Dalam masyarakat kuno dan modern, kebebasan telah mengalami beberapa fase yang berbeda. Kebebasan pertama kalinya bersandar kepada adat, kebiasaan, dan tradisi yang turun temurun kemudian dilegitimasi pemerintah dan dimasukkan kedalam undang-undang serta peraturan-peraturan negara, sehingga pada akhirnya kebebasan tadi berlaku dengan kekuatan konstitusional dalam sebuah negara. Setelah itu dibentuk dan dikumandangkan secara jelas dalam beberapa pakta internasional. Secara singkat, sejarah kebebasan dapat dibagi kedalam empat fase, yaitu:
Fase Pertama: Kebebasan dalam Masyarakat Primitif
Masyarakat primitif dan kuno mengakui adanya kebebasan dalam lingkup kepercayaan, adat, tradisi, yang berlaku pada daerah setempat dan di bawah naungan kekuasaan sosial secara langsung. Artinya, kebebasan yang mengharuskan dirinya sendiri terhadap seluruh anggota kelompok tanpa adanya pembiasaan salah satu dari masyarakat yang bersangkutan.
Seorang individu dengan wataknya akan menghormati sistem yang dibuat kelompoknya yang sudah diakui oleh beberapa adat kebiasaan dan tradisi tertentu yang hidup berdampingan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu anggota masyarakatpun tidak ada yang berani menentang aturan-aturan yang telah dibuat, sebab menentang aturan yang telah disepakati berarti melakukan tindak kriminal yang akhirnya sang pelaku dihadapkan pada hukuman-hukuman alami atas perbuatannya. Maksudnya, bahwa kebebasan itu memiliki keterkaitan dengan adat dan kebiasaan, baik itu di tengah-tengah suku maupun kabilah yang mempunyai distrik, yang kemudian pada masa selanjutnya yang tergambar dalam sejarah adalah munculnya sebuah desa, kota, dan kemudian Negara. Setelah itu kepemimpinan berlangsung dan semuanya mentaati, sampai ‘menitis’ pada orang tertentu dan terbatas hanya pada orang tersebut.
Fase Kedua: Kebebasan di Negara Yunani dan Romawi
Kebebasan di negara Yunani memiliki sifat politik, bukan pribadi. Artinya, setiap manusia yang bertempat tinggal berhak ikut serta dalam urusan administrative umum, maka kemudian diberi nama kebebasan peran serta yaitu berhubungan dengan kehidupan berdemokrasi yang berlaku di beberapa kota.
Masyarakat Yunani tidak berpikir perlunya perlindungan individu dengan sungguh-sungguh, jauh dari nilai sosial. Setiap individu benar-benar tunduk kepada negara, baik secara ideologi, ekonomi, dan sosial. Jadi mereka tidak memiliki kebebasan sama sekali. Akan teapi kenyataan ini berubah dengan hilangnya independensi kota-kota di Yunani, dan kemudian pada gilirannya setiap individu memisahkan diri dari negara, yang kemudian negara mengakui adanya persamaan penuh antar semua individu dan membuang jauh-jauh pembedaan antara masyarakat Yunani dan lainnya.
Kondisi yang terjadi pada masyarakat Romawi hampir sama dengan orang-orang Yunani. Pemiiran nasionalistik adalah yang paling domonan. Ide ini menjamin hak untuk ikut serta dalam kehidupan berpolitik. Secara umum masyarakat Romawi dapat diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu penduduk asli, latin, dan penduduk asing. Kemudian Imperium Karakala pada tahun 212 SM memberikan dekrit yang terkenal dengan beberapa penjagaan kerajaan terhadap para penduduk Romawi. Setelah itu muncul undang-undang publikyang disandarkan pada semua kebiasaan, kaidah-kaidah keadialan, dan undang-undang alami, serta menyamaratakan antara Romawi dan lainnya. Pemikir Shisyrun adalah sosok pertama kali yang membela hak-hak rakyat. Dia menguatkan terhadap kebebasan manusia sendiri yang independen dari masyarakat.
Fase Ketiga: Kebebasan pada Abad Pertengahan
Beberapa hak dan kebebasan di Barat pada abad pertengahan tidak memiliki bentuk yang jelas. Hal ini dikarenakan dua sebab; pertama, konflik yang terjadi antara kerajaan dan gereja dengan keadaan dan karakteristik masing-masing, serta dengan adanya sistem memisahkan diri; kedua, adanya kekuasaan absolut bagi para raja yang tidak mengakui adanya hak-hak maupun kebebasan individu. Disamping juga tidak adanya persamaan diantara semua tingkatan dalam masyarakat.
Pada saat itu pihak gereja mengingkari teori hak Tuhan dalam pemerintahan kekaisaran. Sedangkan sang kaisar pun berpegang teguh pada hal itu dengan mengungkapkan bahwa kekuasaannya bersifat absolut (tanpa batas) dan ia mengambilnya dari Allah. Di sini nampak adanya sebagian orientasi pemikiran yang mengajak pengakuan terhadap kebebasan berpolitik dan pentingnya peletakan ikatan-ikatan pada kekuasaan penguasa, terutama kaisar. Namun pihak gereja menyangka bahwa orientasi tersebut adalah karena adanya konflik dengan pihak kaisar pada akhir masa kekaisaran Romawi dan berlangsung samapai abad pertengahan. Intinya, dasar dari sistem perpolitikan bagi masyarakat adalah penyia-nyiaan kebebasan individu dan penundukan individu terhadap kepentingan negara dan beberapa tingkatan yang berkuasa.