Seiring dengan perkembangan dinamika keilmuan islam serta kebutuhan masyarakat yang bertambah dinamis, pondok pesantren berhasil mendirikan lembaga Ma`had Aly. Gagasan Ma`had Aly mula- mula dicetuskan KHR.As`ad Syamsul Arifin pada tahun 1990, pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Beliau mendirikan Ma`had Aly dengan takhaskhus bidang fiqh dan ushul fiqh. Ma`had Aly yang dirintis kiai As`ad ini merupakan pelopor kehadiran Ma`had Aly di tengah-tengah masyarakat pesantren di Indonesia.[1]
Disamping Ma`had Aly Situbondo, ada beberapa pondok pesantren lain yang sudah membuka Ma`had Aly seperti pesantren al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada tahun 1993 M, yang dipimpin oleh KH.Zainal Abidin Munawwir, KH.Najib Abdul qodir, dan KH.Warson Munawwir, dengan takhaskhus fiqh. Pesantren al Hikmah Sirampong Brebes Juga membuka membuka Ma`had `Aly pada tahun 1997 yang dipimpin oleh KH.Masruri Mughni, dengan mengambil takhaskhus tafsir dan hadist.[2]
Dari beberapa Ma`had Aly yang telah berdiri, mungkin masih sedikit atau tak ada satupun yang mengambil takhaskhus Aswaja. Padahal saat ini lembaga yang yang menembangkan kajian keilmuan dan penelitian dalam masalah ini sangatlah dibutuhkan. Hampir setiap saat ada aliran baru yang bermunculan di Indonesia, baik produk asli dalam negeri, maupun produk impor dari luar negeri. Hal ini tentunya harus diminimalisir dengan adanya pengembangan potensi pesantren di bidang teologi.
Pada saat ini kehadiran Ma`had Aly Qismil Aswaja sangatlah diharapkan. Tujuannya adalah untuk menyiapkan dan mengantarkan maha santri menjadi ulama yang memiliki sifat-sifat humanis, religius, sebagaimana ditunjukan Rasulullah, juga untuk mengantarkan maha santri menjadi cendikiawan dan ilmuan yang mampu untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah[3]. Dengan tujuan luhur ini, maka visi Ma`had Aly Qismil Aswaja adalah menjadi salah satu pusat studi islam di Indonesia yang fokus dalam membahas aliran-aliran teologi yang berkembang di dunia, serta menjadi benteng pertahanan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Oleh karena itu, Kementrian Agama maupun organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama perlu memikirkan dan action untuk mendirikan Ma`had Aly dengan takhossus Aswaja.
Alasan Pesantren membutuhkan Ma`had Aly Qismil Aswaja
Ada beberapa indikasi bagi sebuah pesantren untuk mendirikan Ma`had Aly Qismil Aswaja :
- Aliran-aliran keagamaan yang bermunculan di Indonesia banyak membawa ajaran yang bertentangan dan perlu adanya pelurusan.
- Pesantren memerlukan kader ahli di bidang teologi, yang diharapkan mampu mendeteksi aliran-aliran sesat.
- Sebagai lembaga pendidikan islam yang berkometmen untuk mendidik umat menjadi orang yang mampu memahami aqidah, syariah, dan akhlaq, perlu adanya lembaga khusus yang fokus membahas tiga hal tersebut.
- Masyarakat memerlukan pemahaman yang benar di dalam menganut sebuah keyakinan
- Kegagalan pendidikan Aswaja membuka peluang masuknya aliran aliran baru
Tujuan Adanya Ma`had Aly Qismil Aswaja
- Mengefektifkan pendidikan Aswaja yang memadai kepada generasi muda agar memiliki daya tahan yang tinggi terhadap kehadiran aliran-aliran baru yang kadang kali sulit untuk dideteksi.
- Membekali santri dengan pengetahuan yang memadai tentang sejarah dan esensi doktrin firqah-firqah agar mampu mengidentifikasi secara seksama.
- Mengawal dan membentengi faham Ahlussunnah wal Jamaah dari ancaman firqah-firqah lainnya.
- Mengantarkan santri agar manjadi cendikiawan yang mampu mempertahankan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah.
- Melakukan pembidangan (spesialisasi) terhadap satu bidang khusus yang disiapkan untuk mempelajari bidang pengetahuan Aswaja secara intensif dan mendalam.[4]
Author: Ahmad Muzakki, Bondowoso, Jawa Timur
[1] DR,Abu Yazid.LLM.MA, Membangun Islam Tengah, (Yogyakarta :Pustaka Pesantren, 2010), hal. 15
[2] Ibid, hal. xxiv
[3] Drs.Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam modernitas dan tantangan kompleksitas global,(Jakarta: IRD Press, 2006), hal. 162
[4] Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Terjemah Fathul Mu`in, Abdul Hiyadh (penerjemah), (Surabaya: Al-Hidayah, 1993), hal. xviii