Rabu pekan ini, para Polwan dengan pangkat tertentu dikumpulkan di Jakarta. Mereka beramah tamah dengan istri Kapolri yang baru. Sekilas tampak biasa saja. Namun para polisi wanita itu bertanya-tanya: ada apa? Apalagi ada catatan agar para Polwan itu mengenakan pakaian dinas harian. Artinya mereka memakai rok span, rok selutut. Pada sisi lain, para Polwan itu bukan anak buah istri Kapolri. Istri menteri atau istri pejabat negara biasanya berkumpul dengan istri para anak buah suaminya. Sebagai ibu asuh, ia banyak memberikan nasihat. Mereka harus taat aturan, jangan menggoda atasan, dan tidak boleh mbalelo atau membangkang terhadap aturan yang ada.
Pertemuan ini menjadi perhatian karena saat ini sedang ada kegelisahan di lingkungan Polwan. Kapolri Jenderal Sutarman, pada Selasa (19/11) mengizinkan Polwan untuk berjilbab mulai Rabu. Ini kebijakan baru yang menyegarkan. Apalagi Sutarman baru saja dilantik pada 25 Oktober 2013. Jadi belum genap sebulan sejak ia menjadi Kapolri. Ia mengakui berjilbab merupakan hak asasi manusia. Namun beberapa hari kemudian, Kamis (28/11), muncul telegram rahasia yang ditandatangani Wakapolri Komjen Oegroseno. Telegram itu berisi penundaan penggunaan jilbab sampai ada aturan tentang seragam. Sutarman mengaku ia menyuruh Oegro untuk membuat telegram tersebut. Dalam berbagai keterangannya, Polri menyebut itu bukan larangan tapi penundaan. Masalah seragam ini terkait dengan anggaran dan keseragaman.
Para Polwan berpendapat jika masalahnya keseragaman maka bisa dibuat dengan cepat. Polri hanya membuat ketentuan seragam tersebut: bahan, warna, dan model. Selain itu sudah ada contoh seragam di Polda Aceh yang mewajibkan Polwannya berjilbab. Jadi hanya meniru saja. Sangat simpel. Namun kemudian dijawab bahwa hal itu bukan semata keseragaman tapi juga anggaran. Padahal proses penganggaran bisa memakan waktu satu tahun. Para Polwan menjawab bahwa mereka bisa mengeluarkan dari dana pribadi. DPR pun menimpali mereka bisa memproses penganggaran itu dengan cepat. Pada akhirnya, Polri tak bisa berargumen lagi.
Maka muncullah pernyataan yang aneh-aneh. Oegro misalnya menyatakan bahwa bagi Polwan yang tetap ingin berjilbab bisa pindah ke Polda Aceh atau pindah ke bagian yang tak memerlukan mereka berpakaian dinas seperti di bagian intelijen. Sebelumnya, ada pula yang menyampaikan bahwa Polwan yang ingin berjilbab agar pensiun saja. Ada pula argumen-argumen lucu, konyol, dan bodoh. Misalnya, mereka tahu masuk Polri kok ingin memakai jilbab. Ada pula yang menyebutkan saat masuk Polri tak berjilbab lalu sekarang memakai jilbab, hal itu berarti memaksa Polri untuk menerima perubahan itu. Juga muncul argumen, jika Polwan berjilbab lalu ditugaskan di wilayah yang mayoritasnya nonmuslim hal itu bisa menimbulkan benturan. Nah, ada yang berargumen begini: jika berjilbab lalu bagaimana dia bisa bersentuhan atau bela diri saat menghadapi penjahat? Argumen-argumen itu dikemukakan oleh jenderal polisi. Semua argumentasi itu mencerminkan ketidakpahaman tentang hak asasi manusia, ketidaktahuan tentang Islam, menolak pluralitas, dan menegaskan bahasa kekuasaan. Pada sisi lain, ihwal kemungkinan ada benturan jika ditugaskan di wilayah yang mayoritas nonmuslim, berarti melecehkan nonmuslim sebagai tak toleran dan anti pluralitas. Padahal jilbab di lingkungan polisi bukan hal yang baru di negara-negara demokratis yang justru mayoritas Kristen seperti di Inggris ataupun Amerika Serikat.
Munculnya semua argumen-argumen itu mencerminkan masih kentalnya kecurigaan ideologis terhadap Islam. Walau bagaimana pun, selama 32 tahun Indonesia berada dalam genggaman rezim Orde Baru yang anti-demokrasi. Rezim itu berintikan TNI/Polri dan birokrasi. Hingga kini TNI masih belum membuka wacana kemungkinan tentara wanitanya boleh berjilbab. Sedangkan di Polri sudah sejak beberapa tahun terakhir muncul desakan soal ini. Ini tak lepas dari besarnya jumlah Polwan di tubuh Polri, bandingkan dengan jumlah tentara wanita di TNI. Sehingga wajar jika wacana ini lebih dulu muncul di lingkungan Polri. Para jenderal Polri yang ada saat ini tumbuh dan dididik dalam lingkungan Orde Baru. Sehingga sisa-sisa antidemokrasi dan gemar dengan bahasa kekuasaan masih kental mewarnai Polri. Pada sisi lain, rezim Orde Baru dikenal sebagai rezim yang sangat represif terhadap aspirasi Islam. Karena itu ketika Sutarman mengizinkan pemakaian jilbab di lingkungan Polri memberikan angin segar dan harapan baru terhadap visi seorang kepala Polri.
Ketika beramah tamah dengan pimpinan media massa, Sutarman memperlihatkan bahasa tubuh dan nada bicara yang terbuka, fair, dan berani. Ia juga mencoba memperlihatkan visinya yang baru. Hal itu juga tecermin saat fit and proper test di DPR. Ia misalnya mewacanakan kemungkinan membentuk Densus Anti-Korupsi. Sebuah usul yang menarik, walau publik skeptis. Maklum Polri termasuk institusi yang dinilai paling korup, selain DPR. Skeptisisme itu bukan terhadap Sutarmannya tapi terhadap Polri. Publik bertanya, apakah Sutarman mampu menghela institusi Polri sendirian. Benar saja, idenya tentang kebebasan Polwan untuk mengenakan jilbab langsung mendapat tekanan keras dari lingkungan internalnya. Perlu ditekankan di sini: Sutarman menyampaikan soal jilbab itu ketika ditanya wartawan usai beramah tamah dengan para pimpinan media massa tersebut.
Membuat perubahan memang tidak gampang. Namun perubahan akan lebih mudah jika hadir seorang pemimpin yang efektif dan bervisi. Tanpa itu semua maka perubahan hanyalah hayalan. Kita menunggu keberanian seorang Sutarman untuk membawa Polri menjadi institusi yang dipercaya, bermartabat, dan menjadi bagian dari arus demokrasi. Masih banyak PR yang harus dilakukan Sutarman untuk membenahi Polri, dan yang akan dihadapi pertama oleh Sutarman bukanlah publik tapi lingkungan internal Polri sendiri. (republika)