A. Pengertian Haul
Secara bahasa haul adalah setahun. Sedangkan secara istilah adalah peringatan satu tahun meninggalnya seseorang. Haul merupakan tradisi tahunan yang dilakukan mayoritas umat muslim Indonesia untuk mengenang jasa-jasa ulama, kiai, tokoh masyarakat dan anggota keluarga.
Pembacaan biografi atau manaqib, surat Yasin, tahlil, ceramah agama dan sedekah merupakan rentetan kegiatan yang dilaksanakan pada acara haul. Di pesantren-pesantren, pelaksanaan haul telah menjadi tradisi yang bertujuan untuk mengenang dan mendoakan para pendiri dan pengasuh pesantren yang telah wafat serta untuk meneladani perilaku-perilaku baiknya yang dapat diketahui ketika pembacaan biografi.
B. Dasar Perayaan Haul
Ketika umat islam dihadapkan dengan suatu persoalan, maka cara memecahkannya adalah dengan mencari jawaban di dalam al-Quran. Jika tidak menemukan di dalam al-Quran, maka harus mencari di dalam hadist. Jika tidak menemukan di dalam hadist, maka harus melakukan ijtihad. Runtutan dalil ini berdasarkan hadist Muadz bin Jabal ketika akan diutus oleh Rasulullah ke Yaman yaitu:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو…..
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman bersabda : “Bagaimana engkau akan menghukumi suatu perkara yang datang kepadamu?”. Ia (Mu’adz) menjawab : “Saya akan menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau :“Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah ?” Ia menjawab : “Saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda :“Bagaimana jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur…” (HR. Baihaqi)
Berkenaan dengan perayaan haul, setelah melakukan pencarian dalil, tidak ada satupun ayat yang menjelaskan tentang perayaan haul. Dalam al-Quran hanya ada kata haul untuk persoalan zakat dan masa menyusui, akan tetapi dalam hadist Nabi, ada sebuah penjelasan yang dapat dijadikan sebagai dasar keabsahan perayaan haul yaitu:
كان النبى، – صلى الله عليه وسلم – ، يأتى قبور الشهداء عند رأس الحول، فيقول: « السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار » . وكان أبو بكر، وعمر، وعثمان يفعلون ذلك
“Rasulullah SAW pada setiap setahun sekali berziarah ke makam para shuhada’, dan, beliau berkata dengan “Salamun ‘alaikum bimaa shobartum fa ni’ma ‘uqbad dar”. Abu Bakar juga melakukan seperti itu setiap tahun, demikian juga Umar bin Khothob dan Utsman bin Affan.” (HR. Bukhari)
Rasulullah datang ke makam syuhada` pada tiap tahun dalam rangka mendo`akan para ahli kubur. Hal ini tidak jauh beda dengan tradisi haul yang ada di Indonesia, yang tujuan perayaannya adalah untuk mendo`akan ulama, kiai ataupun tokoh yang dihauli.
C. Rangkaian Acara pada Perayaan Haul Beserta Dalil-Dalilnya
Dalam perayaan haul ada beberapa rangkaian acara. Mulai dari pembacaan manaqib kiai atau ulama yang dihauli, pembacaan tahlil, surat Yasin, ceramah agama dan pemberian sedekah. Semua rangkaian acara tersebut memiliki landasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan secara detail satu persatu dari rangkaian acara tersebut sebagai berikut:
- Pembacaan Manaqib
Manaqiban adalah upacara pembacaan biografi dan keutamaan wali Allah yang menjadi panutan umat. Dalam acara tersebut juga diselingi dengan pembacaa al-fatihah, ayat-ayat al-Quran dan aneka dzikir lainnya, lalu pahalanya dihadiahkan kepada wali yang bersangkutan.
Disebagian daerah pulau Jawa dan Jambi ada yang mengadakan manaqiban Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri tareqat Qadiriyah. Di daerah Kalimantan Selatan banyak yang mengadakan manaqiban Syaikh Muhammad bin Abdul karim al-Samman pendiri tareqat al-Sammaniyah. Tradisi manaqiban sangat baik untuk dilakukan, agar perjuangan dan perjalanan hidup para wali dapat kita hayati bersama.(Muhammad Idrus Ramli, 2010: 66-67).
Ulama menjelaskan bahwa dalam mengenang orang-orang saleh, dapat menurunkan rahmat Allah SWT. Sebagaimana dalam konteks ini Imam Sufyan bin ‘Uyainah, salah seorang ulama salaf dan guru al-Imam Ahmad bin Hanbal, berkata;
عن محمد بن حسان قال سمعت ابن عيينة يقول عند ذكر الصالحين تنزل الرحمة
“Muhammad bin Hassan berkata; Aku pernah mendengar Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “ketika orang-orang saleh dikenang, maka rahmat Allah akan turun.”(Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asbahani, 2000: 285)
Bahkan lebih tegas lagi, Syaikh Ibn Taimiyah mengakui bahwa termasuk tradisi kaum beriman yaitu merasa senang dan nyaman apabila mengenang dan menyebut para nabi dan orang-orang saleh, sebagaimana beliau mengatakan dalam kitabnya, al-Shafadiyyah.
2. Pembacaan Tahlil
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua perbuatan yang belum dikerjakan pada masa Rasulullah adalah dilarang untuk dikerjakan. Misalnya pelaksanaan sholat tarawih secara berjamaah sebulan penuh, pelaksanaan sholat jum`at lebih dari dua tempat dalam satu desa, pegumpulan al-Quran dalam satu mushaf, adzan pertama pada hari jumat dan lain sebagainya.
Semua perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, namun dilakukan oleh generasi setelah Rasulullah, karena tidak bertentangan dengan prinsip dan inti ajaran islam. (Muhyiddin Abdusshomad , 2010: 223)
Demikian pula dengan tradisi berkumpul untuk tahlilan yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat islam di Indonesia. Meskipun tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, namun perkumpulan untuk tahlilan tersebut dibolehkan, karena tidak satupun ada unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran islam.
Sebagaimana dikatakan oleh As-Syaukani bahwa kebiasaan sebagian masyarakat di suatu negara melakukan perkumpulan di masjid, rumah maupun di kuburan, untuk membaca al-Quran dan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah mati, hukumnya adalah boleh. Hukum boleh ini berlaku selama tidak ada kemungkaran dan kemaksiatan, meskipun tidak ada penjelasan secara dhahir dari syariat.
Selanjutnya As-Syaukani menyatakan bahwa para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka dan di masjid dalam rangka mendendangkan syair, mendiskusikan hadist, kemudian mereka makan dan minum. Padahal Rasulullah ada di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, menurut As-Syaukani barang siapa yang mengharamkan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan, maka ia sungguh telah salah. Karena sesungguhnya bid`ah itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan semacam di atas tidak tergolong bid`ah. ( As-Syaukani, 1992: 46)
Sebenarnya perkumpulan untuk tahlil hanyalah sebuah instrumen keagamaan, bukan amaliyah keagamaan. Amaliah keagamaannya adalah sesuatu yang ada di dalam perkumpulan tahlil tersebut yakni pembacaan al-fatihah, surat al-ikhlas, al-mu`awwidzataini, ayat kursi, akhir surat al-Baqarah dan seterusnya.
Tahlil hanyalah sebuah format. Sedangkan hakikatnya adalah pembacaan ayat-ayat al-Quran, dzikir dan do`a. Memang Nabi, sahabat dan tabi`in tidak pernah melakukan format tahlil, akan tetapi hakikat tahlil telah mereka lakukan. Mereka tentunya sering membaca ayat kursi, awal dan akhir dari surat al-Baqarah, membaca tasbih, tahmid dan tahlil.
Oleh karena itu, tidak ada alasan kuat untuk melarang acara tahlilan yang merupakan bentuk doa untuk orang yang telah meninggal dunia. Sebab yang dibaca bukanlah bacaan yang dibuat-buat, akan tetapi bacaan yang bersumber dari al-Quran dan hadist.
3. Pembacaan surat Yasin
Dalam setiap perayaan haul, tidak hanya pembacaan manaqib dan tahlil saja yang dilakukan, tapi pembacaan surat Yasin juga menjadi bacaan rutin yang pahalanya dihadiahkan kepada tokoh yang dihauli. Pembacaannya dilakukan secara bersama-sama oleh semua jamaah yang hadir dalam acara haul.
Pembacaan surat Yasin secara bersama-sama yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah wafat adalah boleh. Menurur pendapat yang shohih dan terpilih pahala bacaan dan amal badaniyah orang lain itu dapat sampai kepada orang-orang yang telah meninggal dunia, dan mereka dapat menerimanya dalam bentuk penghapusan dosa, terangkat derajatnya, memperoleh cahaya, kesenangan dan pahala-pahala lain menurut anugerah Allah. (Al-Habib Zainal Abidin, 2009: 118)
Berkenaan dengan pembacaan Yasin unrtuk orang mati, Nabi bersabda:
عن معقل بن يسار قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم واقرؤوا على موتاكم يس
“Ma`qil bin Yasar berkata, bahwa Rasulullah bersabda :Bacalah surat Yasin atas orang-orang mati kalian semua.”
Ulama ahli tahqiq memberikan penjelasan bahwa hadist ini adalah `am, meliputi bacaan untuk orang yang sedang sekarat dan bacaan untuk orang yang telah meninggal dunia. Menurut kesepakatan ulama orang yang telah meninggal dapat memperoleh manfaat bacaan tersebut. Adapun yang diperdebatkan diantara mereka hanyalah apakah setelah melakukan pembacaan al-Quran harus ada doa agar pahala bacaannya diberikan kepada orang yang dituju. Jika doa tersebut dilakukan, maka tidak ada khilaf dikalangan ulama tentang sampainya bacaan kapada orang-orang yang telah meninggal dunia. (Al-Habib Zainal Abidin, 2009: 119).
Selanjutnya untuk menanggapi pernyatan kelompok yang menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapatkan pahala dari orang lain berdasarkan firman Allah:
وان ليس للانسان الاماسعى
Maka paling tidak ada tiga versi jawaban yang bisa disampaikan. Pertama, Ayat tersebut hukumnya telah dinasakh oleh ayat (الحقنا بهم ذريتهم) yang menjelaskan bahwa anak bisa masuk surga sebab kebaikan orang tuanya. Kedua, ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut kandungannya dikhususkan untuk kaum Nabi Musa dan Ibrahim. Sedangkan umat Nabi Muhammad bisa mendapatkan kiriman pahala dari orang lain. Ketiga, Pengertian seseorang hanya mendapat pahala dari usahanya sendiri itu berlaku selama tidak ada orang menghadiahkan pahala untuknya. Jika ada, maka dia bisa mendapatkan pahala dari orang lain.(Abu An`im, 2010: 20)
4. Sedekah Untuk Orang Mati
Dalam islam bersedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Disamping bernilai pahala di sisi Allah SWT, didalamnya juga terdapat rasa kepedulian dan penghargaan kepada sesama.
Demikian pula bersedekah yang pahalanya diberikan untuk mayit adalah diperbolehkan. Dan di masa Rasulullah SAW, jangankan makanan harta yang sangat berhargapun seperti kebun, disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada mayit. Dalam sebuah hadist shohih disebutkan :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ فَإِنَّ لِى مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibiku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah SAW menjawab,”iya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. An-Nasai).
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitab al-Ruh mengatakan bahwa sebaik-baik amal perbuatan yang dihadiahkan kepada mayyit adalah memerdekakan budak, bersedekah, beristighfar, berdo`a dan haji. (Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, tth:142)
Imam Nawawi al-Banteny dalam kitab Nihayah al-Zain mengatakan bahwa sedekah untuk mayit dengan cara syar`i sangat diperlukan dan tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Adapun pembatasan dengan waktu tertentu tidak lebih karena disebabkan adat saja.(Imam Nawawi, 1992: 281)
Jadi pemberian sedekah yang pahalanya diperuntukkan untuk mayit hukumnya adalah boleh berdasarkan hadist Nabi dan pendapar ulama.
Oleh : Ahmad Muzakki, Bondowoso, Jawa Timur