Pendidikan menjadi harapan kita semua dalam upaya memperbaiki kualitas negara-bangsa yang semakin terpuruk ini. Dengan pendidikan yang berkualitas maka akan dapat melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu. Begitu pun sebaliknya. Maka dari itu upaya perbaikan sudah sepatutnya dilakukan. Dengan maksud dan tujuan, menjadikan kualitas pendidikan bangsa meningkat dan maju. Setidaknya seperti itulah gambaran yang melatar belakangi lahirnya kebijakan pemerintah yang akan memperbaiki kurikulum pendidikan baru-baru ini.
Rencananya pemerintah akan melakukan perubahan kurikulum pada tingkat dasar hingga tingkat menengah. Dengan begitu, kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan berubah wajah menjadi kurikulum baru, yakni Kurikulum Perekat kesatuan Bangsa (KPKB) atau lebih dikenal dengan kurikulum 2013.
Pemerintah menilai bahwa, rencana perubahan tersebut sudah tepat dan harus segera direalisasikan secepatnya selambat-lambatnya tahun 2013 ini. Rencana tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Kemendikbud, telah melalui berbagai tahapan penelitian dan kajian. Sehingga penerapannya pun menjadi sebuah keharusan. Dengan satu tujuan mulia, memperbaiki kualitas pendidikan negara-bangsa Indonesia.
Perbaikan Kualitas
Berkaitan dengan kebijakan tersebut, menurut beberapa kalangan pemerintah kurang jeli dalam melihat kelemahan dan kebutuhan yang terlihat dalam sistem pendidikan bangsa. Tolok ukur utama pemerintah dalam hal ini adalah kualitas kurikulum. Hal itulah kemudian yang mengilhami hepotesa pemerintah dalam melakukan upaya perbaikan pendidikan selama ini. Artinya jika kurikulum baik, maka kualitas pendidikan pun akan lebih baik.
Penulis melihat ada satu hal penting yang ditinggalkan pemerintah dalam hal ini. Faktor penting sekaligus penentu dalam meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Yakni pendidik dan sarana dan prasarana pendidikan.
Pemerintah menilai bahwa kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kurikulum. Artinya apabila kurikulum yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan bagus, maka out put dari pendidikan sendiri pun akan menjadi bagus. Dalam hal ini memang tidak ada yang salah. Akan tetapi tidak boleh juga menutup dan telinga dari kritikan, saran dan masukan dari masyarakat dan tokoh-tokoh pendidikan yang ada. Artinya ceck and balance dalam alam demokrasi menjadi layak dilaksanakan. Pemerintah tidak boleh memosisikan sebagai pihak yang paling benar dan kebal kritik, dan masyarakat juga tidak boleh bersikap apatis terhadap kebijakan pemerintah. Alam seperti ini bagus dan dapat mendorong timbulnya dinamika positif dalam upaya perbaikan pendidikan bangsa.
Kaitannya dengan upaya perbaikan tersebut, menurut hemat penulis, selain kurikulum yang harus dibenahi (tidak harus dirubah), ada 2 (dua) hal yang dirasa penting untuk diperhatikan. Pertama, perbaikan kualitas pendidik (guru). Pendidik merupakan  sumber belajar yang paling utama. Sosok yang memiliki kualifikasi keguruan secara formal yang diperoleh melalui jenjang pendidikan. Selain itu, pendidik menjadi teladan bagi anak didiknya. Tidak saja di sekolah, tetapi di mana saja ia tetap menjadi seorang guru. Pendidik senantiasa menjunjung tinggi moral dan agama, berwibawa (berkarakter), dan berwawasan luas (Naim, 2011: 4).
Memperhatikan paparan tersebut, dapatlah kita pahami bahwa keberadaan guru sangat penting dalam menunjang kualitas pendidikan. Sehingga upaya-upaya peningkatan kualitasnya pun seharusnya lebih diutamakan. Kurikulum yang baik niscaya tidak akan dapat terealisasi dengan baik apabila kualitas guru masih di bawah standarnya. Senada dengan hal itu Anies Baswedan, penggagas gerakan Indonesia Mengajar dan Rektor Universitas Paramadina mengatakan bahwa perbaikan Kurikulum tanpa diikuti dengan perbaikan pada kualitas guru yang dibebani/dituntut untuk mengajar dengan cara yang berbeda akan menjadi satu hal yang sia-sia saja (2/11/2012).
Kedua, perbaikan pendidikan hendaknya difokuskan kepada pemerataan sarana dan prasarana pendidikan. Antara sekolah yang satu dengan sekolah lain di daerah-daerah yang cenderung berbeda, baik geografis maupun kualitas guru masing-masing. Realitas dan fakta seperti ini hendaknya dijadikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan kependidikan. Artinya perbahan kurikulum juga tidak akan memperbaiki kualitas pendidikan terutama di daerah-daerah terpencil dan perbatasan-perbatasan. Sebab faktanya memang kualitas guru dan sarana dan prasarananya pun jelas berbeda.
Dengan demikian, akan lebih elok apabila pemerintah memfokuskan diri dalam memperbaiki dua hal tersebut, sebelum mengambil langkah untuk merubah kurikulum lama (KTSP) menjadi kurikulum baru tahun 2013. Sebab ketika dua hal tersebut sudah baik dan merata bukan mustahil perubahan kurikulum akan dengan mudah diterima.
Author: Agus Mulyadi, S.Pd.I., Â Alumni Fakultas Agama Islam, Tarbiyah (UMS) dan Peminat Masalah Pendidikan