Menurut Al Qardhawi, antara ekonomi (bisnis) dan akhlaq tidak terpisah sama sekali, seperti halnya antara ilmu dan akhlaq, antara politik dan akhlaq, dan antara perang dan akhlaq. Akhlaq adalah daging dan urat nadi kehidupan Islam. Karena risalah Islam adalah risalah akhlaq. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah antara Agama dan Negara, serta antara materi dan ruhani. Seorang muslim yakin akan kesatuan hidup dan kesatuan kemanusiaan. Oleh karenanya, pemisahan antara negara dan agama (sekuler) yang terhadi di berbagai negara tidak bisa diterima.
Semua lini kehidupan harus tidak melenceng dari rambu-rambu islam, termasuk juga dalam masalah bisnis. Dengan begitu, maka seorang pengusaha dalam pandangan etika Islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga keberkahan, yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridloi Allah. Ini berarti yang harus diraih oleh seorang pedagang dalam melakukan bisnis. Jadi tidak sebatas keuntungan materiil, tetapi yang penting lagi adalah keuntungan immaterial (spiritual). Terlebih benda yang bersifat profane (intrasenden) baru bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transenden (ukhrawi).
Dalam Islam, tuntutan bekerja adalah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap muslim agar kebutuhan hidupnya sehari–hari bisa terpenuhi. Salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan itu antara lain melalui aktivitas bisnis sebagaimana telah dicontohkan oleh baginda Rasululah sejak beliau masih muda. Hanya saja beliau dalam berbisnis benar–benar menerapkan standart moral yang digariskan dalam Al-Qur’an, tidak sampai lepas nilai.
Oleh karena itu sebagai pelaku bisnis, terutama sebagai muslim, ia harus menyibukkan diri dengan masalah–masalah etis. Dengan kata lain, profesionalitas dalam bisnis menuntut juga adanya kompetensi yang memadai dalam memecahkan tantangan etika bisnis yang sekarang ditengarai mulai longgar (permissive). Kemampuan untuk menentukan sikap–sikap etis yang tepat, termasuk kompentensi sebagai enterpreuner atau manajer. Begitu pula sebuah perusahaan hanya akan berhasil dalam waktu panjang apabila berpegang pada standart–standart etis yang berlaku.
Sedangkan etika yang perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis, sebagai prasyarat untuk meraih keberkahan atas nial transenden adalah sebagai berikut:
Pertama, jujur dalam takaran ini sangat penting ntuk diperhatikan karena Tuhan secara gamblang mengatakan :
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3) [المطففين/1-3]
“Celakalah bagi orang yang curang. Apabila mereka menyukai dari orang lain (untuk dirinya), dipenuhkannya (sukatannya). Tetapi apabila mereka menyukat (untuk orang lain) atau menimbang (untuk orang lain) , dikuranginya”.
Kejujuran ini harus direalisasikan antara lain dalam praktik penggunaan timbangan yang tidak membedakan antara kepentingan pribadi (penjual) mapun orang lain (pembeli).
Kedua, menjual barang yang baik mutunya. Salah satu cacat etis dalam perdagangan adalah tidak transparant dalam hal mutu, yang berarti mengabaikan tanggng jawab moral dalam dunia bisnis. Lebih jauh mengejar keuntungan dengan menyembunyikan mutu, identik dengan bersikap tidak adil. Bahkan secara tidak langsung telah mengadakan penindasan terhadap pembeli yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Penindasan merupakan kezaliman. Karena sesungguhnya orang – orang zalim tidak akan mendapatkan keuntungan, sebagaimana Firman Allah :
وَقَالَ مُوسَى رَبِّي أَعْلَمُ بِمَنْ جَاءَ بِالْهُدَى مِنْ عِنْدِهِ وَمَنْ تَكُونُ لَهُ عَاقِبَةُ الدَّارِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ [القصص/37]
Ketiga, dilarang menggunakan sumpah, seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari – hari, terutama dikalangan para pedagang kelas bawah apa yang dikenal dengan obral sumpah. Mereka terlalu mudah menggunakan sumpah dengan maksud untuk meyakinkan pembeli bahwa barang dagangannya benar – benar berkualitas, dengan harapan agar orang terdorong untuk membelinya. Dalam Islam perbuatan semacam ini tidak dibenarkan karena juga menghilangkan keberkahan sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ”dari Abu Hurairah saya mendengar Rasulullah bersabda ; “Sumpah itu melariskan degangan tetapi menghapuskan keberkahan.
Keempat, longgar dan bermurah hati . dalam transaksi terjadi kontrak antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini seorang penjual diharapakan bersikap ramah dan bermurah hati kepada setiap pembeli. Dengan sikap ini , penjual akan mendapat berkah dalam penjualan dan akan diminati oleh pembeli. Kunci suksesnya adalah satu yaitu service kepada orang lain.
Rasulullah bersabda ”Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah bagimu” (HR al Turmudzi)
Dalam hubungan ini, bisa direnungi Firman Allah yang berbunyi :
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ [آل عمران/159]
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu’
Kelima, menetapkan harga dengan transparant. Harga yang tidak transparant bisa mengandung penipuan. Untuk itu menetapkan harga dengan terbuka dan wajar sangat dihormati dalam Islam agar tidak terjerumus dalam riba. Kendati dalam dunia bisnis kita tetap ingin memperoleh prestasi (keuntungan), namun hak pembeli harus tetap dihormati. Dalam arti penjual harus bersikap toleran terhadap kepentingan pembeli, terlepas apakah ia sebagai konsumen tetap maupun bebas. Bukankah sikap toleran itu akan mendatangkan rahmat dari Allah sebagaimana dalam hadistnya : “Sesungguhnya Rasulullah bersabda : Allah telah memberi rahmat kepada seseorang yang bersikap toleran ketika membeli, menjual dan menagih janji (utang)”
Keenam, kelayakan dalam penetapan laba. Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam mengambil laba. Batasan laba ideal dapat dilakukan dengan tidak terlalu tinggi dalam mengambil laba. Sebagian ulama membatasi pengambilan laba ini dengan tidak boleh lebih dari sepertiga. Misalnya nilai produksi atau pembelian barangnya Rp. 10.000, maka tidak boleh dijual lebih dari Rp. 13.000. Jadi walaupun dalam bisnis juga berlaku hukum “Yang penting sama-sama mau”, tapi tetap saja harus tidak keterlaluan dalam mengambil keuntungan atau laba.
Dari keenam etika yang telah dipaparkan di atas, diharapkan bisnis itu bukan hanya menjadi ajang untuk mencari keuntungan sebagai bekal kehidupan dunia. Melainkan sebagai cara untuk membantu atau menolong orang lain yang lalu akan berimbas pada kepuasan batin dan keberkahan dalam penghasilan.