Ulasan sejarah mengenai sebuah nama atau istilah tertentu pasti terkait dengan sebuah kejadian. Sedikit sekali sebuah istilah dipakai tanpa melalui sebuah peristiwa. Sebagai contoh, Kota Surabaya dinamai demikian karena cerita tentang ikan hiu (Suro) dan buaya (boyo) yang konon pernah terjadi di masanya. Demikian pula kata tarwiyah dan `arafah. Kedua kata tersebut disematkan pada hari kedelapan dan sembilan Dzulhijjah tak lain karena ada aspek historis yang melatarbelakanginya.
Kata tarwiyah bersighat masdar yang artinya berfikir. Banyak versi yang melatarbelakangi munculnya kata tarwiyah. Diantaranya: Pertama, pada hari itu Nabi Adam as. diperintahkan Allah guna membangun Baitullah. Tatkala dia sedang membangunnya kemudian dia merenung dan berfikir, apakah yang ia lakukan mendapat pahala dari Allah? Kedua, kisah tentang Nabi Ibrahim as. yang dalam mimpinya ia diperintah untuk menyembelih anaknya lalu di pagi buta dia berfikir apakah mimpi itu datang dari Allah atau dari setan[1].
Kata kunci dari kedua aspek historis di atas adalah proses berfikir. Kata tarwiyah ternyata disematkan pada hari kedelapan Dzulhijjah lantaran pada hari itu adalah hari berfikir bagi kedua Nabi tersebut di atas. Oleh karena itu, maka wajar kalau hari itu dinamai hari tarwiyah alias ‘hari berfikir’.
Sedangkan untuk historis hari `arafah merupakan kelanjutan dari kisah Nabi Ibrahim as. Di hari kesembilan Dzulhijjah Nabi Ibrahim melalui sebuah wahyu baru mengetahui kalau mimpinya benar-benar datang dari Allah. Karena pengetahuan inilah akhirnya pada hari itu dinamai hari `arafah yang tak lain artinya ‘hari mengetahui’[2]. (TA)