Antara Khidmat dan Ilmu

0
347

Oleh: KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy

Ilmu merupakan sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Ilmu tidak bisa dibandingkan dengan apa saja. Justeru segala sesuatu di dunia ini menjadi tidak terlaknat bilamana di dalamnya terpancar cahaya ilmu. Contoh, manusia tidak dianggap terlaknat hanya karena di hatinya memancarkan ilmu. Allah sudah menjanjikan bahwa orang yang memiliki ilmu akan diangkat derajatnya.

Namun, bilamana ilmu dijadikan sikap utama ketika bertindak, khususnya ketika berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, maka ilmu tidak lagi menjadi cahaya yang memancar dari dalam hatinya. Ilmu yang awalnya merupakan sesuatu yang tidak ternilai dan tidak bisa dibandingkan apa sapa, namun ketika ilmu yang didahulukan ketika bertindak, maka keberadaan ilmu tidak lagi ada nilainya, bahkan bisa dibandingkan dengan sesuatu yang sangat rendah dan Ā hina.

Orang yang mendahulukan ilmunya ketika berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya, dia merasa dirinya harus diperlakukan dengan istimewa. Ketika berkumpul dengan orang-orang, dia harus berada di depan atau di atas. Ketika berdiskusi, pendapatnya tidak boleh ditentang, harus diterima. Ketika berjalan di tengah orang-orang, dia harus dihormati. Ketika bersalaman dengannya, tangannya harus dicium.

Begitulah orang yang berambisi dengan ilmunya. Orang yang seperti itu adalah -memang- orang yang berilmu tapi sombong. Kesombongan itu diakibatkan mendahalukan ilmu dari pada khidmat. Sesungguhnya, bagi siapapun, lebih-lebih orang yang berilmu, ketika bertindak dalam hal apa saja, dengan siapa saja, yang harus didahulukan adalah khidmat.

Antara khidmat dan ilmu merupakan dua hal yang tidak boleh terpisahkan. Keduanya memiliki posisi tertentu. Khidmat didahulukan kemudian ilmu mengiringi di belakang. Khidmat merupakan sikap pengabdian diri pada siapa saja. Yang namanya pengabdian harus menerima apa saja, termasuk menerima perlakuan tidak baik. Jangan enggan ketika harus melakukan hal-hal yang sepertinya tidak layak dilakukan karena hanya merasa sudah memiliki ilmu. Jangan malu untuk berbuat sesuatu karena merasa bukan levelnya hanya karena merasa memiliki ilmu. Jangan merasa terhina disaat ada sesuatu yang harus dikerjakan dan ternyata tidak dikerjakan karena menurut pandangannya itu membuat dirinya tidak dihargai, hanya krena merasa memiliki ilmu.

Orang yang mendahulukan ilmunya, biasanya memiliki ungkapan seperti ini ā€œsaya ini orang alim. Jadi, ketika saya berpendapat, pendapat saya harus diterima. Jika tidak diterima, saya malu sebagai orang yang dikenal alimā€ atau, ā€œorang-orang kok tidak menghormati saya ketika saya lewat dan tidak mencium tangan saya ketika mereka bersalaman. Padahal mereka tahu saya ini orang yang alimā€ atau ā€œAh, ngapain saya melakukan ini, ini kan pekerjaan yang tidak layak dilakukan orang yang alimā€ atau ā€œjika saya tidak menjawab pertanyaan ini, nanti saya dibilang tidak alim atau kealiman saya yang sudah dikenal akan hilang. Ah, saya jawab saja pertanyaan ini meski saya sebenarnya tidak tahuā€ atau yang lainnya.

Berbeda dengan orang yang lebih mendahulukan khidmatnya, dia tidak akan merasa sombong. Justeru dia enggan jika diperlakukan dengan istimewa. Dia tidak pernah merasa malu untuk melakukan apa saja yang penting tidak bertentangan dengan Agama, meskipun menurut orang-orang itu tidak layak atau bukan levelnya. Ketika dia mendapatkan perlakuan istimewa, dia merasa beban. Karena hal itu harus membuat dirinya berhati-hati dengan ilmu yang dimilikinya.

Orang berilmu yang mendahulukan khidmatnya, biasanya memiliki prinsip seperti ini ā€œsaya ini orang yang diberikan anugerah berupa ilmu oleh Allah. Jadi, saya harus menjaganya dengan berhati-hati, tidak boleh ada kesomobongan dalam hati yang kemudian muncul dari setiap sikap dan ucapan sayaā€.

Akibat orang yang berilmu tapi mendahulukan ilmunya, dia sulit beradaptasi dengan orang-orang, karena dalam berinteraksi masih mamilih dengan siapa yang layak berinteraksi. Jika bukan levelnya enggan atau acuh tak acuh. Selain itu, dia sulit diterima di masyarakat atau malah masyarakat menganggap dia sampah. Akibat yang sangat fatal adalah dia tidak akan mendapatkan nilai derajat dari Allah. Allah tidak akan memandang orang yang di hatinya tersimpan kesombongan, apa lagi dia orang alim yang seharusnya tidak pantas bersikap seperti itu.

Bagi orang yang berilmu dan mendahulukan khidmat, dia akan mendapatkan nilai yang baik dari masyarakat. Dia tidak pernah memandang orang lain dengan sebelah mata, tidak memilih ketika beintraksi harus dengan siapa. Kepada semua orang dia bersikap rendah hati, tidak sombong. Sehingga orang-orang yang beintraksi dengannya, merasa nyaman bahkan merasa ada pancaran cahaya yang bersinar dari dalam dirinya, karena ilmu yang dimilikinya. Tentu, orang yang seperti ini mendapat nilai mulia dan diangkat derjatnya oleh Allah.

Perbedaan yang mencolok dari orang yang mendahulukan ilmu dan orang yang mendahulukan khidmat adalah orang yang mendahulukan khidmat dia enggan mengedapan diri atau tampil, kecuali memang dibutuhkan atau keadaan mendesak. Sementara orang yang mendahulukan ilmu, dia selalu saja ingin ada di depan atau tampil agar dirinya dikenal atau popular di hadapan publik.

Sejatinya, orang yang berilmu harus bersikap tidak sombong agar ilmunya tidak menjadi sia-sia atau malah menjadikan dirinya sampah di tengah-tengah masyarakat. Dahulukan khidmat kemudian ilmu mengiringi di belakang.

Tinggalkan Balasan