Dalam pandangan umat Islam, semua nabi leih-lebih Nabi Muhammad saw. adalah bapak kemanusiaan. Dalam rentang sejarah kehidupannya, mereka konsisten membela kehormatan dan martabat kemanusiaan. Semua nabi concern dalam membebaskan umat manusia dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan baik oleh penguasa maupun dari kekangan mitos menyesatkan atau berhala-berhala yang lainnya. Ajaran tauhid yang mereka bawa tidak hanya membebaskan dari penyembahan terhadap berhala atau patung, tetapi juga dari perbudakan dan segala bentuk diskriminasi sosial serta menyemaikan persamaan umat manusia dalam bingkai kebhinekaan bangsa, ras, suku, warna kulit, dan keyakinan.
Nabi Muhammad saw. secara tegas mengatakan, “semua manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah”. [ Al Azroqiy, Akhbar Makkah, juz III, hal.383]. Kemudian pada saat haji Wada’ beliau juga berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, sesunguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalin juga satu, tidak ada keistimewaan Arab atas non Arab, tidak ada keistimewaan non Arab atas Arab, juga kulit merah atas kulit hitam dan kulit hitam atas kulit merah, kecuali dengan kualitas kebaikannya”. [Imam Ahmad, Musnad,Juz VI, hal.570]. Semua manusia bersaudara karena berasal dari satu jiwa. Ditegaskan berkali-kali oleh Allah SWT di dalam surat An-Nisa’; 1, al-An’am; 98, al-A’raaf; 189, dan al-Zumar; 6. Mereka mendekontruksi segala bentuk konstruksi hukum, ekonomi, dan sosial budaya yang diskriminatif dari akar intinya, yaitu kesadaran kolektif manusia. Kesadaran kolektif yang dibentuk oleh mitos perbedaan darah dan kasta, mereka babat habis dengan doktrin profetik yang menyatakan bahwa “Darah manusia adalah sama”.
Keberadaan nabi-nabi Allah yang berasal dari jenis manusia, seringkali dijadikan alasan pembenar oleh mereka yang menentang ajarannya. Mereka menuntut agar nabi itu diganti dengan malaikat atau siapapun yang merupakan makhluk suci dari langit. Tuntutan mereka ini tidak pernah dipenuhi oleh Allah swt. karena mengandung maksud terselubung untuk melegitimasi atas kekufuran mereka. Disamping itu, seandainya tuntutan itu dipenuhi, maka akan menjadi amunisi dan alat justifikasi tambahan bagi mereka yang memang berniat untuk tidak percaya. Jika pada awalnya mereka membangkang dengan alasan bahwa nabi-nabi utusan Allah itu hanyalah manusia biasa[1], maka pada etape berikutnya mereka akan memunculkan alasan sebaliknya, yaitu, “kami tidak mungkin bisa mengikuti nabi-nabi yang bukan berasal dari jenis kami, karena kami tidak diberi kemampuan seperti mereka yang berasal dari malaikat”.
Keberadaan Rasul atau Nabi untuk manusia yang berasal dari jenis manusia sendiri -memiliki struktur lahir dan batin yang sama dengan manusia pada umumnya-, memungkinkan mereka untuk menjadi manusia ideal yang bisa menjadi bapak manusia dan kemanusiaan. Idealitas seorang manusia sebenarnya tidak terletak pada kesempurnaan perangkat fisiknya, entoch begitu Allah swt. selalu menciptakan rasul-Nya dalam kesempurnaan fisik, bahkan beberapa orang dari mereka memiliki raut fisik dan wajah yang par exellence untuk ukuran seorang manusia, seperti Nabi Yusuf dan Nabi Muhammd saw. Idealitas seorang manusia -lebih-lebih seorang rasul- terletak pada sisi batinnya yang memungkinkannya untuk secara tulus memperjuangkan keadilan, kesejahteraan dan kehormatan umat manusia serta kedamaian kehidupan di atas bumi. Kondisi batin yang demikian ini hanya mungkin dimiliki oleh seorang manusia yang memahami manusia. Diantara sekian orang yang secara sempurna memilki karakter dan menjalankan visi-misi kemanusiaan tersebut adalah Nabi Muhammad saw. Karakteristik kemanusiaan beliau diakui oleh Sang Pengutusnya dalam surat taubah ayat 128:
“Sungguh telah datang kepada kamu semua seorang Rasul dari jenismu sendiri, yang terasa berat olehnya segala derita kalian, sangat besar kemaunnya atas keselamatan kalian, dan penuh kelembutan dan kasih sayang terhadap orang-orang mukmin” .
Kerasulan Muhammad SAW diberikan oleh Allah swt. setelah sekian panjang pengalaman hidupnya yang penuh suka-duka; semenjak lahir sebagai seorang yatim, kemudian diasuh oleh seorang wanita desa dari suku Bani Sa’ad. Selanjutnya ditinggal wafat oleh ibunya pada usia masih anak-anak, kemudian diasuh oleh kakeknya, lalu dipungut anak oleh pamannya yang amat sederhana, mengambil upah pengembalaan kambing kepada para tetangganya, kemudian berkongsi dengan saudagar kaya, dan yang terakhir melakukan perenungan demi perenungan ditempat yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan Jahiliyah yang penuh kedhaliman dan ketidakadilan, maka disanalah beliau menerima wahyu untuk membawa cahaya ketengah-tengah kegelapan hidup seluruh isi alam semesta. Karena itu, maka mandat Allah tersebut tidak beliau bawa untuk memperkaya diri dan keluarga, apalagi untuk membangun sebuah dinasti keluarga, sama sekali tidak. Mandat itu dibawanya turun gunung untuk berbaur dengan masyarakatnya, dekat dan hidup serta menyatu dengan mereka, menuju kesejahteraan dan kehormatan seluruh isi alam semesta. Ibnu Umar ra. menceritakan salah satu sabda Nabi tercinta ini yang berbunyi; “orang mukmin yang berbaur dengan masyarakatnya dan sabar menghadapi berbagai tantangan yang datang dari mereka, lebih baik daripada orang mukmin yang tidak berbaur dengan masyarakatnya dan tidak memiliki kesabaran menghadapi mereka”. [HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Thabrani]
Jika dikemudian hari, performance Nabi sebagai manusia lumrah; makan minum seperti orang kebanyakan, suka berjalan kaki dan keluar masuk pasar, menjadi sasaran tembak lawan-lawannya yang berilusi bahwa Nabi sepantasnya hanya duduk manis di dalam mihrab masjid atau altar gereja sambil memegang tasbih, maka itu tidak salah. Karena memang begitulah semestinya seorang Nabi, Manusia ideal dan Bapak Kemanusiaan. Yang penting bukan penampilannya, tapi isi hati dan apa yang telah dikerjakan.[2] Menurut konsep Nabi Muhammad, manusia yang ideal bukan mereka yang berada di menara gading yang untouchable, melainkan mereka yang mau in touch dan menyatu dengan masyarakatnya baik dalam raga, pikiran, hati dan rasa. Juga bukan karena kelihaiannya mencitrakan diri sebagai makhluk langit yang melangit-langit (meskipun dia pernah sampai kelangit tertinggi yang pernah dicapai oleh seorang makhluk), melainkan karena kemampuannya menjadi manusia sejati yang berbaur dengan manusia yang lain, lalu mengerti manusia dan bisa memanusiakan mereka.
[2] “Sesungguhnya Allah tidak melihat performance atau fisik kalian, tetapi Dia memandang apa yang ada dalam hati kalian “.