Dikisahkan bahwa umat Islam porak-poranda setelah dikalahkan oleh tentara salib dalam perang salib atau The Crusade untuk perebutan masjidil Aqsha. Kekalahan tersebut menjadikan umat Islam kehilangan semangatnya. Tidak ada lagi semangat juang untuk merebut kembali masjid yang menjadi kiblat pertamakali bagi umat Islam ini.
Untuk menumbuhkan semangat ini lalu Malik Mudhaffar Abu Sa’id yang lebih dikenal dengan sebagai Sultan Shalahuddin al-Ayyubi—“Saladin” dalam sebutan orang barat—mempunyai ide untuk membacakan cerita-cerita tentang perjuangan nabi Muhammad r. Dengan mendengar kisah tentang perjuangan nabi ini diharapkan semangat umat Islam kembali sehingga bisa lagi untuk merebut masjid al-Aqsha dari pendudukan laskar eropa (Prancis, Jerman, Inggris).
Malik Mudzaffar pada waktu itu memang menyelenggarakan acara maulid dengan cukup meriah untuk ukuran masa sekarang sekalipun. Acara maulid nabi itu dihadiri oleh tokoh-tokoh ulama, sufi, pemerintah dan rakyat banyak. Karena besarnya acara yang akan diselenggarakan, Mudhaffar sampai menyediakan tidak kurang dari 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 kaleng susu dan 30.000 hidangan kue dan beberapa kelengkapan lainnya. Diperkirakan semuanya menghabiskan biaya 300.000 dinar (Rp. 172 Milyar atau $ 19.125 juta US dolar dengan kurs 1 dolar = Rp. 9.000). Namun tentunya kemegahan acara ini bukan perwujudan kesombongan dan niat bermewah-mewah. Sebab Mudzaffar dikenal sebagia pribadi yang kharismatik, pemberani, patriotik, cerdas, alim, dan adil. Kalau kemudian maulid dibuat mewah, itu semata-mata merupakan perwujudan rasa cinta kepada Nabi Muhammad r.[i] Ini adalah salah satu pendapat tentang siapakah pencetus tradisi maulid. Menurut pendapat lain, tradisi maulid ini sudah ada di masa pemerintahan Fathimiyyah.
Perkembangan selanjutnya, perayaan maulid menyebar keseluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Dalam hal ini, Sunan kalijogo sering disebut sebagai pencetus perayaan maulid di bumi nusantara. Pada masa itu, rakyat Indonesia masih dalam pelukan keyakinan Hindu-Budha. Sunan Kalijogo mencoba menyadarkan mereka untuk menuju jalan kebenaran. Banyak diantara mereka yang akhirnya masuk Islam. Mereka yang mau masuk Islam ini, oleh Sunan Kalijogo dikumpulkan untuk mengikrarkan syahadatain. Agar lebih mudah menarik perhatian mereka, beliau mengadakan acara yang menarik, dan salah satunya adalah acara perayaan maulid nabi di bulan rabi’ul awal. Sampai saat ini, peninggalan sejarah ini masih tampak pada acara sekaten yang marak diselenggarakan terutama di daerah Yogyakarta dan Solo.
Pada perkembangan selanjutnya, dari waktu ke waktu, khususnya di Indonesia, bentuk perayaan maulid terus mengalami modifikasi. Di setiap daerah mempunya cara tersendiri dalam menyelenggarakannya. Misalnya di Banyuwangi dalam perayaan maulid ada tradisi dok endokan. Di beberapa daerah jawa juga ada tradisi Grebeb Maulid. Tentunya tetap ada kesamaannya, seperti pembacaan shalawat.
Di samping itu, dalam merayakan maulid ini ada yang mengadakan acara besar-besaran, dengan berbagai acara, seperti shalawatan, ceramah agama, perlombaan, hiburan-hiburan yang bernuansa Islami dan lain sebagainya. Makanya tak heran ketika memasuki bulan Rabi’ul Awwal di berbagai daerah tidak sepi dari berbagai acara maulid, terlebih paling sering diadakan di pondok-pondok. Tapi ada juga yang diadakan secara sederhana. Misalnya hanya dengan mengundang tetangga sekitar untuk membaca shalawat lalu diakhiri makan bersama. .
Hanya saja ada beberapa pihak atau kelompok yang mengharamkan tradisi maulid. Menurut mereka tradisi maulid termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh nabi, dan setiap bid’ah pasti sesat. Selain itu ada yang beranggapan bahwa dalam tradisi maulid sudah bercampur dengan kesyirikan, khurafat, dan tahayyaul. Makanya tradisi maulid harus dihapus. Tidak boleh dibiarkan terlaksana terus menerus. Sebab akan mengantarkan orang Islam pada kesesatan atau bahkan kekafiran.
Oleh karena itu untuk memperjelas tentang hukum tradisi maulid perlu dibahas secara mendalam dan komprehensip. Mengingat tradisi ini sudah mengakar pada masyarakat muslim, terlebih di Indonesia, seakan-seakan sudah menjadi suatu hal yang wajib. Maka tak heran ketika di berbagai pondok pesantren acara maulid ini menjadi acara wajib tahunan.
Dalam mengkaji hukum maulid ini, ada beberapa pertanyaan yang perlu dibahas, adakah dalil yang melegitimasi perayaan maulid? Benarkah perayaan maulid termasuk bid’ah?
Hakikat Perayaan Maulid
Sebagai pembuka dalam pembahasan ini, perlu diketahui terlebih dahulu tentang hakikat dari perayaan maulid nabi, yaitu ungkapakan rasa senang dan rasa syukur atas lahirnya nabi Muhammad r, salah satu utusan Allah I yang telah berperan merubah peradaban manusia dari peradaban yang penuh kejahiliahan menuju peradaban yang beradab. Rasa senang ini lalu dieksperesikan dengan mengumpulkan para sahabat, teman karib, fuqara’, masakin dan seluruh lapisan yang mempunyai visi sama. Ketika itulah kemudian bersama-sama mengenang sejarah beliau yang gagah berani dalam mengembangkan Islam. Sehingga diharapkan akan muncul spirit untuk mencontoh perjuangan beliau.
Berkaitan dengan rasa bahagian ini Allah I berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا
“Katakanlah wahai Muhammad, sebab fadzal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian”
Secara sharih, melalui ayat ini Allah I menyuruh kita bergembira karena adanya fadhal dan rahmat dari-Nya. Ada banyak penafsiran tentang kata fadhl dan rahmat. Menurut al-Razi, para mufassir menafsiri kata fadhl dengan Islam dan kata rahmat dengan Qur’an.[ii] Sedangkan menurut mufassir yang lain, maksud dari kata fadhl adalah ilmu dan sedangkan maksud dari rahmat adalah nabi Muhammad r. Pendapat ini mendasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas. [iii]
Berdasarkan penafsiran yang ke dua ini, maka tidak perlu dipersamasalahkan ketika ada orang-orang yang sangat merasa gembira pada bulan Rabi’ul Awwal, sebab pada bulan itulah nabi Muhammad r dilahirkan. Kegembiraan ini memang seharusnya sudah dilakukan oleh semua umat Islam. Bahkan terbilang aneh kalau ada umat Islam yang tidak gembira. Dan mungkin perlu dipertanyakan keislamannya.
[i] I’anah Al Tholibin, III, 364 dan Haul Al-Ihtifal Bidzikra Al-Maulid Al Nabawi Al-Syarif, 58-59
[ii] Mafatihu al-Ghaib, VIII, 305
[iii] Durrul Mansur, juz III, hal 308