Oleh: KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy
Dikisahkan, suatu malam setelah Nabi datang dari perjalanan, Nabi keluar lagi dari rumah Siti Aisyah. Padahal malam itu jadwal Siti Aisyah untuk mendapatkan bagian. Siti Aisyah merasa gelisah dan cemburu, karena khawatir malam itu Nabi tidak menginap di rumahnya dan malah menginap di rumah istri yang lain.
Setelah beberapa jauh Nabi berangkat, Siti Aisyah mengejar Nabi, mengikuti dari belakang dengan jarak sekiranya Nabi tidak mengetahui Siti Aisyah membuntuti. Dengan hati-hati Siti Aisyah mengikuti Nabi dari belakang dengan tetap menjaga jarak. Dalam pikirannya, Siti Aisyah bertanya-tanya, hendak kemanakah Nabi malam-malam begini?
Dari langkahnya, ternyata Nabi menuju ke arah Baqi’ untuk berziarah. Dari kejauhan Siti Aisyah diam memperhatikan Nabi sambil menunggu hendak ke mana Nabi setelah berziarah. Tak berapa lama, Nabi terlihat akan kembali ke rumah Siti Aisyah. Siti Aisyah pun bergegas dengan lakngakh yang cepat untuk kembali ke rumahnya.
Setelah Nabi sampai di rumahnya, Nabi masuk ke kamar Siti Aisyah. Melihat siti Aisyah bernafas tidak stabil, Nabi bertanya, ada apa? Tidak ada apa-apa, jawab Siti Aisyah. Sebenarnya meskipun Siti Aisyah tidak menjawab dengan jujur, Nabi sudah tahu hal itu. Karena Nabi sudah tahu meski tidak dengan kasat mata.
Tuduhan buruk itu dari oknum
Kisah di atas mungkin salah satu bukti tentang sifat Siti Aisyah yang pecemburu. Tidak hanya beberapa kisah yang menjelaskan tentang sifat Siti Aisyah itu, Nabi sendiri mengakui dan menyatakan bahwa Siti Aisyah memang salah satu isterinya yang pecemburu.
Sifat Siti Aisyah yang pecemburu ini oleh sebagian orang dianggap sesuatu yang ganjal. Karena menurut mereka, kepada seorang Nabi tidak pantas bersikap seperti itu. Oleh sebab itu, mereka menyalahkan bahkan menjelek-jelekkan Siti Aisyah dengan kata-kata caci-maki. Mereka menanggapi sikap Siti Aisyah yang seperti adalah suatu hal yang buruk.
Namun, ada sebagian yang menanggapi dengan bijak. Ada yang menjawab ketika ditanya tentang sifat Siti Asiyah itu, apakah tidak termasuk cangkolang pada Nabi? Dia menjawab, tidak, karena cintanya Siti Aisyah besar maka rasa cemburunya juga besar.
Tentang anggapan buruk mengenai sikap Siti Aisyah sesungguhnya itu oknum yang sengaja ingin menjelek-jelekkan Siti Aisyah. Hal ini sama halnya dengan kasus tentang tuduhan perselingkuhan Siti Aisyah yang disebarkan oleh orang munafik ketika itu.
Sebenarnya, jika ada sesuatu yang baik lalu ada sebagian orang yang menganggap itu jelek. Orang itu dimungkinkan adalah oknum yang sengaja ingin merusak kebaikan sesuatu itu. Begitu juga dalam kasus yang terjadi pada Siti Aisyah. Siapa yang tidak mengakui kebaikan dan kesalehan Siti Aisyah? Semuanya mengakui, bahkan hingga sekarang semuanya mengakui, kecuali memang ada oknum yang bertujuan jelek.
Analisa tentang sifat Siti Aisyah yang pecemburu
Jawaban tentang sifat Siti Aisyah yang pecemburu di atas benar dan bijak. Memang, siapa saja yang merasakan cinta yang dalam dan besar, kecemburuan yang dia rasakan pasti juga besar dan dalam. Kecemburuan merupakan salah satu tanda atau bukti adanya rasa cinta. Jika ada orang mengaku cinta tapi ketika orang yang dicintai melakukan hal yang sebenarnya pantas dicemburui ternyata dia tidak cemburu atau biasa saja, berarti pengakuannya itu palsu atau bohong.
Jadi, rasa cemburu itu wajar dialami oleh orang yang merasakan cinta. Namun yang tidak wajar atau yang menjadi masalah ketika kecermburuan itu diwujudkan dengan sikap yang keterlaluan. Rasa cemburu yang terlalu itu tidak apa-apa -karena memang itu fitrah bagi orang yang cintanya dalam-, yang penting mewujudkan rasa cemburu jangan sampai keterlaluan. Artinya, harus tetap mampu mengendalikan perasaan yang bergejolak kuat dengan sikap yang dewasa.
Kecemburuan dipandang dari aspek sikap seseorang ada dua, ada kecemburuan yang dewasa dan ada kecemburuan yang tidak dewasa. Kecemburuan yang dewasa adalah kecemburuan yang didasari dengan logika yang sehat sehingga kemudian sikap dari kecemburuan itu tidak keterlalaun. Sementara kecemburuan yang tidak dewasa adalah kecemburuan yang lepas kontrol dari logika yang sehat sehingga tampaklah sikap yang keterlaluan. Klasifikasi ini merupakan teguran kepada orang yang mengatakan, tidak ada orang yang dewasa ketika menghadapi masalah perasaan.
Bagaimana dengan sifat Siti Aisyah yang pecemburu, apakah sifat pecemburu Siti Aisyah tidak didasari dengan logika yang sehat, sehingga kecemburuannya tidak termasuk yang dewasa. Jawabannya, perhatikan kisah di atas. Pada kisah di atas ada beberapa catatan yang harus dipahami. Pertama, Nabi pergi di malam jadwal bagian Siti Aisyah. Istri siapa yang tidak khawatir ketika di malam bagiannya sang suami pergi? Ketika khawatir, kemungkinan kekhawatiran itu akan lebih menjurus pada kecemburuan, yaitu mungkin sang suami akan bermalam dengan istri yang lain. siapa yang tidak cemburu ketika di malam bagiannya ternyata suaminya bermalam dengan istri yang lain? Kekhawatiran ini wajar dialami oleh istri yang memiliki suami yang berpoligami.
Kedua, Nabi pergi tanpa ada izin sehingga Siti Aisyah membuntuti. Istri siapa yang tidak curiga ketika suaminya pergi tanpa ada izin, padahal waktu beliau pergi ketika ada jadwal bersama istri yang ditinggal pergi itu? Seharusnya kan ada izin dulu ketika akan pergi di waktu jadwal bagian istri yang akan ditinggal.
Ketiga, ketika Nabi pergi tanpa ada izin, ketika itu kekhawatiran Siti Aisyah spontan muncul yang kemudian menjelma menjadi rasa cemburu. Di saat cemburu, Siti Aisyah memilih sikap membuntuti saja secara diam-diam, tidak sampai bertanya atau malah meneriaki Nabi untuk memberitahu bahwa malam itu adalah bagiannya. Memilih sikap diam di saat hati bergejolak adalah sikap yang baik dan bijak.
Dari tiga catatan di atas mungkin bisa dijadikan bahan untuk memahami tentang sifat Siti Aisyah yang pecemburu. Pemahamannya pasti menyimpulkan bahwa kecemburuan Siti Aisyah termasuk yang dewasa. Karena berdasarkan logika yang sehat dan diwujudkan dengan sikap yang dewasa. Sekaligus, pemahaman ini sebagai bantahan kepada oknum yang masih semangat menuduh Siti Aisyah dengan cara menanggapi yang isinya berunsur misi fitnah.