Siapa saja pasti mengharapkan, mengimpikan, dan bercita-cita ingin memiliki pasangan halal yang baik. ‘Baik’ di sini tidak berorentasi pada zhahirnya, semisal berupa harta, kedudukan, dan keelokan fisik, bahkan pintar atau alim pun juga tidak. Maksud ‘baik’ yang tepat dalam konteks ini adalah sifat atau karakter seseorang.
Kaya, kedudukan yang mapan atau tinggi, apalagi sekedar fisik yang ideal, semua ini bukanlah orentasi utama dalam memilih pasangan. Karena masing-masing tersebut bukan standart untuk dijadikan syarat ketika menentukan pasangan. Semua itu hanyalah formalitas dalam penilaian cinta. Jika ada yang menjadikan sebagai syarat, berarti orang tersebut sama sekali tidak memperhatikan syarat utama dalam memilih pasangan, yaitu “baik”.
Lalu bagaimana dengan pintar atau alim? Tunggu dulu! Pintar atau alim tidak bisa dijadikan standart bagi seseorang memiliki karakter atau sifat yang baik. Banyak orang alim atau pintar, tapi sifat atau karakternya tidak baik. Kendati demikian, pintar atau alim tetap menjadi salah satu bahan pertimbangan ketika menentukan pasangan.
Lantas seperti apa seseorang yang memiliki sifat atau karakter yang baik? Secara umum, ada beberapa sifat atau karakter seseorang dinobatkan sebagai orang baik, yaitu jujur, amanah, bertanggung jawab, penyabar, kebiasaannya baik, pemaaf, menerima apa adanya, peduli pada orang lain, dan tentu ibadahnya bagus, dan lain sebagainya. Dalam cinta, seseorang dianggap baik semisal penyayang, pengertian, perhatian, mau berkorban untuk orang yang dicintai, cara bicaranya lembut dan romantis, sikapnya ramah penuh kasih sayang, dan lain sebagainya.
Kurang-lebih begitulah gambaran orang baik. Orang yang tidak memiliki sifat atau karakter tersebut tentu dianggap orang tidak baik, bahasa antonimnya buruk, keji, jelek, jahat, bejat, atau diistilahkan dengan akhlak atau moralnya tidak bagus.
Ironisnya, ada orang dianggap tidak baik karena menjadi korban dari kesimpulan orang-orang yang didasarkan kepada beberapa fakta saja, cerita belaka, atau anggapan pribadi yang tidak berdasarkan apa-apa. Dari semua ini lalu disimpulkan bahwa orang tersebut tidak baik. Sebenarnya, orang tidak baik itu karena dua hal, bisa karena memang karakternya dan mungkin karena kondisi sekitar.
Jadi, kita jangan terlalu gampang menvonis orang lain tidak baik. Kita harus mempertimbangkan banyak hal. Mungkin, jika memang sifat atau karakternya, sulit juga kita maklumi. Tapi, jika ketidakbaikannya karena kondisi, ini yang perlu kita cuci. Artinya, ketika ada orang tidak baik karena kondisi sekitar, kita jangan langsung main hakim dengan menyatakan orang tersebut tidak baik. Orang yang seperti ini biasanya diungkapkan, “Sebenarnya dia baik, hanya saja karena beberap hal”. Semisal ada orang mencuri karena mendesak, pasti orang-orang akan mengatakan –khususnya orang yang mengerti-, “Orang ini baik, hanya saja karena dia lapar dan tidak memiliki uang, akhirnya dengan terpaksa dia mencuri.”
Rumus menobatkan “orang tidak baik” seharusnya begini, jika memang ada fakta, selidiki terlebih dahulu, kira-kira apa sebabnya, apa mungkin itu benar, dan apakah fakta itu memang kebiasaannya. Jika berupa cerita-cerita yang didengar dari mulut ke mulut, harus cerdas menilai cerita tersebut, jangan langsung mengambil keputusan, “orang itu tidak baik”. Dan, apalagi nilai ketidakbaikan orang lain hanya anggapan pribadi belaka, yang diukur dengan diri sendiri. Masih mending jika diukur dengan diri sendiri tanpa unsur apa-apa, khawatir diukur dengan penilaian sinis dan egois.
Oke! Kita kembali pada pembahasan “pasangan halal”. Dalam hal ini, ada tiga bagian, ada orang baik dengan yang baik, ada orang buruk dengan yang buruk, dan ada orang yang baik dengan orang yang buruk.
#Orang baik dengen yang baik
Menerima seseorang yang baik, siapa saja bisa. Karena memang itu yang dikehendaki dalam memilih pasangan. Merupakan suatu anugerah Allah jika kita baik mendapatkan pasangan yang baik pula. Namun, jangan pernah merasa baik ketika kita mendapatkan pasangan yang baik. Ketika kita merasa seperti itu, berarti kita masih belum baik. Kita cukup bersyukur saja, tidak perlu merasa apalagi disebarluaskan dengan ungkapan, “Pasanganku orang baik, lho”.
Ingat! Mungkin saja kita mendapatkan orang baik karena diri kita masih belum baik (sekedar merasa saja), sehingga harus ada orang lain untuk merubah kita menjadi yang baik. Jika kita memang baik, berarti orang baik yang menjadi pasangan kita akan menjadi penjaga kebaikan kita dan bahkan yang akan membuat kita lebih baik.
Jika kita memang ingin mendapatkan pasangan yang baik, kita jangan pernah merasa “baik”. Kita selalu berupaya saja menjadi yang terbaik, dengan menjaga ucapan, tingkah, kebiasaan, dan niat. Insyallah dengan begitu, kita akan diberikan pasangan yang baik dari Allah. Amin…
#Orang buruk dengan yang buruk
Nau’zdubillah. Semoga macam yang kedua ini tidak pernah terjadi. Jika terjadi, bagaimana kondisi kehidupan ini? Pasti kondisinya menjadi rusak dan gelap. Karena, jika satu keburukan dikumpulkan dengan keburukan yang lain lalu menyatu, akan menjadi keburukan yang besar dan kuat lalu menyebar luas. Semisal dalam satu keluarga, suami istri sama-sama buruk, lalu kedua orang tua ini mengkader anak-anaknya, cucu-cucunya, bahkan keturunannya menjadi buruk juga. Bayangkan apa yang akan terjadi dalam keluarga tersebut? Jika sampai ada banyak keluarga yang serperti itu? Gak kebayang bagaimana kondisi kehidupan ini. Na’udzubillah…