[Cerpen] Lima Hadiah Untuk Aisyah

0
1375

“Bunda, bulan depan ulang tahun Raka, kan?” tanya anakku tiba-tiba, di tengah makan malam kami hari ini.

“Iya, sayang. Kenapa memangnya? Raka mau minta hadiah apa?” tanyaku sambil membelai kepalanya perlahan. Suamiku pun ikut memandanginya.

“Minggu depan ulang tahun Yovan, Bun. Dirayain di Mc Donald. Kita semua satu sekolah diundang.” Bukannya menjawab pertanyaanku, Raka malah bercerita tentang rencana pesta ulang tahun temannya. Rasanya aku dan suamiku memiliki pikiran yang sama, karena kami langsung berpandangan setelah mendengar ucapan buah hati kami. Aku berfikir mungkin Raka juga ingin pesta ulang tahunnya dirayakan. Raka yang masih berumur 5 tahun, mungkin bersikap seperti anak-anak kebanyakan yang selalu ingin melakukan hal yang sama dengan temannya, bahkan kalau bisa melebihi temannya tersebut.

“Terus?” Kini ganti suamiku yang bertanya kepada Raka.

“Menurut ayah sama bunda, ulang tahunku juga perlu dirayain, gak?” Raka malah ganti bertanya kepada kami. Menurutku ini pertanyaan yang sulit dijawab. Bukannya tidak ingin merayakan pesta untuk anak pertama kami, tetapi sejak awal aku dan suamiku sudah berkomitmen untuk menerapkan gaya hidup sederhana kepada anak-anak kami nantinya. Dan menurut kami, salah satu caranya adalah dengan tidak harus mengadakan pesta yang mewah di setiap perayaan ulang tahun.

Belum sempat kami menjawab, terdengar dering telepon dari ruang tengah. Raka segera turun dari kursinya dan berlari untuk mengangkatnya. Itu adalah telepon dari ibu mertuaku, yang berarti juga nenek Raka. Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa beliau pasti menelepon ke rumah kami seminggu sekali, tiap hari Jumat malam. Raka semangat sekali menerima telepon dari neneknya, karena dengan begitu ia bisa bercerita segala hal yang dilakukannya dalam seminggu ini dan ibu mertuaku akan dengan senang hati mendengarkan dan menanggapinya.

Malam itu, kami tidak memberikan jawaban karena Raka sudah lupa akan pertanyaannya. Gantian aku yang termangu di sofa saat ini. Mendengar kata pesta ulang tahun, mengingatkanku akan masa remajaku dulu. Masa dimana aku bisa berubah menjadi jauh lebih baik saat ini, dan mengingatkanku pula bagaimana pertemuanku dengan sang suami.

@@@@@@@@@@

            Namaku Aisyah. Nama yang sangat indah, menurut orangtuaku. Aku tahu itu karena mereka ingin aku menjadi seperti istri Rasulullah yang bernama Aisyah. Pribadi yang cantik dan cerdas, juga baik perilakunya. Doa mereka pada namaku sebagian terkabul, karena aku tumbuh menjadi gadis yang cantik juga cerdas. Sayang aku tidak berperilaku baik. Dibesarkan di keluarga yang sangat berada dan aku sangat tahu diri dengan kekayaan keluargaku. Maka aku tidak segan menghamburkan uang di sana-sini untuk membeli barang-barang yang kebanyakan tidak penting.

Tiap liburan jalan-jalan ke luar negeri. Selalu membeli barang-barang bermerek. Aku tidak pernah naik motor, karena dari kecil mobil plus supirnya yang senantiasa mengantarku. Dan tak lupa, pesta ulang tahun yang selalu dirayakan dengan mewah. Tiap tahun pasti dirayakan. Entah itu di rumah, di hotel, di food court mahal, bahkan di restoran sekalipun.

Aku masih ingat sekali bagaimana semua itu bermula. Dua bulan sebelum aku berusia 17 tahun, keluargaku mendapat tetangga baru. Sebuah rumah yang cukup besar tepat di depan rumahku, awalnya tidak berpenghuni. Namun seminggu setelah kepulanganku dari liburan ke Paris, tiba-tiba saja sudah ada penghuni di rumah itu. Aku tidak terlalu kenal dengan tetangga baru tersebut. Yang aku tahu, di sana tinggal sebuah keluarga dengan anak tunggal berjenis kelamin laki-laki. Beramah tamah dengan tetangga baru bukan kebiasaan bagiku, maka aku tidak mengindahkan mereka. Apalagi aku sedang disibukkan dengan persiapan pesta ulang tahunku yang ke-17 kala itu.

Tanggal 5 bulan Maret. Hari itu akhirnya tiba. Malam itu aku merayakan ulang tahun dengan tema Garden Party. Sebuah pesta mewah yang diadakan di taman belakang ruahku. Sweet seventeen party, pesta ulang tahun pada usiaku yang ke-17, sebuah usia yang menurut sebagian remaja masih dianggap sebagai usia penting. Usia dimana kamu sudah mlai menjadi remaja yang beranjak dewasa, dimana kamu sudah bisa punya KTP dan boleh mengendarai mobilmu sendiri tanpa supir, jika sudah punya SIM pastinya.

Pesta itu berlalu dengan begitu meriah. Pukul sebelas para tamu sudah mulai berkurang. Sebagian dari mereka sudah kembali ke rumah masing-masing. Tanpa merasa perlu ikut membereskan sisa-sisa pestaku, aku kembali ke kamar dan bersiap ritual penting. Ritual penting yang kumaksud adalah membuka kado-kado yang sudah menggunung di ranjangku. Aku sangat menyukai aktivitas ini. Aku senang merasakan sensasi saat merobek kertas kado pembungkus, terkejut melihat isinya kemudian senyum-senyum sendiri membaca kartu ucapannya. Aku senang menebak-nebak kado apa yang diberikan oleh orang-orang terdekatku. Berharap kado dari mereka sesuai dengan apa yang aku inginkan.

Dan tibalah saatnya membuka kado itu. Sebuah kado berbentuk persegi yang dibungkus kertas kado bunga-bunga berwarna merah muda, warna kesukaanku. Saat kubuka, ternyata isinya adalah sebuah mukena dengan kain halus berwarna merah muda. Di ujungnya terdapat gambar bunga-bunga cantik berwarna ungu. Di mataku mukena ini tampak begitu cantik dan anggun, dan tidak memberikan kesan seperti mukena untuk anak kecil. Dan ternyata ada sebuah kartu kecil, lagi-lagi bergambar bunga berwarna merah muda. Saat kubaca, di kartu tersebut hanya bertuliskan, Untuk Aisyah. Selamat ulang tahun. Semoga kecantikanmu semakin terpancar setelah menggunakan mukena ini.

Hanya sebuah doa singkat yang tertulis di kartu itu. Tanpa nama pengirim atau tanda-tanda yang bisa menunjukkan siapa yang memberi kado tersebut. Hadiah mukena itu terus membayangi pikiranku beberapa hari setelah itu. Bagaimana tidak, kado mukena baru pertama kali kuterima setelah 17 kali aku merayakan pesta ulang tahun. Mukena itu begitu mencolok di antara kado-kado yang lain, seperti boneka, kotak musik, pajangan kaca, dan hadiah biasa yang lainnya. Apalagi hadiah itu misterius sekali karena diberikan tanpa nama pengirim.

Jika ditanya apakah mukena itu adalah mukena pertama yang kumiliki, jawabannya tentu saja tidak. Aku punya banyak mukena bagus di lemari. Mukena keluaran butik dengan desain yang bagus dan bordiran yang halus, serta pastinya dibeli dengan harga yang tidak murah. Jika boleh dibandingkan, hadiah mukena yang aku peroleh terlihat tampak sangat sederhana jika dibandingkan dengan mukena yang kupunya sebelumnya. Tapi apalah arti mukena-mukena bagus tersebut jika hanya untuk disimpan di lemari, dan hanya digunakan setahun beberapa kali, biasanya saat sholat hari raya saja.

Hari-hari pun berlalu. Aku sudah tidak lagi terbayang akan mukena misterius itu. Namun ternyata mukena itu tidak hanya sekedar misterius karena diberikan tanpa pengirim. Tetapi rupanya ada sebuah hidayah dari Allah yang dikirimkan untukku lewat mukena tersebut. Hidayah itu datang dari seorang gadis pengamen yang kulihat di tengah kemacetan jalan raya saat aku pulang sekolah.

Awalnya kukira dia adalah pengamen biasa yang mengharap rejeki dari para pengguna jalan raya. Ia berjalan dari satu mobil ke mobil lainnya sambil memainkan sebilah kayu pendek yang diberi beberapa bekas tutup minuman botol. Jika digerakkan kayu tersebut akan mengeluarkan bunyi. Ia menyanyikan lagu, entah lagu apa, dan memasang wajah memelas di samping kaca jendela pengendara mobil. Satu hal yang kuperhatikan darinya adalah, ia tetap tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada pengendara mobil, meskipun tidak ada uang yang diperolehnya dari orang tersebut. Hatiku sedikit tergetar melihatnya.

Tak lama adzan berkumandang. Kulirik jam tanganku, menunjukkan pukul 11.35 WIB. Berarti ini waktu sholat dhuhur, pikirku waktu itu. Jangan salah ya, meskipun aku jarang sholat, aku tetap tahu waktu-waktu sholat wajib yang jumlahnya 5 kali sehari itu. Sayang pengetahuanku ini hanya sekedar tahu, belum bisa menuntunku untuk melakukan kewajiban tersebut.

Aku kembali menatap ke jalan dan mencari gadis pengamen tadi. Namun ia sudah tidak ada. Aku berusaha mencari dan kutemukan ia sedang berlari menuju sebuah kolong jembatan. Meskipun sangat tidak layak, namun daerah bawah kolong jembatan tersebut dijadikan sebagai tempat tinggal oleh beberapa orang berpakaian lusuh. Kulihat ada beberapa kasur tanpa seprai yang digelar begitu saja. Anak bayi yang menangis keras meminta makan, sementara seorang ibu di sampingnya sedang sibuk mengais-ngais sebuah kantong sampah. Pandanganku kembali terpusat kepada si gadis yang sedang berdiri di depan keran air, membasuh wajah, tangan dan kakinya. tak lama ia berjalan cepat ke sebuah tenda lusuh yang kain penutupnya sedikit terbuka, sehingga aku bisa melihat apa yang dilakukannya.

Tanpa sadar mengalirlah air mata dari kedua bola mataku. Aku tertegun melihat gadis itu memakai mukena kemudian dengan muka tenang ia mengangkat kedua tangannya, ber-takbiratul ihram. Kemudian bibirnya bergerak, ia sedang membaca doa iftitah, surat Al-Fatihah, dan surat pendek. Betapa khusyuknya ia melakukan sholat sekalipun suasana di sekelilingnya sangat berisik. Bayi yang menangis, ibu-ibu yang mengomel, suara kaleng yang beradu dari dalam karung bapak pemulung, bahkan dari suara klakson kendaraan di jalan raya yang saling bersahutan karena si pengendara mulai tidak tahan terhadap kemacetan yang dihadapinya.

Dan tepat saat gadis itu merendahkan dirinya untuk melakukan sujud, aku tak kuasa melihatnya lagi. Aku malu, aku malu pada Allah, malu pada gadis itu, dan malu terhadap diriku sendiri. Kemana saja aku selama ini. Aku yang dengan santainya menghabiskan uang untuk jalan-jalan ke luar negeri. Menghabiskan waktu seharian hanya untuk berbelanja baju, berpindah dari satu butik ke butik lainnya tanpa mempedulikan kewajibanku untuk menunaikan sholat. Waktu dua empat puluh jam yang diberikan Allah untukku, semuanya kugunakan untuk dunia tanpa kusisihkan, bahkan hanya beberapa menit, untuk kehidupan akhiratku. Ya Allah, Ya Tuhanku, ampunilah dosa besar hamba-Mu ini… pikirku saat itu.

Tepat saat mobilku mulai berjalan, aku sadar bahwa hadiah mukena yang diberikan untukku bukan sekedar hadiah biasa. Hadiah itu mengingatkanku akan satu kewajibanku sebagai muslimah yang selama ini kuabaikan, dan tentunya masih banyak kewajiban lainnya yang kelak aku sadari. Mukena itu menjadi hadiah pertama, hadiah untuk Aisyah, yang telah menyadarkanku untuk segera menunaikan sholat yang telah kutinggalkan selama ini.

@@@@@@@@@@@@

            Aku terdiam. Air mataku menetes. Aku selalu menangis jika mengingat kebodohanku di masa lalu. Kutangisi masa 17 tahunku yang tidak ada apa-apanya itu. Namun mukena itu baru hadiah pertama. Masih ada hadiah-hadiah selanjutnya yang memberikan makna berarti dalam jalan hidupku.

@@@@@@@@@@@@

            Setahun bergulir. Bisa kusyukuri karena hidupku mulai berubah. Mukena yang tadinya hanya tergantung berabad-abad di lemari pakaian, kini telah berfungsi sebagaimana mestinya. Namun di antara sekian banyak mukena yang kumiliki, mukena misterius itu tetap menjadi barang favoritku. Meskipun mungkin tidak ada hubungannya, namun setelah memperoleh kado tersebut dan menerima hidayah Allah melalui seorang gadis pengamen, aku telah menjadi Aisyah yang sedikit lebih baik dibandingkan yang sebelumnya.

Bulan Maret semakin dekat. Pesta ulang tahun tetap menjadi agenda tahunan di keluarga ini. Jika tahun lalu aku menggelarnya di taman dengan tema Garden Party, kali ini aku menggelarnya di sebuah restoran bintang lima di tengah kota. Pesta berjalan sangat meriah, apalagi saat aku tahu bahwa di usiaku yang ke-18, aku memperoleh sebuah hadiah mewah dari orangtuaku. Sebuah mobil mahal keluaran terbaru yang sangat kuidam-idamkan selama ini. Betapa bahagianya aku saat itu, apalagi jika mengingat bahwa aku baru saja memperoleh SIM. Rasanya aku menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini jika mengingat semua kemewahan yang bisa aku miliki saat itu.

Dan benar saja, kado itu datang lagi. Sebuah hadiah terbungkus kertas kado bergambar bunga-bunga warna merah muda. Persis dengan kertas kado pembungkus hadiah mukena yang kuperoleh setahun yang lalu. Cepat-cepat kubuka untuk mengetahui isinya. Lagi-lagi kartu ucapan yang sama, namun dengan tulisan yang berbeda. Untuk Aisyah. Selamat ulang tahun. Semoga ada kelembutan dan kehalusan di balik suara indahmu yang melantunkan ayat-ayat Allah dengan ikhlas. Itulah sederetan kalimat yang kubaca di kartu tersebut.

Kertas kado yang sama. Kartu ucapan yang sama. Bentuk tulisan yang sama. Tetap tanpa menyebutkan nama pengirim. Hanya doa dan hadiahnya saja yang berbeda. Dari semua kesamaan ini kusimpulkan bahwa orang yang mengirim hadiah-hadiah ini adalah orang yang sama. Jika tahun lalu aku memperoleh mukena, maka tahun ini aku memperoleh sebuah Al-Qur’an cantik berwarna merah muda, yang di sampulnya bertuliskan “Mushaf untuk Wanita”.

Al-Qur’an ini begitu indah dan cantik. Namun apa gunanya jika yang memilikinya tidak bisa membaca ayat-ayat Allah yang indah di dalamnya. Itulah aku. Seingatku, terakhir aku belajar membaca huruf-huruf arab adalah saat aku masih duduk di bangku TK. Itupun belum tamat iqro’. Aku jadi teringat bagaimana hatiku bisa tergetar dan memperoleh hidayah untuk mendirikan sholat setelah melihat si gadis pengamen. Maka kutunggulah hidayah itu. Hidayah yang bisa menuntun dan memotivasiku untuk mulai belajar membaca Al-Qur’an.

Hari dan minggu berlalu. Hidayah yang kutunggu tak kunjung tiba. Tidak ada peristiwa mengharukan yang kuharap bisa menyadarkan serta memotivasiku. Apa Allah tak meridhoi niatku untuk belajar membaca Al-Qur’an, pikirku saat itu. Kembali kubuka dan kubaca tulisan si pengirim di kartu ucapan tersebut. Semoga ada kelembutan dan kehalusan di balik suara indahmu yang melantunkan ayat-ayat Allah dengan ikhlas. Aku terusik ketika membaca kata-kata ‘dengan ikhlas’. Sepertinya ada maksud khusus dari pengirim dalam menuliskan kata-kata itu.

Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Dan tiba-tiba kesadaran itu muncul begitu saja saat aku mendengar sepotong kalimat dari ustadz yang sedang memberikan ceramah di televisi. “Hidayah itu tidak perlu ditunggu. Ketika anda sudah menyadari bahwa anda telah berbuat salah, maka saat itu jugalah sebenarnya anda sudah sadar untuk memperbaiki kesalahan itu dan melakukan hal yang benar. Jangan menggunakan alasan menunggu hidayah. Ikhlaslah dalam melakukan kebenaran, wahai saudaraku.”

Aku termenung. Merasa tertohok dan tertusuk. Apa yang diucapkan oleh ustadz itu sama persis dengan apa yang kualami saat ini. Inilah hidayah yang kutunggu. Hidayah yang akhirnya muncul dan benar-benar menyadarkan akan kesalahanku selama ini, hingga nantinya aku tak perlu menunggu kedatangan hidayah-hidayah yang lain.

Pertama, mukena. Kedua, Al-Qur’an. Apalagi setelah ini? pikirku saat itu. Barang apa lagi yang akan kuterima, yang bisa menuntunku untuk membenahi cara hidupku yang salah selama ini. Sore itu, setelah sholat Ashar dan membaca Al-Qur’an, aku merenung sembari menatap langit sore yang cerah. Lama sekali aku duduk di sana, hingga tak sadar bahwa hari sudah mulai petang.

Aku mulai sadar bahwa hidupku selama belasan tahun ini telah diisi dengan hal yang sia-sia. Aku sadar bahwa gaya hidupku yang mewah dan berlebih-lebihan itu tidak baik. Aku sadar bahwa meninggalkan sholat adalah perbuatan dosa besar. Aku sadar bahwa kitab suci Al-Qur’an itu diciptakan untuk dibaca, dipahami serta diamalkan oleh para umat Islam. Lalu apakah aku hanya berhenti sampai di sini saja? Haruskah aku puas hanya dengan sholat dan membaca Al-Qur’an?

Malam menjelang. Seusai sholat maghrib, aku bermunajat kepada Allah. Aku mohon kepada-Nya untuk senantiasa memberiku petunjuk supaya aku bisa merubah jalan hidupku menjadi semakin lebih baik. Aku berdoa supaya Allah tidak membiarkanku untuk kembali ke jalan yang salah. Aku berharap, kesadaranku atas kesalahan-kesalahan yang banyak itu muncul dan selalu ada niat untuk memperbaikinya. Aku berharap kesadaran itu senantiasa bisa kurasakan, tanpa harus menunggu pemberian atau hadiah dari seseorang.

Aku sudah tidak peduli siapa pengirim misterius tersebut. Siapapun dia, kudoakan bahwa hidupnya senantiasa dilimpahi anugerah dan kasih saying dari Allah. Siapapun dia, kuucapkan terima kasihku melalui Allah, karena melalui dua hadiah darinya, aku bisa membenahi jalan hidupku menjadi benar daripada sebelumnya.

Niatku sudah bulat. Aku ingin berubah menjadi Aisyah yang sesungguhnya. Aku ingin menjadi Aisyah seperti yang diharapkan kedua orangtuaku, menjadi seperti istri Rasulullah yang cantik, cerdas, juga berperilaku baik. Saat aku memutuskan itu, tiba-tiba saja datang lagi hadiah ketiga dari si pengirim misterius tersebut. Hadiah itu datang tidak pada ulang tahunku yang ke-19, melainkan beberapa minggu setelah ulang tahunku yang ke-18.

Sensasi itu masih sama. Meskipun hari itu tidak tepat ulang tahunku, namun jantungku tetap berdebar ketika merobek kertas kado merah muda itu. Tak kusangka, isi dari hadiah itu adalah sebuah jilbab dan gamis warna merah muda yang begitu cantik. Dengan penuh kesadaran, jilbab dan gamis itu segera kukenakan dan kupandang diriku di depan cermin. Aku tersenyum dan merasa yakin bahwa baju muslimah itu memang diciptakan untukku. Entah bisikan hati, atau malah bisikan malaikat yang kudengar, namun ia berkata, “Inilah diri kamu, Aisyah. Dirimu yang sesungguhnya. Seperti inilah wujud seorang muslimah sejati yang bernama Aisyah itu.”

Selamat, Aisyah. Selamat, karena sekarang kamu benar-benar sadar bahwa dirimu adalah seorang muslimah. Inilah wujud kecantikan dan kelembutan yang terpancar dari seorang muslimah cantik bernama Aisyah.

@@@@@@@@@@

            Allah menciptakan manusia dalam berbagai karakter. Ada yang baik, ada pula yang tidak baik. Ada yang tadinya baik, sekarang menjadi tidak baik. Ada yang awalnya tidak baik, kini berubah menjadi baik. Ada yang butuh waktu lama untuk membenahi hidupnya, ada pula yang dalam waktu singkat bisa benar-benar merubah kehidupannya.

Aku tidak tahu termasuk golongan yang mana. Terserah Allah saja mau meletakkanku di kelompok mana. Namun yang aku tahu dan yang aku harap, aku senantiasa berada di golongan orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Orang-orang yang senantiasa berada di jalan lurus, dan bukan berada di jalan orang-orang yang sesat.

Aku tidak tahu waktu dua tahun itu waktu yang singkat atau waktu yang lama untuk bisa membenahi hidupku. Yang aku tahu adalah Allah senantiasa menemaniku selama aku berada dalam masa pencarian hidayah, dan yang aku harap adalah Allah senantiasa menemaniku hingga aku dijemput-Nya nanti. Dan yang aku tahu pula, dengan penuh kesadaran aku memutuskan untuk masuk ke pondok pesantren di usiaku yang ke 19 tahun. Aku ingin memperbaiki hidupku dari segala aspek. Berharap itu merupakan pilihan yang tepat dan terbaik untukku.

Yang aku tahu, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya sama sekali. Begitu pula Allah tidak pernah meninggalkanku selama masa-masa awal di pesantren, dimana aku sulit beradaptasi dengan keadaan sekitar. Aku masih bisa bercerita, berdoa, dan bermunajat kepada-Nya di setiap ibadah yang kulakukan. Namun ada satu yang tidak kuketahui, Allah masih menyiapkan hadiah lain untukku. Hadiah terindah yang pernah kuperoleh, karena berkat hadiah itu pula aku bisa menerima hadiah-hadiah yang sebelumnya.

Setahun setelah lulus dari pesantren, ada seorang lelaki yang melamarku. Lelaki muslim yang kalem namun tangguh. Wajahnya yang teduh dengan sorot mata lembut namun terkesan melindungi itu langsung membuatku jatuh hati dan menerima pinangannya. Dia bukan orang jauh, bahkan bisa dibilang sangat dekat karena ia adalah tetangga depan rumahku sendiri. Siapa yang sangka bahwa anak tunggal lelaki di keluarga depan adalah lelaki yang umurnya terpaut 3 tahun lebih tua dariku, yang akhirnya menjadi suamiku. Dan setelah mengetahui semuanya, aku yakin ini memang sudah menjadi skenario Allah yang begitu indah untukku. Dialah laki-laki yang diciptakan untuk menjadi jodohku. Dialah laki-laki yang sudah menjagaku sejak awal.

@@@@@@@@@@

            Aku masih ingat betul bagaimana rahasia Allah itu terkuak. Di suatu sore yang indah, saat aku sedang bercengkerama dengan suamiku di teras rumah.

“Jadi, si pengirim misterius itu Mas Ali?” tanyaku sambil menyebut nama suamiku. Ia menatapku lembut, tepat di manik mata.

“Iya.” jawab suamiku singkat sambil tersenyum.

“Tapi kenapa? Kenapa Mas kasih ke aku? Terus kenapa gak pake nama pengirim?” tanyaku bertubi-tubi.

“Aku pertama kali ngeliat kamu, waktu kamu pulang sekolah. Kamu masih pake seragam SMA waktu itu. Gak tahu kenapa, aku langsung suka sama kamu sejak saat itu. Wajah kamu itu enak banget dipandang, sayang kelakuannya gak terlalu enak, hehehe…” jawab suamiku sambil bercanda. Aku manyun. Namun tetap kudengarkan saja ceritanya.

“Kamu tahu? Selalu ada keinginanku untuk memulai percakapan tiap kali kita gak sengaja ketemu. Mungkin kamu gak sadar kalo kita pernah ketemu, karena emang jarang banget. Aku gak tahu gimana caranya. Makanya terpikirlah ide buat ngasi kado-kado itu.” lanjutnya.

“Terus kenapa kasih mukena, Al-Qur’an, jilbab sama gamis?” tanyaku lagi. Aku masih benar-benar penasaran atas kelakuannya.

“Sepertinya itu jawaban yang Allah beri buat aku. Setiap malam aku selalu berdoa kepada Allah. Ya Allah, jika dia memang jodohku, maka ridhoilah cintaku ini untuknya, tanpa melebihi kecintaanku kepada-Mu. Ya Allah, jika dia memang jodohku yang Engkau pilihkan untukku, maka izinkanlah aku menjaganya dari sekarang. Ya Allah, jika Engkau sudah menyiapkan hubungan kami kelak, maka jagalah supaya kami tetap saling mencintai karena-Mu, berkumpul karena-Mu dan berpisah karena-Mu.” jawabnya lagi sambil membelai kepalaku dengan lembut.

Air mataku menetes. Aku tak menyangka ada sosok lelaki sebaik ini kepadaku. See, jika kamu adalah seorang perempuan, tidakkah kamu terharu mendengar ucapan suamimu? Doa dari suamimu yang dipanjatkannya kepada Allah, jauh sebelum dia benar-benar menjadi lelaki yang sah bagimu? Terima kasih Allah, terima kasih ya Allah telah memberikan jodoh sebaik ini kepadaku, dan semoga aku pun bisa menjadi jodoh yang baik pula untuknya, amin.

            “Mas Ali adalah hadiahku yang ke-lima dari Allah, Mas. Hadiah yang sangaaaat indah.” jawabku sambil menatapnya penuh kasih sayang.

@@@@@@@@@@@

            “Bunda, ulang tahun Raka gak usah dirayain, deh.” kata anakku tiba-tiba sebelum kami mengantarnya ke acara ulang tahun Yovan di Mc Donald.

“Lho, kenapa sayang?” tanyaku sambil mengambilkan kado yang telah kami siapkan untuk temannya.

“Uangnya disimpen aja. Sebagai gantinya Raka minta kado Al-Qur’an ya? Bentar lagi kan Raka mau lulus iqro’.” Ucapnya dengan sinar mata berbinar-binar, berharap keinginannya dikabulkan.

Subhanallah, Nak. Bahkan jika kamu tidak memintanya sekalipun, bunda pasti membelikan hadiah semulia itu untuk kamu, ucapku sambil menyusut air mataku yang hendak menetes. Orang tua mana yang tidak terharu melihat kepolosan permintaan buah hatinya untuk dibelikan Al-Qur’an, padahal usianya baru 5 tahun.

“Pasti, Raka. Pasti ayah dan bunda akan belikan itu.” jawab suamiku mantap. Kulihat matanya juga berkaca-kaca. Pasti ia juga bangga pada anak kami, pikirku.

Oleh: Aisyah Asmi, Gresik Jawa Timur

Tinggalkan Balasan