Suatu kali, serombongan orang Kanada, murid-murid Sayyid Muhammad bin ‘Alawy Al Maliki Al Hasany r.a., sowan ke Rushaifah, Makkah. Mereka mewadulkan musykilah tentang zakat fitrah. Bagi madzhab Maliki, zakat fitrah harus diberikan berupa “quutul bilaad”, bahan makanan pokok setempat; tidak sah jika diterimakan dalam bentuk uang tunai. Makanan pokok warga Kanada adalah roti dari gandum. Dan hal itu menjadi jalan buntu.
Di Kanada, biaya hidup termahal adalah perumahan. Barang siapa punya rumah –entah milik sendiri entah sewa– pasti cukup kaya dan tidak termasuk mustahiq (berhak menerima) zakat. Di pihak lain, fakir-miskin pasti tak punya rumah; berarti juga tak punya peralatan yang diperlukan untuk mengolah gandum menjadi roti. Kalau mereka menerima gandum 3 kilo, terus mau diapakan? Dijual pun, siapa mau beli?
Alih-alih langsung menjawab pertanyaan muridnya, Sayyid Muhammad mengarahkan mereka agar datang meminta fatwa kepada Syaikh Fulan –sayang sekali saya lupa namanya… teman-teman di Rubath Rushaifah bisa bantu?– seorang Mufti madzhab Hanafi, yang membolehkan zakat fitrah dengan uang tunai. Sayyid Muhammad memegang teguh adab dan maqom. Walaupun beliau memiliki pengetahuan sempurna tentang semua madzhab, termasuk Hanafi, beliau adalah mufti madzhab Maliki. Maka beliau menahan diri dari berfatwa dengan qaul Hanafi, yang menjadi hak mufti madzhab Hanafi.
‘Alaa kulli haal, perbedaan pendapat Maliki-Hanafi dalam hal zakat fitrah menyediakan kelonggaran bagi warga Kanada dalam melaksanakan kewajiban ibadah itu.
Kyai Bisri Mustofa dan adiknya, Kyai Misbah Mustofa, lahir dari rahim yang sama, Simbah Aminah Zayyadi; berguru kepada orang sama, Kyai Kholil Harun; mereka mondok dan ngaji bersama-sama, belajar kitab-kitab yang sama, yaitu Alfiyah Ibnu Malik dan Fathul Mu’in. Tapi di kemudian hari, mereka tidak pernah satu kata dalam pendapat fiqih apa pun!
Kyia Bisri menghalalkan KB, Kyai Misbah mengharamkannya. Kyai Bisri tak suka santri melakoni tirakat yang berat-berat, adiknya menganjurkannya. Kyai Misbah mengharamkan bank, kakaknya menghalalkannya. Kyai Misbah berat, Kyai Bisri enteng.
Kyai Misbah konsisten dengan pandangannya, sehingga tak mau pergi haji lewat Pemerintah, yang berarti juga harus menggunakan jasa bank. Beliau nekad menempuh jalan sulit dan berliku-liku untuk mendapatkan visa dan transportasi “Haji swasta” bersama isterinya. Di pihak lain, Kyai Bisri mendirikan “Yayasan Mu’awanah Lil Muslimin” –YaMu’alim– yang lantas membuka layanan “Bank Haji” –belakangan terpaksa tutup karena kebijakan Pemerintah Soeharto menerapkan sentralisasi layanan haji oleh Pemerintah saja.
Pandangan Kyai Bisri tentang halalnya bank tergolong kontroversial pada masa itu. Tidak sedikit yang mempertanyakan dan menggugatnya.
“Kata Mbah Fulan, orang yang berhubungan dengan bank itu besok kalau mati jadi jerangkong?” seorang santri bertanya.
Toh Kyai Bisri enteng saja,
“Jadi jerangkong ya biar! Wong sudah mati saja. Yang bakalan pusing ‘kan yang masih hidup!” (teronggosong)