Kehidupan menjadi menyenangkan manakala terjadi suasana yang penuh dengan kedamaian, adanya kebersamaan, saling tolong menolong antar sesama, dan apalagi tatkala semua itu dilandasi oleh suasana saling mencintai, menghargai, dan menghormati. Masyarakat seperti itu, selain menyenangkan juga sebagai petanda berperadaban tinggi.
Sebagai warga negara, saya menangkap bahwa sebenarnya yang ingin dituju oleh bangsa Indonesia adalah sebagaimana digambarkan tersebut. Masyarakat yang dari berbagai aspeknya berbeda-beda, baik dari suku, bahasa daerah, adat istiadat, agama, dan bahkan perbedaan itu juga dari penampakan fisiknya sekalipun, tetapi tetap bisa bersatu, mereka secara bersama-sama bisa hidup dengan penuh kedamaian.
Gambaran tentang masyarakat yang sedemikian indah itu, ternyata belum ada tanda-tanda semakin dekat waktunya bisa diraih. Pada akhir-akhir ini gambarannya justru berbalik. Banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang sebenarnya jauh dari kedamaian. Konflik di mana-mana terjadi. Tidak sedikit pimpinan bangsa ini berseteru memperebutkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu jelas. Tuduh menuduh, caci mencaci, merendahkan, dan bahkan bidik membidik dianggap hal biasa.
Selain itu, orang-orang berpotensi yang sebenarnya bisa diajak untuk membangun bangsa ini tidak terlalu dihitung. Orang hanya dilihat dari satu sudut pandang, dan bahkan hanya dari kekurangan atau kesalahannya. Manusia belum dipandang secara utuh dari berbagai aspeknya. Betapa banyak orang-orang pintar hanya karena korban sistem kemudian dipenjarakan. Seolah-olah bangsa ini tidak merasa kehilangan dengan kebijakannya itu. Memasukkan ke penjara seseorang dianggap sebagai kesuksesan.
Sebaliknya, yang diutamakan adalah uang. Kekayaan yang bersifat materi diposisikan pada tempat yang berlebih-lebihan. Seolah-olah uang tidak boleh hilang. Manakala harus dipilih antara uang dan martabat seseorang, maka justru uang yang diselamatkan. Martabat seseorang dikalahkan oleh sekedar jumlah besarnya nilai rupiah. Padahal, bukankah seharusnya berbalik. Uang boleh hilang, tetapi manusia, apapun harus diselamatkan.
Selain uang yang dianggap tinggi dan harus diperebutkan adalah kekuasaan. Banyak orang mengangap bahwa untuk mendapatkan kekuasaan, maka dianggap wajar tatkala harus menggunakan uang. Maka, terjadilah jual beli suara agar seseorang memperoleh kekuasaan itu. Suara menjadi diperebutkan secara terbuka di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena proses-proses transaksional dalam meraih kekuasaan itu, maka kewibawaan pemimpin atau pejabat publik menjadi runtuh. Pejabat dijadikan bahan tertawaan sudah dianggap hal biasa. Seseorang diberi derajad tinggi bukan atas dasar ilmunya, melainkan karena uangnya.
Berisik tentang uang dan jabatan terjadi di mana-mana. Bahkan, jika diamati dan direnungkan secara mendalam, maka gerakan pemberantasan korupsi pada akhir-akhir ini, terasa masih sekedar terkait menyelamatkan uang dan kekuasaan itu. Pemberantasan korupsi semestinya bukan sebatas menyelamatkan uang, melainkan juga dilakukan sebagai bagian dari upaya membangun peradaban bangsa. Oleh karena itu yang dilakukan seharusnya bukan sekedar menangkap orang-orang yang ditengarahi melakukan tindakan tidak terpuji itu, melainkan juga mencegah lahirnya orang-orang yang akan berpotensi melakukan kesalahan itu. Diumpamakan membersihkan lantai, tidak saja mengepel, melainkan juga membenahi gentingnya yang bocor.
Bangsa ini berisik bukan terkait persoalan besar, misalnya tentang pandangan hidup, kebangsaan, keadilan, prestasi temuan ilmu pengetahuan, teknologi, gerakan mengentaskan kemiskinan secara massal, menyusun kekuatan agar meraih kemenangan tatkala bersaing dengan negara-negara maju, dan sejenisnya. Bangsa ini berisik hanya memperbincangkan uang dan kekuasaan. Pada saat sekarang ini perbincangan hanya di seputar koruptor, pencuri, penyuap, dan pat gulipat lainnya. Kiranya ke depan, bangsa ini memerlukan pemimpin yang mampu membawa bangsa besar ini pada isu-isu besar menyangkut kemanusiaan yang lebih mendasar.
Sekedar sebagai contoh, apa yang dimaksud dengan isu besar itu misalnya, bahwa bangsa ini disebut kaya berbagai jenis tambang, hutan, laut, dan tanah yang luas dan subur. Semestinya segera dipikirkan atau bahkan diaudit secara menyeluruh dan mendasar, siapa sebenarnya yang selama ini mengekploitasi dan meraup keuntungan dari berbagai potensi itu sehingga bangsa dan negara ini masih disebut tertinggal dan miskin. Saya kadang berpikir, jangan-jangan justru mereka yang berandil salah besar mengeruk kekayaan bangsa ini justru selamat, sementara pemimpin bangsa ini hanya sibuk saling menyalahkan antara satu dengan lainnya. Berangkat dari penglihatan dimaksud kiranya akan ditemukan rumusan tema besar dalam rangka membangun bangsa ini.
Dulu Presiden Soekarno pernah berhasil membangun tema-tema besar, seperti konsep kebersamaan bangsa-bangsa se Asia Afrika, konsep berdikari, membangun tiga poros kota di dunia, bahkan oleh karena jiwa besarnya hingga berani berkonfrontasi dengan PBB, dan lain-lain. Maka, terasa aneh, manakala bangsa besar ini hanya diajak mengkritik para penghulu tatkala mendapatkan sesuatu yang tidak seberapa nilainya. Bangsa besar seperti ini seharusnya tidak hanya disibukkan mengatur persoaloan teknis pencatatan nikah, misalnya.
Pandangan saya seperti itu, bukan berarti, bahwa saya menyetujui para penghulu mendapatkan gratifikasi. Akan tetapi persoalan kepenghuluan itu jauh lebih sederhana dan bahkan tidak ada apa-apanya dibanding dengan kekayaan bangsa yang selama ini diusung dan dikemplang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sekedar untuk kepentingan dirinya. Kita lihat misalnya lagi, sekedar memenuhi kebutuhan daging, kedelai, beras, bawang, ketela, dan bahkan garam saja, bangsa ini masih mengimport. Pertanyaan besarnya adalah ada apa sebenarnya di balik itu semua. Saya melihat bahwa, bangsa ini sebenarnya bukan sekedar kekurangan uang, melainkan yang lebih mendasar adalah kekurangan tema-tema dan pikiran-pikiran besar. Wallahu a’lam.
[…] Download Image More @ cyberdakwah.com […]