Oleh: Dr. H. Abu Yasid, M.A., LL.M
Apa yang menjadi kesepakatan para Juris Islam bahwa Tuhan mendesain hukum-hukumnya tak lain demi terciptanya mashlahah (kemaslahatan manusia), baik di dunia maupun di akhirat. Sementara wujud mashlahah itu sendiri dapat terfragmentasi dalam berbagai konteks perubahan yang terus bergerak dinamis. Pertanyaan yang lalu sering mengemuka, adakah format hukum Tuhan dalam pengertiannya yang sudah baku? Kalau jawabannya ya, lalu bagaimana menyikapi arus perubahan yang di dalamnya terkandung mashlahah sebagai pijakan hukum? Pertanyaan seputar kaitan hukum Tuhan dengan konteks mashlahah selalu menarik digulirkan lantaran tidak bisa terjawab tuntas tanpa keterlibatan nalar. Di sinilah pentingnya mengombinasikan teks wahyu dengan nalar manusia secara proporsional dalam merumuskan ketentuan hukum Tuhan dalam pengertiaannya yang sangat substantif.
Secara nalar, Tuhan sebagai pencipta memang sangat otoritatif membuat apa saja yang dikehendaki. Karena itu, secara aqli (hukum akal), Tuhan tidak wajib memasukkan orang beriman dan orang shalih ke dalam surga-Nya kelak, sebagaiman dia juga tidak berkewajiban memasukkan hambanya yang durhaka ke dalam neraka. Tetapi secara naqli (hukum teks), Tuhan mesti memasukkan hamba-hambanya yang tunduk dan beriman ke dalam surga dan memasukkan mereka yang membangkang dan durhaka ke dalam neraka. Ini desebabkan Tuhan telah berjanji dalam beberapa teks kitab sucinya untuk berbuat demikian. Sementara Tuhan tidak mungkin mengingkari janjinya, sebagaimana diisyaratkan QS al-Ra’du (13): 31.
Secara garis besar, hukum Tuhan dalam pengertian aturan-aturan global memang terbukti ada, sebagaimana diisyaratkan QS al-An’am (6): 57; QS al-An’am (6): 62 dan QS al-Ma’idah (5): 44. Lantaran wujud teks yang menjadi pijakan hukum Tuhan masih sangat makro dan universal maka dalam tataran praksisnya, apa yang disebut hukum Tuhan masih sangat debatable. Maksudnya, dalam pergumulan sosial sehari-hari payung hukum yang mesti menjadi pijakan bukanlah hukum Tuhan dalam pengertiaan “pakaian jadi”. Sebaliknya, Tuhan telah mendelegasikan nalar manusia melalui mekanisme ijtihad untuk merumuskan hukum-hukum operasional sesuai konteks mashlahah yang bergerak dinamis dari waktu ke waktu.
Prinsip seperti ini telah pernah dipraktikkan Rasulullah SAW ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Dalam peristiwa tersebut Rasulullah SAW telah melegalkan wujud ijtihad untuk mengimabangi keterbatasan teks. Persoalan yang kemudian muncul, kalau pada masa Rasul masih hidup saja perlu merumuskan mekanisme ijtihad untuk mengantisipasi persoalan baru di daerah yang tidak ditemakan rujukan teksnya, maka bisa dibayangkan betapa persoalan-persoalan kemanusiaan yang muncul sepeninggal Rasul hingga saat ini lebih memerlukan kreatifitas nalar berupa ijtihad. Karena itu, hukum sebagai produk ijtihad dikresi dan diproses melalui interelasi antara tiga komponen dasar, yaitu: 1) Fiqh al-Tanzil (teks wahyu yang mempunyai dimensi hukum), 2) Fiqh al-Waqi’ (realitas kehidupan masyarakat yang memerlukan tuntunan hukum), dan 3) Fiqh al-Tanzil (mekanisme penentuan hukum-hukum operasioanal sesuai semangat maqashidus syari’ah, yakni untuk menebar kemaslahatan ummat manusia).
Apa yang dimaksud hukum Tuhan dalam penegertian yang sesungguhnya adalah ending dari seluruh proses pergumulan ketiga komponen di atas dalam rangka merumuskan hukum yang sesuai dengan tujuan dasar syari’at, yakni untuk menerapkan kemaslahatan ummat manusia dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Atas dasar rentetan pembentukan hukum seperti ini maka hukum Tuhan sesungguhnya mengalami proses evolusi dari yang transenden dan berwujud tunggal menjadi diversifikasi hasil temuan para Mujtahid sesuai konteksmashlahah di masing-masing komunitas masyarakat.
Sebagai padanannya, dalam sejarah pembentukan hukum Islam kita mengenal prinsip al-tadarruj fi al-tasyri’ (penahapan pembentukan syari’at). Dokumen sejarah tasyri’mengindikasikan terjadinya proses gradualisasi hukum secara alamiah sesuai konteks peristiwa yang melatarinya. Bahkan, hukum Islam bukan saja mengalami penahapan sesuai latar historisnya, tetapi juga memperhatikan kemampuan ummat menyerap doktrin ajaran yang diturunkan. Kenyataan seperti ini berbeda dengan hukum-hukum produk manusia yang pengundangannya dibatasi oleh ruang maupun waktu tertentu. Kenyataan gradualisasi ini sesungguhnya menyiratkan adanya mekanisme evolusi pada tataran struktur terdalamnya hukum Tuhan untuk mengantisipasi perubahan masyarakat yang selalu terjadi.
Prinsip lain lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses tasyri’ adalah taqlil al-takalif(penyedikitan beban). Sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, beliau selalu berupaya meminimalisasi turunnya taklif (pembebanan) dari Tuhan. Sebagai contoh, Rasulullah sengaja tidak datang ke mesjid melakukan shalat tarawih berjama’ah bersama-sama sahabatnya. Padahal tiga malam sebelumnya beliau secara berturut turut melakukannya. Mengomentari sikap pasifnya tersebut beliau bersabda: “saya hawatir jangan-jangan shalat malam (tarawiih) diwajibkan atas kalian, lalu kalian tidak mampu melakukannya”. Semangat sunnah dari cerita inilah yang kemudian ditangkap dengan jelinya oleh sahabat Umar bin Al-Khatthab sehingga pada masa khalifah ketiga ini shalat tarawih diorganisir secara bersama-sama (berjama’ah) di mesjid. Pertimbangan Umar, bahwa sikap pasifnya Rasulullah mengorganisir shalat tarawih bukan berarti beliau menganggap shalat tarawih secara jama’ah tidak baik. Karuan saja, banyak kalangan menuduh pendapat umar bergeser dari teks wahyu lantaran Rasulullah SAW belum pernah melakukan hal demikian sebelumnya. Menghadapi tuduhan tersebut umar berkomentar pendek: “inilah sebaik-baiknya bid’ah”.
Satu lagi prinsip tasyri’ atau dasar pembentukan hukum adalah adam al-haraj (tidak menyulitkan). Dalam kaitan ini, proses pembentukan hukum harus didasarkan pada prinsip pembasmian segala bentuk kesempitan dan kesulitan yang dihadapi ummat manusia. Dalam teks wahyu tidak sedikit jumlah ayat yang mengungkapkan prinsip ini, seperti QS al-Baqarah (2): 185; QS al-Baqarah (2): 286; QS al-Nisa’ (4): 28; QS al-Ma’idah (5): 6; dan QS al-Hajj (22): 78.
Beberapa prinsip tasyri’ atau proses hukum di atas menyiratkan adanya keterkaitan ajaran agama dengan kemaslahatan hamba sepanjang sejarahnya. Tak hanya itu, kenyataan tersebut juga mengindikasikan bahwa hukum Tuhan dalam pengertiannya yang substantif bukanlah postulat-posstulat teks yang sangat transenden. Sebaliknya, hukum Tuhan merupakan rangkaian panjang proses pemaknaan teks itu sendiri melalui mekanisme aktualisasinya sesuai konteks kemaslahatan ummat. Dengan kata lain, rumusan hukum Tuhan bukanlah bentuk jadi dari wahyu verbal yang masih bersifat umum dan sangan transenden. Sebaliknya, hukum Tuhan merupakan akumulasi dari rangkaian pemaknaan teks secara kreatif dan dinamis untuk merespons aneka persoalan sesuai konteks mashlahah. Karena itu, dalam tataran praksisnya hukum Tuhan mengalami proses evolusi dari yang transendental dan global menjadi diktum-diktum hukum operasional yang amat teknis mengatur beragam persoalan kemanusiaan sesuai tingkat perubahan dan perkembangan yang dihadapi. (mahadaly)