Tak ada yang bisa memungkiri, bahwasannya manusia sebagai salah satu makhluq-Nya tak pernah lepas dari cela dan dosa. Hanya makhluk pilihanNya_lah yang bisa memfilter sang qalbu dari penyakit yang rentan menjangkit hati manusia. Bahkan, kita survey, –sang Pembawa Risalah—satu-satunya ‘abdun pilihan yang maksum dari sifat madzmumah.
Pun halnya denganku, seorang santri yang tak jauh beda dengan makhluk Allah yang lain. Segala sifat kotor telah bersarang dalam hati, seakan mendarah daging. Tapi keinginan hati untuk menghijrahkan diri menuju manusia kamilah tak pernah sirna.
Riwayat pendidikan SD hingga SMP aku tempuh di luar pesantren. Kehidupan bebas seakan telah mendunia, free life yang masih standart—tidak untuk free sex dan drugs—ketika itu, nongkrong, bolos sekolah, shoping, menghabiskan waktu di distro dan kafe menjadi rutinitasku, seorang salah satu siswi SMPN di Jember. Orang tua yang seakan-akan mendukung —diam—tak sedikitpun berkomentar adalah kemerdekaan bagiku.
Seperti halnya, ada lelaki maka perempuanlah pasangannya. Begitupun denganku, kesenangan dengan duniaku aku imbangi dengan rasa tidak senang dengan suatu hal. Aku benci dengan “santri”, bukan hanya gelarnya, tapi keseluruhan yang berkaitan dengan 1 kata ini. Baik dari penampilan mereka yang terkesan sok alim dengan rok panjang dan kerudung yang longgar.
“Uh……gerak, bokk !”
Dalam hati berujar “Ih, hidup kok mau di penjara, mending aku yang bisa berkreasi, bebas lagi !”
Kebencian ini teraplikasi dari sikapku ketika bertemu salah satu dari mereka. Tatapan penuh benci disertai refleksifitas gerak tubuh yang tak mau sejengkal pun dekat dengan mereka. Kebencian itu didukung dengan statusku sebagai salah satu siswi SMPN terfavorit di Jember.
Tak ada hujan dan angin, menjelang pendaftaran SMA bapak dan ibu memanggilku dan mengucapkan sebuah kalimat yang berhasil menampar hatiku.
“hanya seminggu nak, persiapkan dirimu untuk nyantri di Situbondo”
Hidupku seakan berhenti detik itu. Tak ada bantahan. Hanya air mata sebagai jawaban dari turunnya Keputusan final.
Tak sampai 3 bulan, perjalanan hidup dengan status baru –Santri—di salah satu Pondok Pesantren di Jawa Timur, tepatnya di Sukorejo. Tempat ini mengubah persepsiku, tentang kebencianku selama ini. Aku sangat bangga dengan gelarku sekarang. Bahkan penyesalan besar “kenapa aku baru mengenal dunia santri, alangkah nikmatnya hidupku jika semenjak SMP aku sudah menyantri”
Saat ini,
Kebencianku menjadi kesukaanku
Obyek yang aku benci, itulah aku
Busana yang ku maki, menjadi pakaian kebesaranku
Dunia bebasku menguap, membuat hatiku malu.
Author: Riska Rismaya (YiieZz Jember), Jember Jawa Timur