[Cerpen] Saat Ikhlas Berbicara Lebih dari Cinta

0
894

“Brak!!” Tangan kekar berbalut kulit cokelat tua itu menggebrak meja yang ada di hadapannya. Keras. Keras sekali. Dari delapan manusia yang berkumpul di sana, tak ada satu pun yang berani membuka mulutnya untuk berbicara. Atau bahkan sekedar latah karena kaget. Suara detak jarum jam dinding yang terus berputar, seakan menyeringai kediaman mereka.

“Katakan! Mengapa aku harus mengikuti semua kata-kata kalian? Mengapa aku harus menuruti semua keinginan kalian? Ini hidupku! Jalanku! Tiada siapapun yang berhak menentukan arah mana yang akan kuambil saat aku berada di persimpangan hidup seperti ini! Kalian hanya orang lain. Orang asing yang cuma berhak memberi nasihat! Bukan mengatur. Apalagi memutuskan dan mengambil alih setir kehidupanku!”

Sorot matanya tajam. Menatap satu per satu manusia yang berdiri di hadapannya. Tak ada yang luput sama sekali. Pandangannya begitu menantang untuk ditaklukan. Pun nada yang baru saja keluar dari mulutnya adalah Do tinggi semua.

“Tapi,Gus… Dia berbahaya untuk hidupmu. Kami sebagai temanmu hanya ingin…sesuatu yang terbaik untukmu,”ujar salah satu dari mereka.

“Kalian tahu apa tentang segala sesuatu yang terbaik untukku? Kalian tahu apa tentang segala sesuatu yang membahayakan dalam kehidupanku?”

“Dia akan memperburuk masa depanmu, Gus. Ini bukanlah suatu keadaan yang harus dipertahankan. Kaubisa kehilangan semuanya. Ingat, bukan satu atau dua. Tapi semuanya. Sesuatu yang kauperjuangkan sejak awal,”kata salah satu orang yang lain.

Sudut kanan bibir Agus terangkat sedikit. Kemudian mendengus kasar.

“Jika dia akan memperburuk masa depanku, lalu apakah seorang wanita yang suka bersolek di depan umum, yang ah…dia katakan kalau dia melakukannya untukku, agar aku bangga mempunyainya, lalu dengan bangga ia mempamerkan lekak-lekuk tubuhnya seperti pelacur di depan teman-temanku, menghabiskan gajiku untuk perawatan dari ujung rambut sampai ujung kaki, yang padahal…bukan aku saja yang menikmatinya, itu akan mempercerah masa depanku? Apakah pelacur yang hanya menggandeng seragamku itu lebih baik dari gadis ini?”

Manusia-manusia yang mendengar itu hanya menghela nafas. Beberapa orang menundukkan kepala dan menyandarkan kedua tangannya pada meja. Sibuk mengetukkan jari di atas sana. Entah apa yang mengisi otaknya. Entah apa yang dipikirkannya. Namun mata itu masih menukik tajam, mengitari beberapa sosok manusia di hadapannya.

“Kamu akan kehilangan semuanya, Gus. Jangan bersikap bodoh seperti ini. Jika kamu tetap bertahan seperti ini, bukan kamu saja yang susah, tapi gadis itu juga. Jika memang kamu siap kehilangan semuanya, lalu dengan apa kaubisa menghidupi gadis itu? Walaupun gadis itu adalah gadis baik, taat agama, dan akan mampu menerimamu meskipun kamu terjatuh, bahkan sudah tak punya apa-apa, tapi kamu adalah laki-laki. Laki-laki yang pantang tidak punya apa-apa untuk gadis yang sangat dicintainya. Kami bukannya tidak memikirkan perasaanmu, Gus. Kami bukannya egois. Menahanmu di pihak kami agar ikut-ikut memusuhi gadis itu. Bukan, Gus. Bukan seperti itu. Justeru karena kami memikirkan kalian berdua,”kata salah seorang yang nampak lebih tua dari sekumpulan manusia di ruang itu.

*****

            Sirine dari mobil-mobil polisi masih mendengung dari segala arah. Rara berlari menerobos jalan-jalan kecil di antara perumahan yang sudah sepi dan gelap. Sesekali ia berhenti, menengok ke segala arah. Memantau bagaimana posisinya sekarang kemudian mencoba memutuskan secara cepat jalan mana yang akan dilaluinya. Dalam jiwanya sudah diikat oleh rasa takut, kedua kaki kecil itu terus dipaksanya untuk berlari. Ya, mencoba terus berlari, melawan keterbatasannya saat itu juga.

Deru napasnya semakin tak beraturan. Mulutnya terus melantunkan nama-nama Allah, dan matanya mencoba untuk tak pernah lengah memantau jalan yang terlihat olehnya. Sesekali terlihat langkahnya yang mulai goyah, namun ia tetap bertahan. Sementara sirine-sirine itu terus memburu detak jantungnya.

“Bruk.”

Ada sesuatu yang menghalangi Rara. Tubuhnya yang sudah kehilangan hampir separuh konsentrasi itu terjatuh. Segera ia berdiri. Mengabaikan rasa sakit yang luar biasa, kemudian mencoba kembali untuk meneruskan larinya. Ya, menyembunyikan diri dari suara sirine-sirine itu.

“Berhenti!”

Deg. Rara menghentikan langkahnya. Ada suara manusia yang terdengar dari belakangnya. Tidak begitu keras. Namun cukup terdengar jelas dalam keheningan malam seperti ini.

“Jangan bergerak!”

Terdengar langkah kaki manusia yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Rara tak bergerak. Memang tampak seperti itu. Diam mematung di tempat, seakan pasrah terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun tidak begitu kenyataannya. Mata Rara melirik tajam ke samping kanan, berusaha menangkap gerak-gerik pemilik suara itu. Menerka-nerka apa yang akan terjadi sembari berpikir keras bagaimana cara untuk menangkisnya. Di sebagian rasa yang mengatakan bahwa nyawanya sudah tertawan, ia masih berjuang kuat mengumpulkan konsentrasinya.

“Aku tidak akan menyentuhmu. Tetap diam seperti itu.”

Rara mematuhinya. Ia merasa bahwa pemilik suara itu tak lagi berjalan mendekatinya. Dari suara yang ia tangkap, sepertinya sosok itu sedang berdiri di belakangnya dengan kisaran jarak antara satu sampai dua meter saja. Dekat.

“Ini sudah jam satu pagi. Seorang gadis bercadar tidak diperkenankan berlari ke luar rumah tanpa mahram seperti ini.”

Rara tak menjawab. Napasnya masih terasa sulit untuk dikendalikan.

“Apalagi dengan napas yang tersengal-sengal seperti itu. Seorang gadis bercadar tidak akan main sendirian tanpa mahram pada jam seperti ini. Bahkan pada jam berapa pun.”

Dahi Rara berkerut. Mata tajamnya masih tersorot di sana.

“Jelaskan padaku. Apa kepentinganmu di tengah malam begini?”

Mata Rara berputar. Mencoba memikirkan rangkaian kata yang tepat untuk menjawabnya. Betapa pun kerasnya ia mencoba,tetap sama sekali tak dapat ia temukan seperti apa ketepatan untuk menjawabnya. Dalam benaknya terus berkutat tentang siapa sebenarnya sosok yang sedang berdiri di belakangnya.

“Jika ia seorang polisi, mengapa ia tak menangkapku?”

“Aku bertanya. Bisakah kaujawab?”

“Apakah ia sengaja mengulur waktu untuk menangkapku bersama teman-temannya?”

Rara mencoba untuk mulai melangkahkan kakinya. Hanya baru satu langkah saja. Dan sosok itu pun telah cepat berdiri di depannya. Mata Rara terbelalak.

“Tempat ini aman. Meskipun sirine-sirine itu memburumu, seharusnya kamu tidak berlari karena mereka akan mendengar langkahmu.”

Berjuta-juta pertanyaan langsung berkelut hebat di dalam pikiran Rara.

“Apa tujuanmu menghadiri perkumpulan manusia-manusia ahli bela diri yang juga perakit bom?”

Degup jantung Rara semakin hebat rasanya.

“Aku bukan mereka yang sudah memprogram pikirannya dengan mengatakan kamu calon teroris apa pun alasan yang kauutarakan. Katakan padaku sejujurnya.”

Rara menghela napas panjang. Ditatapnya mata seorang polisi muda yang sedang berdiri di hadapannya itu. Mencari sebuah kebenaran dari balik sana. Kemudian mencoba berbicara atas dasar kepercayaan.

“Kamu islam?”tanya Rara. Memberanikan diri untuk bersuara di tengah raganya yang mulai berkeringat dingin.

“Ya.”

“Kaudengar tentang Gaza, Suriah, dan negara-negara islam lainnya yang sedang dihancurkan oleh kaum yahudi?”

“Tentu.”

“Apa yang kaulakukan untuk mereka?”

Mata sosok polisi muda itu mulai beralih ke sana kemari.

“Hanya berdoa? Membuat puisi-puisi untuk mereka? Dan mengharap puisimu menang lalu mendapat hadiah? Atau menyelenggarakan lomba puisi berbayar untuk meraup keuntungan dari puisi-puisi itu?”

Sosok itu hanya terdiam. Tiga detik. Namun pandangannya lurus menatap Rara. Tidak lagi ke sana kemari.

“Jika seperti itu yang terjadi, dan kausenang atas puisi-puisimu yang menang, tidak merasakah sebenarnya kamu sedang menginjak mereka? Tidakkah itu sama dengan kaubahagia atas kondisi mereka? Puisi sedihmu hanya tulisan dari sekumpulan bait egois dan palsu. Rima busuk dari sajak-sajak dusta. Sama sekali tak berdampak bagi mereka di sana.”

Hening. Empat detik. Mata polisi muda itu masih saja berputar. Entahlah, ia sedang memikirkan perkataan Rara atau sedang menunggu sebuah keadaan.

“Kami berlatih bela diri dan merakit bom, untuk mengirim pasukan jihad ke sana. Pasukan jihad yang tahu bagaimana caranya bertahan dan melindungi kaum muslim yang ada di sana. Bukan pasukan jihad yang hanya sekedar mengharapkan dirinya mati syahid. Pelatihan kami benar-benar bukan digerakkan untuk meneror para polisi. Kami bukan aliran bodoh yang mengatasnamakan jihad di atas dendam golongan. Jika anak-anak yahudi sedang diajari berbagai ilmu untuk menyerang dan memusnahkan bibit-bibit unggul muslim yang bertujuan untuk menghilangkan peradaban islam seutuhnya di muka bumi ini, dan mereka sama sekali tak dipermasalahkan, lalu mengapa kami umat islam yang belajar mempertahankan diri harus dipermasalahkan? Dicurigai padahal kalian juga umat islam?”

Polisi muda itu langsung menarik tangan Rara. Membawanya berlari ke arah gang gelap yang lebih sempit dan penuh dengan tumpukan sampah kertas. Rara kaget, berusaha melepas tangan kekar yang menarik tangannya. Namun polisi muda itu berkata,“Polisi sedang berjalan ke arah sini. Kita harus bersembunyi lebih cepat dari perjalanan mereka.” Rara semakin tak mengerti. Kenapa polisi muda ini justeru menyembunyikannya padahal ia tahu bahwa dirinya adalah target utama dari kejaran kawan-kawannya.

Kini Rara berada di balik tumpukan sampah kertas. Rara berusaha mengendalikan napasnya agar tak terdengar oleh polisi-polisi yang sedang berjalan ke arahnya. Sementara polisi muda itu berjalan pelan di sekitar sana. Bersikap seolah mencari sesuatu, dengan wajah waspada dan pistol yang siap di tangannya.

Benar saja. Dalam beberapa detik kemudian, empat orang polisi mendatangi tempat itu.

“Siapa itu?”gertak polisi muda itu sambil mengacungkan pistolnya. Wajahnya benar-benar nampak berbeda dari ketika ia menghadapi Rara tadi.

“Agus! Aku Rahmat. Kawanmu.”

“Oh…” Polisi muda itu menurunkan pistolnya. “Tidak ada tanda-tanda manusia selain aku di sini. Tempat ini sangat bagus untuk persembunyian, makanya sejak tadi aku berjaga di sini. Tapi nampaknya memang tak ada satu pun manusia dari sekumpulan itu yang berlari ke tempat ini.”

“Oh, begitu. Tetaplah waspada, karena pemimpinnya masih belum tertangkap.”

“Siapa namanya?”

“Rara Aisyah Putri Wardani.”

“Seorang wanita?”

“Ya. Umurnya masih berkisar antara 18 sampai 19 tahun. Sosok wanita jenius di bidang IPA, begitu informasi yang sempat kudengar.”

Mata polisi muda itu melirik ke kanan. Ya, ke arah tumpukan sampah kertas yang menggunung tempat Rara bersembunyi.

“Tempat ini tidak ada siapapun. Segera sisir jalan-jalan dugaan tempat persembunyian yang lain. Jika ia seorang gadis dengan usia semuda itu, terlalu jauh jika larinya sampai ke tempat ini. Mungkin jalan-jalan yang lebih dekat dari TKP, perlu disisir lebih dalam lagi,”kata polisi muda itu.

“Siap!”

Empat polisi itu pun pergi meninggalkan tempat. Di balik sana, Rara masih bersembunyi dengan balutan rasa takut yang kian melilit luar biasa. Ia sungguh tak menyangka jika polisi muda itu ternyata memihak padanya. Ia menunggu, mengharap polisi muda itu datang menghampirinya kembali di sana. Meminta penjelasan sekaligus berterimakasih. Tetapi ini sudah sepuluh menit. Dan polisi muda itu tak kunjung menemuinya di balik sana. Hatinya sempat bertanya-tanya, apakah polisi muda itu masih di sana atau tidak. Sebelumnya polisi muda itu tak pernah berpesan untuk tetap menunggunya di tumpukan sampah ini. Jadi ia pun memberanikan diri untuk mengangkat tubuhnya, keluar dari tempat persembunyiannya.

Ternyata ia masih di sana. Berdiri tegap menghadap tumpukan sampah tempat Rara bersembunyi. Tiba-tiba saja perasaan jengkel menyelimuti Rara.

“Mengapa ia tak segera menghampiriku yang ketakutan di sini jika saja ia hanya berdiri di depan sana?”

“Bodoh! Sepuluh menit itu masih terlalu cepat untuk mengeluarkan diri. Mereka masih saja bisa kembali ke sini untuk menemukanmu.”

Batin Rara yang tadinya memaki polisi muda itu langsung terdiam. Ternyata, ia sedang melindunginya. Lagi. Dan lagi.

“Kata mereka kaugadis jenius, tapi ternyata masih bodoh dalam hal kecil seperti ini. Bagaimana jika pengikutmu tahu kalau pemimpinnya masih bodoh seperti ini?”

Mata Rara menyipit. Sementara polisi muda itu tengah tertawa kecil. Ia berjalan pelan mendekati Rara.

“Manfaatkan ilmumu pada niat yang sudah benar kelurusannya. Aku akan membantumu. Aku pun merasa malu pada saudaraku di negeri muslim. Aku tergabung dalam pasukan keamanaan negara, tetapi melindungi mereka karena Allah saja aku tak mampu. Padahal bekal-bekalku untuk sekedar mempertahankan mereka itu ada dan sangat cukup. Sudah lama aku mengumpulkan kawan-kawanku untuk melakukan sebuah gerakan. Kutanyakan mereka apakah mereka mencintai Allah dan Rasul-Nya? Mereka katakan iya dengan mantap. Mantap sekali. Namun ketika kutanya bagaimana jika kita membantu saudara kita yang sedang menderita di negara sana, mereka terdiam. Begitu takut bagaimana jika seragam yang mereka kenakan itu dilepas. Begitu takut akan nasib keluarga mereka jika seragam itu tak dapat lagi dikenakannya. Akhirnya mereka menggantungkan harapan dan doa di dalam batinnya. Tetapi saat harapan dan doa itu dijabah oleh Allah melalui makhluk penggerak sepertimu, mereka justru berusaha mencekalnya. Aku sebenarnya tak mengerti mengapa mereka tak pernah berpikir tentang bagaimana tindakan mereka sesungguhnya. Mereka yang berkata telah berdoa, namun mereka pula yang mencegah doa itu terkabulkan.”

Rara terdiam. Dua kepala yang saling berhadapan itu terlihat saling menunduk. Deru sirine mobil-mobil polisi masih terdengar oleh keempat daun telinga di sana. Namun tak lagi begitu keras dan mulai bergerak jauh perlahan.

Malam ini langit begitu terang. Bertabur banyak bintang dengan satu bulan sabit yang bersinar indah. Malam ini, Allah memutuskan takdir berat dalam kehidupan dua manusia. Takdir yang tak dapat dirubah dan memang keadaannya harus diimani dengan sebenar-benarnya iman. Dalam dunia berwaktu kacau ini, kedua tulang rusuk yang berbeda jalur itu dipertemukan. Dua tulang rusuk yang persatuannya akan menjadi rawan dalam kehidupan keduanya. Sementara tulang rusuk yang sesungguhnya tak akan membiarkan pasangannya bengkok, patah, dan segala kondisi yang membahayakannya.

*****

            “Pergilah,”kata Rara. Suara parau yang terbungkus di balik cadarnya terdengar oleh Agus yang tengah berdiri memandangnya penuh harap.

“Aku tidak akan pergi sebelum menikah denganmu,”jawab Agus mantap.

Rara menunduk. Menyembunyikan air matanya yang mulai bergulir turun.

“Kita tidak akan bisa bersatu,”kata Rara lirih.

“Kita berdua akan mempelopori pelatihan terlarang ini dalam keadaan halal untuk berkumpul. Aku akan melindungimu. Tidak akan membiarkanmu lari sendirian di malam hari seperti setahun yang lalu.”

“Pertemuan itu tidak pernah terjadi. Tidak pernah berarti bagiku jadi jangan sekali pun mencoba membuatnya seperti pertemuan yang sangat berarti. Jika saja kau ingin perkumpulan kita menjadi halal, kita bisa berkumpul dengan ditemani pasangan sah masing-masing.”

“Kamu adalah tulang rusukku. Sekali pun kaucoba menemukan yang lain dan menepisku, tetap saja itu aku.”

“Kauhanya manusia biasa. Bukan malaikat atau pena yang mencatat takdir Allah.”

“Tapi aku hanya ingin menikah denganmu, Rara.”

“Tapi aku tidak ingin menikah denganmu, Agus.”

“Bodoh! Sampai kapan kauakan berbohong seperti ini terus?”

“Jangan terlalu yakin dengan perasaanmu. Saat ini, aku mengatakan hal yang sejujurnya. Pergilah. Aku bukan yang terbaik bagimu.”

“Lalu seperti apa wanita yang terbaik bagiku? Haruskah aku menyisiri seluruh wilayah di negeri ini untuk menemukan wanita sepertimu?”

“Jika kaurasa itu perlu, lakukanlah.”

“Meskipun ada wanita yang lebih darimu, aku tidak menginginkannya, Rara. Aku hanya menginginkanmu.”

“Jangan katakan seperti itu. Katakanlah aku hanya menginginkan apa yang diinginkan Allah.”

“Rara, cobalah mengerti perasaanku.”

“Aku lebih dari mengerti soal perasaanmu. Aku hanya wanita yang memberi mudharat bagimu. Kauakan jadi anak durhaka jika tetap bersamaku. Tidakkah kautahu bahwa ridha orang tua adalah ridha Allah juga? Ibu dan ayahmu telah mengantarkanmu pada kehidupan yang lebih baik. Tangan-tangan tua itu setiap malam merintih di atas sajadah, hingga akhirnya kaudapatkan seragam itu melalui jalan halal dan prestasi yang membanggakan. Perjuanganmu selama beberapa tahun, tidak etis bagi mereka untuk kautanggalkan begitu saja karena sosok wanita sepertiku. Kita memang harus begini. Kita harus berjalan sendiri-sendiri.”

“Rara…”

“Orang tuamu tidak akan mampu melihat putranya yang menanggalkan seragam polisi lalu beralih status menjadi buronan. Orang tuamu tidak akan mampu melihat putranya dicap sebagai pengkhianat oleh seluruh manusia yang berada di atas tanah yang sama dengan pijakannya. Orang tuamu berada dalam masa tua yang seharusnya tinggal memetik indah dari hasil jerih payah usahanya. Buatlah mereka bahagia. Tidakkah kaukasihan kepada mereka yang sudah bertahun-tahun mengabaikan keinginannya untukmu? Masihkah kautuntut habis mereka untuk mengorbankan apa yang mereka inginkan lagi demi kebahagiaanmu? Apakah kautega menjejakkan lapak hina dalam lembaran akhir kehidupan orang tuamu? Maniskanlah masa tua mereka. Berbaktilah. Bahagiakan keduanya sebagaimana tekad besarmu yang begitu ingin membahagiakanku. Sesungguhnya cintaku berada lekat dalam cinta orang tuamu. Begitu pula dengan kebahagiaanku.”

Rara masuk ke dalam rumahnya. Menutup dan mengunci pintu rapat-rapat. Meninggalkan Agus yang masih berdiri mematung di luar sendirian. Bersama meratapi takdir di balik daun pintu yang menghalangi raga. Tetesan air di sudut mata mulai bergulir turun, mengurangi satu per satu lilitan hati yang menyesakkan dada.

*****

            Keadaan sudah bergulir namun masih saja menentang tekad Agus yang sudah sedemikian bulat. Dalam sebuah ruangan persegi yang hanya tergeletak sebuah meja panjang di tengahnya, lagi-lagi Agus disidang oleh kawan-kawannya.

“Kenapa?”tanyanya lirih di antara kemelut hati yang entah sudah bagaimana bentuknya.

“Karena kaubukan seorang laki-laki biasa, Gus. Kauadalah seorang polisi.”

“Apakah dalam agama kita ada larangan polisi tidak boleh menikah dengan gadis bercadar? Apakah ada aturan perundangan yang juga melarangnya?”

“Tidak, Gus. Memang tidak. Tapi situasinya saat ini berbeda. Carilah gadis lain yang tidak akan membahayakan hidupmu.”

“Dia adalah calon bidadari surga yang sedang konsisten menjaga auratnya. Kenapa kalian justru mengatakan dia berbahaya? Bukankah gadis polos yang suka bersolek lalu mengatakan dirinya itu imut-imut, justru lebih membahayakan hidupku? Apakah kalian lebih senang jika aku tetap memakai seragam ini tapi akhiratku suram bahkan sangat suram? Aku hanya ingin pendamping yang shalehah. Mengapa ini harus dipermasalahkan sedemikian panjangnya? Apakah gadis seperti dia harus bersuami laki-laki biasa, pedagang, guru dan lain sebagainya tapi tidak untuk polisi? Kenapa? Kenapa kalian begitu kejam padaku sementara Allah begitu sayang kepadaku?”

“Kauboleh dengan wanita bercadar mana pun,Gus. Tapi bukan Rara. Dia pun bukan wanita biasa. Dia pemimpin dari perkumpulan itu. Oke memang kami yakin bahwa mereka tidak akan menyerang kita. Tetapi bagaimana dengan yang lain, Gus? Kautidak akan bisa memaksa orang lain untuk berada dalam satu jalur pemikiran denganmu. Itu masalahnya.”

“Lalu mengapa kalian tidak membantuku untuk menjelaskannya pada mereka?”

“Itu tak akan terjadi semudah dengan apa yang kaupikirkan, Gus. Mereka terlalu banyak jumlahnya. Cobalah, jika kaumemang sangat mencintai Rara, pikirkanlah ia. Saat seperti ini kauhanya akan menjadi mudharat baginya. Pikirkanlah bagaimana ia akan hidup jika kalian tetap bertahan dalam situasi ini.”

Air langit mulai turun dari awan-awan hitam yang cukup lama menggantung di atas sana. Bulir demi bulir jatuh hingga tak terhitung jumlahnya. Agus menoleh ke jendela kecil yang terletak di samping kanannya. Melihat sekumpulan kabut yang datang bersama dengan derasnya hujan yang turun. Hanya dalam beberapa detik, koloni air itu pun cepat sekali meraba segala sesuatu yang terjangkau olehnya.

*****

            Hari-hari terasa berlalu begitu lambat. Memang seperti itu, jarum jam tak akan pernah mengenal kompromi dalam berputar. Kesunyian hari telah banyak menyapa dan menggoreskan beberapa makna dalam kehidupan Rara. Dalam kesendirian yang terbungkus dengan alasan-alasan merindui seseorang, membuat pelangi tak lagi begitu nampak indah.

Ketika senja ia masih di sana. Di tepian pantai dengan desiran ombak yang setia menemaninya. Seolah menunggu seseorang datang, tetapi ia tak pernah tahu kenapa ia menunggu di sana. Semua bergerak begitu saja. Dia hanya mampu mendengar melodi indah kehidupan melalui matahari yang tergenang di ujung sana.

Dua tahun sudah ia tak melihat sosok Agus berdiri di depannya. Rasanya menyayat ketika bahkan tak tahu kepada siapa dia harus bertanya tentang keadaannya. Di setiap sujudnya, tertatihkan doa-doa melalui air mata suci yang mengembun di setiap sepertiga malamnya. Mengeluhkan apa pun yang ia rasakan pada Dia. Menjaga sosok yang dirindui hatinya itu melalui doa-doa. Entah sedang apa ia di sana. Entah di mana sekarang ia berada. Allah Maha Tahu. Allah Maha Penyayang. Allah Maha Penjaga.

“Rara!”

Terdengar suara laki-laki yang tengah berlari memanggilnya. Rara menoleh ke belakang. Kemudian berdiri menanti sosok itu datang lebih dekat. Semakin dekat ia tahu bahwa sosok itu adalah sosok laki-laki yang berseragam polisi. Apakah itu Agus? Diamatinya perlahan. Senja tak lagi terang karena sudah separuh matahari tenggelam di depan sana. Sosok yang tak begitu terlihat itu masih berlari hingga akhirnya sampai tepat di depan Rara.

“Rara.” Sosok itu tersengal-sengal napasnya.

“Rara, Agus telah meninggal di bumi Suriah tadi pagi karena melindungi seorang ibu dan anak kecilnya yang terjebak di tengah acara penembakan.”

Rara merasakan tubuhnya mendadak terasa begitu dingin. Persendiannya patah di mana-mana hingga akhirnya jatuh lunglai di atas pasir. Gelap.

“Terimakasih, Rara. Kautelah membuatku melabuhkan cinta yang sesungguhnya kepada Dzat Sang Maha Pencipta. Aku menunggumu, menunggumu di sini. Jangan menangis, jangan menangis. Allah sudah menyiapkan tempat kita berbagi kasih secara halal.. Tanpa satu pun makhluk yang mampu menghalanginya. Labuhkan cintamu pada Allah seperti tu, Rara. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. Sesungguhnya Dia benar-benar memberikan tempat terindah bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Jadilah bidadari surga untukku. Jaga dirimu baik-baik di sana, Rara. Di sini Allah menjagaku di atas doa dan keikhlasan hatimu…”

Oleh: Hanifah Permatasari, Ngawi Jawa Timur

Tinggalkan Balasan