman.”
***
Oleh: Riska Ayu Purnama Sari, Malang Jatim