Khitbah adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah. Kadang-kadang seorang laki-laki yang akan mengkhitbah seorang wanita memberikan hadiah sebagai penguat ikatan, untuk memperkokoh hubungan baru antara mereka. Tetapi harus diingat bahwa semua perkara adalah wewenang Allah swt, Dia berbuat sekehendak-Nya, bagaimanapun dan waktu kapanpun kadang-kadang terjadi sesuatu di luar perhitungan manusia seperti ada pihak keluarga yang ingin membatalkan rencana perkawinan. Ini pernah terjadi dan sering terjadi.
Khitbah hanya bermaksud memperlihatkan atau mengumumkan akan diadakan pernikahan. Sekalipun ditujukan sebagai sebuah pengumuman, pihak lelaki lain dilarang melamar di atas pinangan orang lain. Tunangan dalam hukum muamalah diibaratkan seperti tawaran jual beli. Jika ada orang telah menawar suatu barang, maka secara moral, penjual dilarang menawarkan kepada pihak lain sekalipun ia menawarkan dengan harga tinggi. Begitu juga dalam pertunangan. Seorang wanita yang telah dilamar oleh seorang pria, ia dilarang menawarkan diri atau menerima tawaran dari pihak lain sekalipun ia lebih punya banyak materi. Kecuali penolakan itu atas dasar ketidaksepadanan antar wanita dan lelaki.
Ada yang penting ditekankan disini adalah bahwa perempuan yang dipinang tetap merupakan orang lain bagi laki-laki yang meminang, sampai pernikahannya dengan perempuan itu terlaksana dengan baik. Perempuan statusnya belum dapat berubah menjadi istri sebelum akad syara’ yang benar dilangsungkan. Rukun dasar dalam akad nikah adalah ijab qobul. Ijab dan qobul berupa lafal-lafal perjanjian yang sudah diketahui menurut adat dan syara.
Akan tetapi walaupun khitbah hanyalah sebagai pendahuluan sebelum dilaksanakannya akad nikah, tetapi ada akibat yang ditimbulkan jika khitbah tersebut dibatalkan. Biasanya dalam melaksanakan khitbah pihak laki-laki seringkali sudah memberikan pembayaran mahar seluruh atau sebagiannya dan memberikan macam-macam hadiah serta pemberian-pemberian guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu. Akan tetapi terkadang terjadi bahwa pihak laki-laki atau wanita ataupun kedua-duanya kemudian membatalkan rencana pernikahannya.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa khitbah semata-mata baru merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah. Dan membatalkannya adalah menjadi hak masing-masing pihak yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janjinya Islam tidak mejatuhkan hukuman materil, sekalipun perbuatan ini dipandang umat tercela dan dianggapnya sebagai salah satu dari sifat-sifat kemunafikan, terkecuali kalau ada alasan-alasan yang benar yang menjadi sebab tidak dipatuhinya perjanjianya tadi.
Dengan adanya ikatan pertunangan maka berlakulah ketentuan tata tertib adat pertunangan. Aturan tata tertib secara implisit menyebutkan bahwa baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk memenuhi persetujuan yang telah disepakati bersama, terutama untuk melangsungkan perkawinan kedua calon tunangan. Baik pria maupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunangan, begitu pula orangtua / keluarga dan kerabat ke dua pihak dilarang berusaha mengadakan hubungan dengan pihak lain yang maksudnya untuk melakukan peminangan, pertunangan dan perkawinan.
Melakukan hubungan dengan yang lain dalam maksud yang sama dapat berakibat putusnya pertunangan dan batalnya perkawinan yang telah direncanakan dan disepakati. Kedua pihak keluarga harus saling mengawasi gerak-gerik dan tindak-tanduk dari para calon tunangan yang bertunangan, termasuk memperhatikan sifat watak perilaku dari mereka. Apabila pertunangan tidak dapat diteruskan ke jenjang perkawinan dikarenakan salah satu pihak atau kedua belah pihak memutuskan hubungan pertunangan itu, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut kembali barang-barang dan uang serta kerugian lainya pada pihak yang bersalah atau yang telah menerima barang-barang pemberian selama pertunangan itu. Dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi, maka para pemuka adat yang melakukan penyelesaiannya secara damai. (Ma’had Aly)