Membuka Tabir Nepotisme Pada Masa Khalifah Utsman

0
494

Dewasa ini, praktik nepotisme sudah lazim terjadi, terlebih lagi di Indonesia. Nepotisme berarti kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara, terutama dalam jabatan pemerintahan meskipun belum memenuhi syarat. Namun perlu kita ketahui, ada dua praktik nepotisme. Pertama; menunjuk anggota keluarga untuk menduduki jabatan berdasarkan kekeluargaan. Kedua; menunjuk anggota keluarga untuk menduduki jabatan berdasarkan kemampuan dan karkateristik yang baik dan memenuhi syarat sebagai pemegang jabatan. Maka dari itu, kita harus menengok kembali peristiwa penting yang terjadi pada masa kekhalifahan, yaitu pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dalam pemerintahannya, Utsman menunjuk beberapa saudaranya untuk menduduki jabatan pemerintah. Akhirnya, para ahli sejarah menilai bahwa Utsman telah melakukan tindakan nepotisme. Dengan menengok kembali sejarah tersebut, kita akan mengetahui benar tidaknya isu nepotisme tersebut.

Adapun keluarga Utsman yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagai Gubernur Syam. Beliau termasuk keluarga dekat Utsman. Lalu pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asyari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman. Pemimpin Mesir, Amr bin Ash, diganti dengan Abdullah bin Saad bin Abu Sarah, yang merupakan saudara seangkat Utsman. Kemudian Marwan bin Hakam, ipar Utsman diangkat menjadi sekretaris negara.

Pertama adalah Muawiyah yang diangkat sebagai Gubernur Syam sejak masa Khalifah Umar. Selama menduduki jabatan, Muawiyyah telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Selain itu, Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pada masa Khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya yang sangat baik.

Adapun penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagai tindakan nepotisme. Karena proses pergantian tersebut didasarkan atas kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari turun dari jabatan karena dinilai terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan negara untuk kepentingan rakyat. Abu Musa juga dinilai lebih mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Setelah menurunkan jabatan Abu Musa, Khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Kemudian rakyat Basyrah memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun akhirnya pilihan rakyat tersebut gagal menjalankan roda pemerintahan. Kemudian rakyaat Basyrah menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah Utsman. Kemudian Khalifah Utsman menunjuk Abdullah bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerimanya. Abdullah sendiri telah menunjukkan prestasi baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian penunjukan Abdullah tersebut belum dapat dijaikan sebagai motif nepotisme Utsman.

Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr bin Ash selaku gubernur dan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah selaku amil. Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan pajak yang akan digunakan untuk pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr menjadi gubernur sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah. Maka kemudian Amr bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur.

Sedangkan diangkatnya Marwan bin Hakam, ipar Khalifah Utsman sebagai sekretaris negara juga tidak bisa dijadikan isu nepotisme. Marwan sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli baca Alquran, periwayat hadits, serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan. Marwan juga dikenal sebagai sosoksederhana dan jauh dari kemewahan. Dengan demikian pemilihan Marwan tersebut bukanlah motif nepotisme, justru merupakan keharusan dan kebutuhan negara.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa isu nepotisme negatif dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar sebab tindakan Utsman tersebut memiliki alasan yang berdasarkan pada kebutuhan dan merupakan kebjakan yang harus diambil. Selain itu, jumlah pejabat negara yang berasal dari keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Perlu kita garis bawahi bahwa dalam pemerintahan, mengangkat seseorang dalam jabatan berdasarkan kekerabatan bukanlah suatu hal yang salah jika hal tersebut benar-benar disandarkan pada karakteristik anggota keluarga yang jelas lebih baik dibandingkan dengan karakteristik orang-orang dari luar keluarga, yang pada tujuannya menyangkut kinerja dan harapan tercapainya tujuan baik.

Namun pemilihan anggota keluarga untuk menempati jabatan pemerintah pada masa Khalifah Utsman dengan dasar pengenalan karakteristik, jelas kurang tepat diterapkan pada masa ini. Mungkin karena kecilnya kemungkinan pemimpin pada masa ini mengangkat keluarganya sebagai pejabat atas dasar pengenalan karakteristik, namun lebih condong pada dasar kekeluargaan saja tanpa memiliki keahlian cukup. Padahal jika suatu urusan dipegang orang yang tidak ahlinya, maka akan menyebabkan kerusakan. Kita bisa lihat realita sekarang, misalnya dalam kasus rekrutmen pegawai negeri, dari sepuluh orang yang lulus seleksi dengan nilai yang sama hanya dua orang yang diterima. Secara rasional pimpinan penentu kelulusan itu mengambil yang terdekat pada dirinya (family). Padahal semestinya yang lebih berkompeten, itulah yang berhak menduduki jabatan. Setidaknya, ada syarat-syarat tertentu untuk menunjuk anggota keluarga menduduki suatu jabatan. Syarat tersebut mencakup kualitas intelektual, professional, integritas, dan semangat kerja dalam kelompok. Persyaratan tersebut akan membawa kesejahteraan publik.

Nepotisme bisa bernilai negatif, bisa pula positif. Walaupun sebenarnya lebih condong ke arah negatif. Melalui nepotisme, terjaring orang-orang dekat berdasarkan garis keluarga yang pada ujungnya dapat memutus kontrol kedisiplinan dan tanggung jawab, karena hubungan dekat menciptakan saling memaafkan saat terjadi kesalahan. Oleh karena nepotisme tersebut berobjek pada jabatan publik, maka tindakan tersebut dianggap sebagai korupsi politis yang berawal dari gila jabatan dan berujung pada korupsi kekerabatan. Dampak nepotisme terlihat pada pemerintahan yang diduduki oleh orang-orang yang tidak memiliki kecakapan, integritas, tanggung jawab, dan tidak komitmen pada rakyat. Akhirnya akan membawa kepada kerusakan.

            Dengan demikian, tindakan Utsman menunjuk anggota keluarganya untuk menduduki jabatan atas dasar pengenalan karakteristik kurang relevan untuk dijalankan pada masa sekarang. Hal itu tidak lain karena sang khalifah mempunyai alasan-alasan yang dapat direalisasikan. Beliau juga termasuk khalifah empat. Sejarahpun telah menempatkan khalifah empat tersebut pada predikat “Ar-Roosyiduun” atas prestasi dalam melestarikan nilai-nilai kepemimpinan. Dengan bukti-bukti tersebut, lantas untuk apa kita mempercayai isu nepotisme Khalifah Utsman tersebut? (Aeni Nahdiyati, Mahasiswi UIN Sunan kalijaga Yogyakarta)

Oleh: Aeni Nahdiyati

Tinggalkan Balasan