Suara dering panggilan masuk terdengar dari handphoneku. Segera aku berlari dari dapur menuju ruang tamu. Cucian piring yang sedang aku genggam segera aku letakkan. Cepat-cepat aku bilas tangan yang penuh dengan busa sabun.
“Halo… Assalamu’allaikum, Hasna”. Salamnya mengawali pembicaraan.
“Wa’allaikumussalam Zahra”. Jawabku.
“Afwan, kemarin anti (kamu) dapat informasi tidak kalau hari ini kita akan kumpul di rumah ana (saya)?” Tanyanya padaku.
“Iya, Zahra, aku mendapatkan informasi tersebut.” Jawabku.
“Bagaimana? Hari ini anti bisa ikut dengan kita?”.
“Tapi,aku belum menyelesaikan pekerjaan rumah.”
“Dokter Rahman dan kami semua menunggumu. Tolong di usahakan untuk bisa hadir yak karena dari akhwatnya saat ini kekurangan tenaga medis”. Jelas Zahra kepadaku.
“Ya sudah,insya Allah aku akan datang kesana secepatnya. Tapi aku selesaikan dulu ya pekerjaanku.” Pintaku.
“Iya silakan. Jangan lama-lama ya Hasna. Perjalanan kita untuk kegiatan minggu ini sangat jauh.”
“Iya insya Allah aku akan secepatnya menyelesaikan pekerjaanku dan segera datang ke rumahmu.”
Setiap awal bulan ada kegiatan yang kami selenggarakan bersama teman-teman anggota Rohis SMA untuk kegiatan bakti sosial di setiap daerah terpencil di kotaku. Hari ini adalah bakti social kami yang pertama. Sebenarnya aku malas sekali hari ini untuk keluar rumah. Pekerjaan di rumah banyak yang belum aku selesaikan pada hari minggu pagi itu. Dengan setengah hati aku segera menyelesaikan cucian piring yang tadi sempat tertunda. Setelah itu aku bersiap-siap untuk pergi ke rumah Zahra.
Tepat jam 5.30 aku segera berangkat. Kesal dalam hatiku menunggu angkutan umum yang tidak lekas muncul dan berhenti di depanku. Sekitar lima belas menit kemudian barulah ada angkutan yang berhenti di hadapanku.
Sesampainya aku di rumah Zahra. Ku temui dokter Rahman. Dokter rahman memberikan tugas ke padaku untuk bagian tes darah untuk penyakit asam urat,glukosa dan kolestrol. Setelah semua perlengkapan selesai di kemasi mulai dari alat-alat medis,obat-obatan dan perlengkapan lainnya. Segera kami berangkat dengan mobil yang telah di siapkan sebelumnya.
Aku sangat kaget ketika medan yang kami tempuh nemar-benar jauh dari perkotaan. Saat itu kepalaku sangat pusing. Tubuhku lemas. Karena sebelum berangkat aku belum sarapan. Seluruh tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Sesekali hembusan angin yang masuk melalui jendela mobil menyentuh kulitku. Ada rasa dingin yang teramat sangat saat itu. Ingin aku mutah tapi sebisa mungkin aku tahan.
“Na,hasna. Engkau kenapa? Mukamu sangat pucat sekali dan tanganmu dingin”. Tanya Zahra sambil memegang tanganku.
“Aku belum sarapan Azra. Entah tubuhku tiba-tiba seperti ini”. Jawabku.
“Yah,,masa tim medis seperti ini saja sudah sakit sakitan?”. Timpal Ramdan padaku dengan nada mengejeknya.
“Huh,kenapa sih dia selalu bersikap seperti itu padaku? Mungkin karena kejadian waktu itu yang membuatnya kesal padaku. Saat ia salah dalam pembuatan proposal kegiatan untuk khitanan masal yang kami adakan di sekolah. Aku marah padanya. Coba bayangkan membuat proposal halaman depanya di fotocopy. Memangnya ia kira proposal itu seperti mainan apa ya dalam membuatnya? Asal jadi.” Gumamku dalam hati.
“Sudah,sudah kalian berdua ini. Tidak di sekolah ataupun saat seperti ini selalu saja ribut. Aku sempat membawa makan sebelum berangkat engkau makan ya sekarang.” Tawar Zahra kepadaku sambil memberikan kotak nasinya”.
“Terimakasih Zahra”. Ucapku
“Iya sama-sama Hasna”.
“Ingat nasinya jangan langsung di makan semuanya”. Suara Ramdan dari depan mobil saat aku sedang mengunyah makanan
Aku langsung tersedak ketika mendengarnya. Teman-teman yang lainnya memarahi Ramdan saat itu.
Tiba-tiba mobil yang kami tumpangi berhenti. Pak Dahlan yang sedang menyetir di depan terlihat kewalahan saat akan melsjuksn mobilnya. Jalan pertama yang kami lalui memang benar-benar menanjak. Sulit untuk di lalui. Jalanya tidak beraspal. Masih berbatu dan terkadang kami melewati denangan air yang penuh dengan lumpur. Setelah kurang lebih sepuluh kali Pak Dahlan mencoba untuk melewatii tanjakan tersebut namun tetap tidak bisa juga. Aku sangat ketakutan saat itu. Ketika Pak dahlan memundurkan mobil. Di samping tanjakan tersebut terdapat jurang.
“Zahra,aku takut”. Ujarku pada Zahra
“Paling kalau mobil ini jatuhpun Hasna yang akan duluan kena di belakang.” Ucap Ramdan.
“Huss diam kamu Ramdan. Kalau bicara jangan sembarangan. Tidak lihat apa sedang situasi seperti ini. Kalau mau bercanda lihat-lihat.”. Timpal Andri sambil memukul pelan bahunya dengan buku yang sedang di bacanya.
“Iya deh maaf,maaf”. Kata Ramdan.
Sekali lagi Pak Dahlan mencoba untuk menjalankan mobilnya agar bisa melewati tanjakan tersebut. Tapi hasinya nihil. Tiba-tiba ada trug di belakang mobil kami. Terlihat dari trug tersebut potongan batang-batang kayu. Sopir yang mengendarainya berhenti dan menghampiri mobil kami.
“Kenapa Pak?”. Tanya Sopir yang membawa muatan potongan batang-batang kayu tersebut.
“Ini pak,saya kesulitan melewati tanjakan ini.” Jelas Pak Dahlan.
“Boleh saya bantu?”.
“Boleh pak silakan”. Jawab Pak Dahlan. Kemudian Pak Dahlan turun dari mobilnya.
Suara mesin mobil terdengar seperti meraung-raung saat akan melalui tanjakan yang penuh dengan batu-batu dan sangat terjal tersebut. Satu sampai dua kali mobil kami tetap tidak bisa melewatinya. Setelah ketiga kalinya barulah mobil kami bisa melewati tanjakan tersebut. Dari dalam mobil terdengar ucapan terimakasih dari Pak Dahlan kepada supir trug tersebut.
Aku mengira bahwa kami akan segera sampai. Namun ternyata perjalanan kami masih sangat jauh. Sekarang giliran jalan yang penuh dengan lumpur dan berkelok-kelok yang kami lalui setelah itu kami melalui jalan yang menujam turun. Dalam benakku kapan aku akan segera sampai saat itu.
Tiga puluh menit kemudian kami sampai di tempat tujuan. Aku istirahat sebentar di depan rumah warga tersebut. Sedangkan teman-teman yang lainnya berlalu lalang di hadapanku untuk menyiapkan segala keperluan yang di butuhkan.
***
Pukul 15.00 kami sudah selesai dalam acara bakti sosial kali ini. Hari ini langkah kaki ku hanya setengah hati saat akan mengikuti acara tersebut. Namun ada suatu hal yang membuatku malu ketika mendengar cerita dari istri dokter Rahman setelah kami usai shalat Ashar di mesjid terdekat. Aku memanggilnya dengan sapaan ummi Irma. Secara sepontan aku berkata padanya.
“Ummi,kalau orang yang sedang hamil lalu melawati desa ini sepertinya akan melahirkan di tempat ini ya ummi hehe”. Candaku pada ummi Irma.
“Ah Hasna bicara seperti itu kata siapa?”. Tanya ummi Irma.
“Pekiraan Hasna saja ummi hehe”. Jawabku sekenanya.
“Buktinya Ummi Irma tidak melahirkan di sini Hasna.” Ucap ummi Irma.
“Subhanallah ummi Irma sedang mengandung kah sekarang? Sudah berapa bulan ummi?”. Tanyaku pada beliau. Memang aku baru mengenalnya dan saat berangkat tadi tidak bersama-sama satu mobil dengannya. Selain itu pakaian jilbab besarnya membuat ia tidak terlihat sedang hamil.
“Alhamdulillah sudah tujuh bulan.” Jawab ummi.
“Ummi boleh bertanya?”.
“Boleh Hasna”. Jawab Ummi dengan lembut.
“Mengapa ummi ikut bersama kami dalam keadaan hamil. Padahal jika ummi tidak ikut membantu kami pun tidak apa-apa. Ummi tidak takut akan terjadi apa-apa dengan kandungan ummi?”. Tanyaku dengan heran.
“Hasna shalihah. Allah Yang akan melindungi ummi dan bayi ini. Jalan Dakwah itu tidak selamanya lurus. Ada kalanya banyak rintangan yang akan di laluinya. Ada kalanya banyak halangan yang sedang di hadapinya. Namun janganlah semua itu membuat kita meninggalkan jalan Dakwah ini. Bakti sosial ini bagi ummi sama halnya dengan berdakwah. Ketika kita membatu sesama saat orang lain kesulitan itu termasuk jalan dakwah bagi ummi”. Jelas ummi Irma panjang lebar.
Senyum ku pada ummi memberikan simbol ke fahamanku akan apa yang ummi Irma sampaikan. Aku jadi teringat dengan kisah Asma’ Binti Abu Bakar.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat berhijrah ke Madinah, kaum Quraisy mengintai dan mengikuti semua gerak-gerik beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sejarah mencatat langkah-langkah Rasulullah dan shahabatnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, tatkala meninggalkan Makkah untuk menyongsong masa depan dakwah Islam yang cemerlang,yang tampak jelas di pelupuk mata keduanya.
Perjalanan hijrah tersebut penuh dengan bantuan dan pertolongan Allah. Dalam peristiwa yang sangat menegangkan itu, tidak ada seorang pun di kota Makkah yang mengetahui keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali seorang laki-laki yaitu Ali Radhiallahu ‘Anhu, dan seorang perempuan yaitu Asma’ binti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Diceritakan bahwa orang-orang Quraisy berhasil mengetahui hal itu. Karenanya, Abu Jahal bergegas mendatangi rumah Asma’ dan menggedor pintunya. Meskipun dalam kondisi hamil, tanpa rasa takut sedikitpun, Asma membuka pintu di hadapan musuh Allah yang sedang dikuasai nafsu amarahnya.Dengan kasar, Abu Jahal memaksa Asma’ untuk membocorkan tempat persembunyian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi, dengan keimanan yang membaja, Asma’ menolak permintaan Abu Jahal itu. Sehingga kemarahan Abu Jahal tak terkendalikan lagi. Dia lalu memukul dan menampar wanita mulia tersebut.
Asma’, sang pemberani, tak bergeming sedikitpun oleh tamparan orang yang begitu ingkar kepada Allah. Sehingga Abu Jahal terpaksa berlalu tanpa mendapat informasi sedikitpun tentang persembunyian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Wanita mulia ini mendapat tugas mengantar bekal dan makanan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Untuk menyelesaikan tugas ini, beliau rela berjalan kaki di atas pasir yang panas, atau di tengah kegelapan malam yang kelam. Walau, kadangkala, rasa takut tiba-tiba menyerangnya. Kekuatan iman telah mendorongnya, sebagaimana cahaya kenabian selalu menerangi jalanya.Terpampang di pelupuk mata wanita ini, munculnya cahaya Islam dan tegaknya sebuah negara yang penuh dengan iman, kebajikan dan cahaya kebenaran. Kekuatan iman telah memangkas habis semua rasa takut yang membayangi wanita ini. Bagaimana tidak, tidakkah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajari para shahabatnya dengan sabdanya, “Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman. Pertama, Allah dan RasulNya lebih dia cintai dari segala-galanya. Kedua, memiliki rasa cinta dan benci karena Allah semata. Ketiga, seandainya ada api yang berkobar-kobar kemudian dia dilempar ke dalamnya itu lebih disukai daripada menyekutukan Allah dengan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Iman 16; Muslim, Iman 43; Nasai, Iman dan Syariatnya 4987; redaksi milik Nasai)
Suara Zahra menyudahi pembicaraan kami saat itu. Kami segera berjalan menuju mobil yang sudah siap menunggu kami untuk kembali pulang. Itulah pelajaran yang aku dapat Sore itu dari ummi Irma. Sebenarnya aku malu dengan langkah kakiku menuju tempat ini yang hanya setengah hati. Tapi setelah mendengar pernyataan dari ummi Irma semangatku kembali berkobar. Ku niatkan dalam hati bahwa aku akan berjalan bersama dakwah ini dengan apapun keadaanku.
Oleh: Eki Arti Santia, Sukabumi Jawa Barat