Kriteria Syafa’at yang Diterima dan Ditolak

0
660

Para ulama’ sepakat bahwa nabi Muhammad Saw. merupakan  salah seorang pemberi syafa’at pada hari kiamat. Pendapat ini mereka dasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi:

ولسوف يعطيك ربك فترضى

Artinya: “Dan kelak tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”

عسى ان يبعثك ربك مقاما محمودا

Artinya: “Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji

Kedua ayat tersebut di atas ditafsirkan dengan syafa’at. Kata Maqoman mahmuda (tempat yang terpuji) adalah maqom syafa’at, dan yang dianugrahkan Allah kepada nabi Muhammad Saw. Itu adalah hak untuk memberikan syafa’at yang membuat hati beliau menjadi puas.

Akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat tentang arti syafa’at, apakah syafa’at tersebut diperuntukkan kapada orang-orang mukmin yang taat terhadap aturan-aturan  Tuhan ataukah malah syafa’at tersebut diperuntukkan kepada pelaku dosa besar?

1.   Imamiyah dan Asy’airah

Mereka berpendapat bahwa pada hari kiamat nanti Rosulullah Saw. akan memberikan syafa’at kepada sekelompok umatnya yang melakukan dosa besar, di mana dengan syafa’at tersebut dapat berimplikasi terhadap keberadaan pelaku dosa besar yaitu terbebas dari siksa Tuhan. Kalangan imamiyah dan Asy’ariyah sepakat bahwa janji tentang kekekalan dalam neraka itu secara khusus ditujukan kepada orang-orang kafir dan tidak mencakup para pelaku dosa dari kalangan orang-orang yang beriman, yang mengakui kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh Allah. Pendapat ini disetujui oleh golongan Murji’ah, kecuali Muhammad bin Syubaib, dan seluruh Ahli hadis. Imamiyah dan Asy’ariyah juga sepakat bahwa orang-orang mukmin yang disiksa karena dosa-dosanya tidak akan kekal dalam siksa mereka. Mereka kelak akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Mereka kekal di dalamnya.

2.   Mu’tazilah

Mereka berpendapat bahwa syafa’at Rosulullah  Saw. tersebut diberikan terhadap orang-orang yang taat terhadap aturan-aturan Tuhan, bukan kepada para pelaku maksiat dan pelaku dosa besar; dan bahwasanya beliau tidak akan memberikan syafa’atnya kepada orang-orang yang memang berhak disiksa diantara seluruh makhluk. Dan implikasi dari syafa’at yang diberikan Rosul berarti ditambahkannya manfa’at bagi kaum muslimin yang berhak atas pahala. Argumen Mu’tazilah mengenai pendapat mereka yang mengkhususkan arti syafa’at bagi orang-orang yang taat kepada peraturan allah dan bukan bagi mereka yang melakukan dosa besar, adalah argument yang didasarkan pada pendapat mereka tentang hak-hak para pelaku maksiat dan pembuat dosa dalam kajian teologis mereka. Mereka berpendapat bahwa pelaku maksiat itu kekal dalam nereka. Keperceyaan ini dianut oleh seluruh atau sebagian besar kaum Mu’tazilah. Dan mereka menganggap bahwa janjji tuhan untuk kekal dalam neraka itu berlaku umum bagi orang-orang kafir dan orang-orang islam yang fasik.

Syekh Ja’far Subhani mengklasifikasikan syafa’at menjadi dua bagian:

1.      Syafa’at yang diterima

  1. Syafa’at yang merupakan hak khusus Allah SWT yang tidak ada satupun makhluk-Nya yang bisa menandingi atau menyekutui-Nya.
  2. Syafa’at jenis tertentu yang ada pada hamba-hamba-Nya yang syafa’atnya diterima di sisi Allah di bawa syarat-syarat tertentu yang telah disebutkan di dalam ayat-ayat-Nya, sekalipun tidak disebutkan nama-nama dan karakteristik mereka.
  3. Syafa’at para malaikat, para pemikul ‘Arsy, dan malaikat-malaikat yang ada di sekelilingnya, yang memintakan ampunan terhadap orang-orang mukmin.

2.      Syafa’at yang ditolak

  1. Syafa’at yang diyakini oleh orang-orang yahudi yang menolak adanya syarat-syarat dan batasan-batasan bagi pemberi dan penerima syafa’at, yang menurut mereka, system kehidupan akhirat sama dengan kehidupan dunia, sehingga seseorang bisa terbebas dari adzab melalui suatu tebusan.
  2. Syafa’at yang berkaitan dengan hak orang-orang yang terputus hubungan diri mereka dengan Allah, sehingga mereka tidak beriman kepada-Nya, dan tidak pula mengakui kemahaesaan-Nya, yang melakukan kerusakan di muka bumi dan berlaku dhalim pada hamba-hamba-Nya, atau melakukan perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan terputusnya tali yang menghubungkan hamba dengan tuhan-Nya, sehingga mereka mejadi bukti paling nyata atas benarnya firman Allah yang berbunyi, ” Mereka lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri.” 
  3. Berhala-berhala yang dinggap oleh orang-orang arab sebagai sesembahan yang mereka ada-adakan. Al-Qura’an telah menafikan kemampuan berhala-berhala ini untuk melakukan pembelaan atas diri mereka sendiri, apalagi untuk memberikan syafa’at terhadap siksa yang dihadapi penyembah-penyembah-Nya itu. 

Tinggalkan Balasan