Saudara-saudara kita yang buta mata tentu mengalami beberapa kesulitan dalam menjalankan hidup disebabkan oleh ketidak-mampuannya menyaksikan lingkungan sekitar. Mereka tidak bisa mengenal wujud benda, tidak bisa menyaksikan keindahan alam semesta, tidak mengenal warna, tidak bisa membedakan arah, tidak bisa membaca dan berjalan tanpa alat bantu atau orang lain yang membantunya. Dengan demikian, tidak sepantasnya jika kita yang diberi mata sempurna, memilih sikap berdiam diri seperti patung Pangsar Sudirman yang terus membisu di depan Gedung DPRD Propinsi Daerah istimewa Yogyakarta meskipun hampir tiap hari didatangi berbagai elemen rakyat yang menggelar demonstrasi didepannya.
Berdiam diri saja sudah tidak bisa dibenarkan apalagi jika memperolok-olok keberadaan mereka. Keberadaan mereka itu sudah takdir Tuhan yang mengandung banyak hikmah dan pelajaran bagi semua yang mau berpikir. Tongkat yang ada ditangan mereka sangat besar manfaatnya untuk bisa membedakan antara jalan aspal dan jalan tanah, untuk menandai mana jalan raya, mana trotoar, mana selokan, mana tiang, mana orang, mana diinding, mana kendaran dan seterusnya. Sangat tidak pantas, jika kita kalah fungsi dengan tongkat. Kalau tongkat yang terbuat dari aluminium atau kayu bisa sedemikian besar manfaatnya kepada mereka, masak ya kita yang mengaku sebagi makhluk terbaik ini justru menjadi dlari’[1] yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar dan dahaga.
Kita sering merasa risih dengan kehadiran mereka atau merasa malu jika ada salah seorang dari kerabat kita yang buta. Pandangan tersebut perlu dibuang jauh-jauh atau dilabuh ke segoro kidul, karena sangat materialistik. Kita tidak bisa memandang mereka sebagai orang yang tidak beruntung hanya karena kebutaannya dan memandang diri sendiri dengan penuh takjub karena bisa melihat. Persepsi tersebut jelas salah bin keliru. Karena dalam memandang keberuntungan, tergantung alat ukur apa yang kita pakai. Bagi yang memakai alat ukur fisik, tentu orang yang dilahirkan dengan bentuk tubuh sempurna dan ideal, hidung mancung, bibir seperti buah jeruk dibelah, bermata bola pingpong dan seterusnya.
Bagi yang memakai alat ukur ekonomi, tentu seseorang yang berpenghasilan lebih, punya rumah dan kendaraan mewah, serta tabungan berlimpah. Bagi yang memakai lat ukur politik, tentu orang yang berhasil menduduki jabatan bergengsi dalam pemerintahan. Tetapi lain lagi jika alat ukur moral atau agama yang kita pakai, tentu bukan kelebihan fisik, harta atau jabatan yang menjadi pandangannya (bukan berarti itu semua tidak penting), melainkan sejauh mana sesorang bisa menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan mendapatkan keridlaan Allah SWT. Artinya seperti apapun kondisinya, jika tidak mendapatkan ridla Allah maka tidak termasuk orang yang beruntung dan sebaliknya apapun kondisinya jika bisa menjadi orang yang bisa menjunjung tinggi moral dan mendapatkan ridla Allah, maka dia tergolong orang yang beruntung.
Memang kalau memakai kaca mata sempit dan berjarak pendek, kita akan memakai alat ukur fisik, ekonomi atu politik dalam memandang segala sesuatu karena lebih mudah dan konkrit. Akan tetapi perlu diingat bahwa pandangan sempit dan berjarak pendek bukanlah cara pandang orang yang beragama dan pada ujungnya juga tidak menjamin terwujudnya kebahagian dan kesejahteraan bersama diddunia ini. Karena pandangan semacam itu akan meruntuhkan moralitas sebagai penyangga utama terwujudnya kesejahteraan semesta. Dengan memakai tolak ukur moral, seseorang tidak bisa sebegitu mudahnya merasa tergolong dalam kaum beruntung hanya karena keberhasilan yang bersifat lahiriyah tanpa didukung oleh kualitas moral.
Sebaliknya, mereka yang secara lahiriyah tidak terlalu berlebihan tidak usah berkecil hati dan merasa dijauhi Tuhan, sepanjang orang tersebut masih bisa menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Orang yang dalam kondisi buta mata, dalam pandangan sepintas bisa dikatakan bahwa mereka itu lebih tidak beruntung daripada orang-orang yang matanya tidak buta. Tetapi apa memang benar demikian..? Bagaiman jika orang yang memiliki mata sempurna tidak bisa bersyukur dan banyak mempergunakan matanya untuk melihat sesuatu yang tidak berguna bahkan yang dilarang oleh penciptanya? Apakah orang tersebut masih bisa dikatakan mendapatkan keberuntungan dengan matanya tersebut? Kemudian sebaliknya orang yang buta jelas tidak pernah melihat sesuatu yang dilarang oleh Allah, maka otomatis dosanya lebih sedikit daripada orang yang bisa melihat tadi? Sebagian besar dosa berasal dari mata. Siapakah sebenarnya yang lebih beruntung? Jadi tidak tentu bukan?
Diluar itu, ‘buta’ disini juga bisa diartikan buta secara ‘ma’nawiy’. Termasuk dalam buta maknawiy ini, orang-orang yang minim ilmu atau orang-orang yang masih dalam kesesatan atau kebingungan seperti para preman atau wanita PSK. Kita perlu memandang mereka semua dengan pandangan rohmah (kasih sayang). Beri mereka tongkat, bimbing mereka kejalan yang benar, transferkan ilmu pengetahuan kepada mereka semua. Berikanlah tongkat dan tuntunlah mereka dengan penuh rasa hormat. Menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau oleh semua lapisan, sebagian agamawan yang membuka pintu kepada para preman dan PSK untuk bisa dekat dan berbagi rasa, termasuk memberikan tongkat kepada orang buta. Semua itu dilakukan bukan karena ‘kasihan’ tetapi sebagai penghormatan kepada orang yang boleh jadi lebih mulia daripada kita. Begitulah memanusiakan manusia.
Dalam sebuah hadits Nabi diterangkan bahwa Allah SWT berfirman, “Jika aku mengambil kedua bola mata hambaku, maka aku tidak puas selain surga sebagai penggantinya”. Kemudian Rasulullah ditanya “bagaimana kalau hanya sebelah yaa rasulullah?”, beliau menjawab, “ya, meskipun hanya sebelah”[2]. Beliau juga bersabda, “orang yang pertama kali bisa menyaksikan Allah SWT (di surga) adalah orang yang buta”[3]. Dan beliau juga berpesan kepada sahabatNya, “wahai Abu Hurairah, jika kamu menuntun orang buta, maka peganglah tangan kirinya dengan tangan kananmu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk shadaqah”[4]
Authot: Muzammil, Yogyakarta