[Cerpen] Sarjana untuk Fuad

0
507

Matahari telah begitu terik saat Fuad menapak boulevard kampus biru. Kendaraan yang lalu lalang melintasi bundaran tak memikat perhatiannya. Ia hanya berjalan terus ke utara, sesambil menyeka peluh yang merembes dari sekujur pori kulit tubuhnya. Sekarang, di hadapannya, di sejauh pandang mata melabuh, berdiri kokoh bangunan megah berwarna merah yang dulu pernah begitu diagungkannya. Tepatnya dua tahun lalu, saat dirinya mengenakan toga kebesaran dengan titel baru sebagai sarjana.

Waktu itu, ia benar-benar bahagia telah mempersembahkan selempang kuning bagi keluarga kecilnya. Maklum, ia hanya tinggal bersama kedua orang tua dan seorang adiknya. Air mata Ibu Fuad mengucur deras melihat sulungnya dengan gagah menaiki podium kebesaran. Bapak Fuad bersujud sembah atas gelar akademis yang berhasil digondol putranya. Ia rasa anaknya begitu cerdas, meski harus mengaku tak pernah mewariskan sifat tersebut kepada anaknya. Pikiran Fuad benar-benar melambung dan hanyut dalam puji-pujian serta salam-salaman.

***

            Enam tahun lalu, Fuad ingat saat dirinya dan ribuan mahasiswa baru lainnya melakukan seremoni penerimaan mahasiswa baru. Ekspresinya sangat bersemangat meski batinnya ragu. Ia belum yakin betul akan menghabiskan tahun-tahunnya mempelajari asal-usul kehidupan dan ilmu pengetahuan. Filsafat tampak begitu saru baginya. Yang ia genggam hanyalah perasaan bangga telah diterima sebagai keluarga besar kampus biru. Ia belum tahu orientasi hidupnya di masa yang akan datang. Terlalu jauh, ia bahkan belum tahu bagaimana caranya menghabiskan hari-harinya berfilosofi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, dan kemudian lusanya lagi. Kalau boleh berandai, mungkin program studi pendidikan matematika jauh lebih akan dipilihnya. Karena ia dari jurusan IPA dan ia suka matematika. Tapi, nasi telah menjadi bubur.

Dan kini, semua yang dialaminya bagaikan mimpi buruk yang datang serta merta di siang dan malam hari. Fuad, yang sarjana cumlude, telah hampir genap dua tahun menganggur. Bapak Fuad yang sehari-harinya bekerja serabutan tak pernah absen mencerca sulungnya. Adik Fuad yang tahun ini beranjak kelas dua SMA menjadi begitu fobia filsafat. Ibu Fuad bereaksi lebih lunak di banding suami dan bungsunya. Ia menasihati sulungnya agar bersikap lebih terbuka dan lebih banyak bergaul dengan orang lain agar mudah mendapat pekerjaan.

***

            Hari ini adalah hari Senin yang panas. Fuad tetap berjalan ke arah gedung megah berwarna merah. Dari selebaran yang digenggamnya, ia tahu di gedung itu baru berlangsung pameran khusus bagi para pencari pekerjaan. Tekadnya kali ini adalah untuk mengakhiri paceklik penganggurannya. Sesampainya di regol gedung, tumpah ruah anak manusia yang menyemut berdesak-desakan makin terlihat dengan jelas. Belum pernah ia melihat pameran buku atau pameran sejenis lainnya secentangperenang pekan raya ini. Mendadak pikirannya pesimis harus berkompetisi dengan orang-orang sedemikian banyaknya.

Fuad memulai pencariannya dengan mengunjungi stan demi stan. Tiap kali berdiri menyimak presentasi, ia harus tergeser posisinya karena dorongan orang yang kian berjubel memadati area pekan raya. Ia berjalan berhimpitan dengan orang-orang yang senasib sepenanggungan macam jamaah haji yang bergencet-gencetan melakukan tawaf di ka`bah. Menyadari usahanya nihil, Fuad kian pesimis. Ia rasa badan dan hatinya begitu penat tanpa informasi yang ia terima secara bulau-bulat. Ia pun pulang dengan tangan hampa.

* * *

            “Le, obah kana lo![1] Sana bergerak biar banyak kenalan! Dari dulu kok kerjaannya hanya mengeram terus… Kapan jadi orang sukses kalau begitu!” ucap bapak menyindir Fuad yang sedang mengetik bahan skripsi kliennya.

Fuad yang tengah asyik mengamati layar komputer merasa terusik. Ekspresinya kecut meski hanya diam. Ia terus mengetik tanpa mengindahkan bapaknya. Di dapur, ibu sedang memincuk jajan pasar yang biasa dititipkannya di sekolah-sekolah dasar sekitaran rumah.

“Kamu tu mbok ngerjakan pekerjaan rumah apa gitu! Jangan hanya terima duduk depan komputer. Mbenerin jemuran atau ngecat tembok depan sana! Bocah lanang kok terima cuma jadi kuli skripsi. Oalah le le.”

“Apa lagi to Pak? Tiap hari kok tema pembicaraanya ini-ini saja? La wong Fuad juga dapat tambahan duit dari yang Fuad lakukan sehari-hari ini. Lagipula Fuad sudah tidak pernah minta duit ke bapak dan ibu. Apalagi yang musti dirisaukan?” Fuad menatap Bapak serius.

“Ah, Kamu itu memang cerdas tapi sebenarnya bebal, Fuad! Kalau tahu Kamu bakal seperti ayam kate begini, bapak ndak usah susah-susah dukung kamu kuliah!” ucap bapak meninggi.

“La memang Bapak kan ndak dukung Fuad. Orang Fuad kuliah juga dari beasiswa kok.”

“Dasar anak kurang ajar! Sekali lagi kamu bicara lagi, ayo, sekali lagi. Biar tangan Bapak sendiri yang nempiling[2] mukamu.”

Bapak Fuad muntab. Ia terlihat garang, tapi Fuad tetap berdiri, terpaku tanpa rasa takut sama sekali. Tanpa rasa menyesal juga ia kembali duduk, khidmat mengetik sampai paripurna.

Dari ruangan sebelah, terlihat ibu berbincang-bincang dengan bapak untuk meredam kemarahannya. Fuad mendengar bapaknya mencomel tak keruan. Terdengar juga bapak memarahi ibu. Suara bapak benar-benar membuat telinganya panas. Ia pun datang menghampiri mereka.

“Nah ini dia,” bapak menunjuk Fuad, “Ini anak yang nggak tahu diri. Makin besar makin kurang ajar. Dikasih tahu, masuk lewat telinga kanan, keluar lewat telinga kiri. Bobrok!” ucap bapak sambil meninggalkan Fuad dan ibunya.

Nampak mata ibu berkaca-kaca. Ia tak pandai menyembunyikan perasaannya. Fuad yang masih terdiam menghampiri ibunya dengan haru. Dipeluknya orang yang telah melahirkan dan membesarkannya, lalu dielus-elusnya punggung wanita tersebut dengan hangat.

“Bu, maafkan Fuad ya, telah berlaku kurang ajar terhadap ibu dan bapak. Fuad tidak pernah bermaksud menyakiti hati ibu dan bapak. Fuad hanya membela diri karena bapak selalu dan selalu menyindir Fuad. Fuad tidak pernah bermaksud melawan, tapi entah, ada bagian dalam diri Fuad yang tidak bisa terima dengan apa yang bapak lontarkan. Kadang ucapan bapak tajam sekali, Bu. Kadang Fuad tak tahan dan sempat terpikir untuk melakukan hal yang tidak masuk akal… Tapi Fuad berjanji Bu, Fuad tak akan berhenti sampai mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik dari apa yang bisa Fuad lakukan saat ini. Sekali lagi, maafkan Fuad ya, Bu.”

Ibu melonggarkan dekapan Fuad. Ditatapnya Fuad dengan mata yang masih sembab.

“Asal Kamu tahu saja, Le. Bukan itu maksud Bapak. Bapak dan ibu tidak pernah menuntut Kamu dan adikmu agar bisa menjadi pengusaha kaya raya. Kami tidak pernah menuntut kalian untuk hidup mapan dan memiliki pekerjaan dengan penghasilan jutaan atau bahkan ratusan juta perbulan,” ibu bertutur lirih.

Fuad menyimak ucapan ibu dengan saksama.

“Le, Fuad, Apa kamu pernah mencoba untuk menyelami jalan pikiran bapak? Lihatlah saudara kita yang di kampung. Sebagian besar keluarga kita hidup dalam kesusahan. Lihat betapa banyak anak-anak bude dan saudara-saudara kita yang merantau ke ibukota. Mereka terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Mereka bahkan telah lupa untuk bersekolah,” ibu menghela napas dalam-dalam dan melanjutkan, “Dan itu semua tidak akan pernah kami biarkan terjadi pada anak-anak kami. Bapak dan ibu telah berjanji menyekolahkan kalian setinggi-tingginya. Tahu Kamu keinginan Bapak?”

Kembali Fuad menggeleng pasrah.

“Agar Kamu dan adikmu punya tanggung jawab yang tinggi terhadap kondisi sosial di sekitar kalian. Dengan menguasai ilmu, bapak yakin, kalian akan lebih peka melihat lingkungan sekitar. Dengan ilmu pula, bapak yakin kalau kalian punya solusi yang bijak untuk memperbaiki dan memajukan kesemrawutan hidup. Itulah yang tidak dipunyai oleh bapak kalian. Ia tahu ada keadaan yang harus diubah dari lingkungan yang semakin carut marut, tapi bapak dan ibu tidak tahu harus mulai dari mana. Kamu tahu sendiri kan bagaimana pendidikan bapak dan ibu.”

“Lantas apa yang seharusnya Fuad lakukan untuk itu, Bu?” tanya Fuad masih bingung.

“Le, jadilah orang yang sukses! Belajarlah untuk lebih peka terhadap lingkungan sosial. Banyak PR yang harus kalian kerjakan. Dan, Bapak berharap suatu hari nanti Kamu bisa memberi lapangan pekerjaan bagi saudara-saudara kita di kampung. Mereka sangat kesusahan, Fuad.”

Fuad tersudut di ujung petak ruang tamu. Ibu telah meninggalkannya dengan selusin tanda tanya, mewariskan berupa-rupa pesan abstrak yang bisa jadi semakin membebani hari-harinya.

* * *

             Hari-hari Fuad berlalu lebih lama dari biasanya. Ia rasa putaran jarum jam melamban sekian detik. Pikirannya dipenuhi oleh gambaran tentang bapak yang tak pernah disangka-sangkanya. Rasa bersalah yang terlalu besar membuat semacam ganjalan bagi hidupnya yang selalu datar. Ia tahu betul telah seratus persen salah tentang bapak. Tapi ia juga tak rela dibilang tak berguna seperti hari-hari terakhir bapak mengatainya.

Tiap waktu senggang Fuad hanya melamun. Kata-kata ibu beberapa hari lalu masih terngiang jelas dalam benaknya. Ucapan itu datang dan pergi tanpa diundang. Hal itu cukup menjadikan hari-harinya menjadi semakin berat. Dan berbekal serpihan harapan yang berserak-serak, Fuad kembali membangun semangatnya untuk menjadi orang sukses.

Mula-mula Fuad mencari info lowongan pekerjaan lewat google, kemudian berlangganan konten untuk hal yang sama lewat email, memperluas jaringan lewat diskuisi milis-milis, sampai mem-bookmark segala macam alamat website dan blog tentang perusahaan-perusahan yang masih membuka kesempatan lowongan pekerjaan. Semua ini adalah tentang mendapatkan pekerjaan. Pikiran Fuad menjadi terlampau fokus pada kesempatan-kesempatan yang mungkin diberikan kepadanya. Ia telah lupa pada kreasi yang mungkin dapat dilakukan dan diciptakannya.

Pikirannya menjadi semakin tertekan saat insaf telah tak bisa berkonsentrasi dalam menyelesaikan skripsi kliennya. Kini, ia tak hanya belum mendapatkan pekerjaan, tapi juga tak mampu menghasilkan pendapatan kecil-kecilan seperti sebelumnya. Sisihan uang pribadinya semakin tipis dan ia tak sampai hati meminta uang jajan pada bapak dan ibunya. Pada kesempatan terakhir ia telah sah menamai diri sebagai penganggur sejati.

Lewat dua hari Fuad sama sekali tak menghidupkan komputernya. Ia masih dirajai kebimbangan untuk mencoba peruntungan dengan cara yang lain. Mungkin metode bapak bisa saja berhasil kalau dicoba. Ya, selama ini Fuad terlalu introver untuk ukuran bujang yang telah menggondol gelar sarjana. Dengan tetangga, ia jarang menyapa. Teman dan kenalannya juga lebih banyak di dunia maya ketimbang dunia nyata. Cara bapaknya yang selama ini dianggapnya konvensional, memang masih menjadi ranah yang asing untuk dicobanya.

*  *  *

            Demikianlah waktu berjalan terus-menerus. Fuad kian diliputi rasa frustasi. Sudah dua kali sejak uang simpanannya habis, ia minta uang pada ibu. Ia jarang keluar kamar dan bicara. Sesekali keluar kamar ia langsung ngeloyor pergi meninggalkan rumah. Dan saat pulang, tak pernah ditemui wajah selain raut kekecewaan dan kelelahan. Bapak dan ibu Fuad hanya menghela napas menyaksikannya.

Pada siang-siang hari Selasa, suatu kali saat Fuad baru pulang, Bapak bermaksud untuk membesarkan hati anaknya. Ia tak tega melihat bujangnya begitu tertekan sebab tak mampu meluluskan harapan orang tuanya.

Terdengar suara Bapak sesaat setelah bunyi ketukan pintu, “Fuad, hei, Le, buka pintunya sekarang!”

“Ada apa Pak?”

“Buka dulu, bapak baru bicara.”

Tanpa sepatah kata menyahut, Fuad bangkit dari rebahnya. Terlihat engsel pintu berputar. Pintu terbuka tak lama kemudian. Fuad kembali ke ranjang satu kali dua meternya. Kali ini ia duduk. Bapak langsung menyusul Fuad untuk duduk di sampingnya.

“Le, bapak tahu apa yang Kamu rasakan. Tapi hidup harus optimis dan rasional. Tak perlulah berlebihan seperti ini.” tanpa ba-bi-bu bapak langsung menuju inti pembicaraan.

“Lalu, menurut Bapak, Fuad harus bagaimana?” ucap Fuad ragu, sesambil menoleh ke arah Bapak. Air mukanya pasrah.

“Entahlah… hanya, Bapak tak pernah menyangka hari-hari belakangan ini akan terjadi. ”

Fuad dan bapaknya kembali temenung. Mereka menanti yang lainnya bicara duluan. Suasana hening menyelimuti keduanya yang terpekur ke lantai ubin berwarna kuning.

“Fuad, tidak seharusnya Kamu menjalani hari-hari terlalu berat seperti ini,” Bapak terhenti bicaranya, tapi kemudian melanjutkan, ‘Mmm… maafkan Bapak dan Ibu telah berharap terlalu tinggi kepada Kamu dan adikmu. Sebenarnya bapaklah yang kurang rasional karena telah memaksakan apa yang tidak mampu Bapak lakukan kepada Kalian. Semua ini hanya menjadikan Kamu tertekan.

“Tidak, Pak. Maafkan Fuad. Fuad lah yang salah. Selama ini selalu kurang ajar dan egois. Fuad terlalu sibuk kuliah hingga lupa arti pendidikan itu sendiri.”

“Ya, mungkin itu ada benarnya. Tapi Bapak juga salah karena sering memaki Kamu. Andai Kamu tahu semua itu Bapak lakukan agar Kalian menjadi laki-laki yang tangguh. Agar Kalian tidak seperti bapak tentunya…”

“Ah, tidak Pak. Kami tidak akan pernah menyesal diajar dengan cara seperti itu. Fuad sangat menyesal sering berkata kasar. Fuad minta maaf belum bisa memenuhi harapan Bapak dan ibu, dan …”

“Dan apa?”

“Fuad minta maaf Pak sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan yang layak.”

“Hahaha…,” bapak terkekeh renyah, “Sudahlah. Semua ini bukan sekadar tentang pekerjaan yang mapan. Banyak orang yang pekerjaannya mapan kehilangan waktunya bersama keluarga. Setidaknya kita di sini masih berkumpul dan tidak kelaparan, itu sudah sebuah anugerah.”

“Lalu?”

“Teruslah berusaha dan melakukan yang terbaik… teruskan apa yang sudah Kamu mulai. Bapak percaya Kamu sudah dewasa. Bapak dan ibu akan selalu mendukung apa yang akan Kamu lakukan. Hanya saja…,”

“Hanya saja apa Pak?”

“Terkadang pendidikan bukanlah hal yang murah dan bisa dicicipi oleh semua orang, seperti halnya bapak dan ibu. Kamu harus bersyukur telah mengenyam pendidikan menjadi sarjana. Banyak orang tua yang ketar-ketir walau untuk meluluskan anaknya sampai bangku SMA. Sarjana seharusnya tak boleh memiliki bekal ilmu dan pengetahuan sama dengan lulusan SMA atau bahkan jenjang di bawahnya. Kamu harus membantu, memberi jalan buat mereka dan bukan bersaing dengan sengit. Kita ini sesama manusia harusnya membantu, Kan?”

Fuad mengangguk pelan. Tapi, sebenarnya ia tak yakin paham betul dengan maksud bapaknya.

“Intinya, Kamu tidak boleh melewatkan potensi dan kemampuanmu buat duduk manis depan komputer, menyaksikan dunia berubah dan berganti keadaan tiap detik. Kamu harus bergerak sendiri dan tidak menyerahkan kesuksesan pada kesempatan yang diberikan oleh orang lain. Jadi, mulai sekarang, bangunlah kesuksesan kamu sendiri dan jangan pernah ragu dengan bekal ilmu yang telah Kamu dapatkan.”

Bapak yang merasa cukup berbincang dengan sulungnya hendak bangkit dan menuju aktivitasnya. Ia berjalan meninggalkan Fuad. Sesampai di pintu, Fuad terdiam dan berkata, “Modal. Tentu saja semuanya butuh modal.”

Bapak yang tadinya berjalan memunggungi Fuad menoleh untuk berkata, “Untuk itulah Kamu Kuliah. Percayalah, untuk semuanya, sebenarnya Kamu jauh lebih tahu daripada Bapak.”

Bapak pergi seperti halnya apa yang pernah dilakukan oleh ibu beberapa waktu lalu. Tinggallah Fuad sendiri dengan pikirannya. Ia rasa ada kejernihan yang mulai menjamah pikirannya. Tak lama, Fuad duduk depan meja belajarnya. Ia nyalakan komputer dengan sabar dan mulai terlihat tersenyum tanpa sebab. Ia telah temukan cara menuju kesuksesan.

Oleh: Sukron Tajudin, Sleman DI Yogyakarta 


[1] Nak, beraktivitas sana!

[2] Menghajar, memukul

Tinggalkan Balasan