[Cerpen] Maka Nikmat Tuhan-mu yang Manakah yang Kamu Dustakan?

0
1165

“Fabayyi aalāirabbikumaa tukadz dzibaan (77).Tabarakasmurabbika dzil jalaali wal ikraam (78).Shadaqallahul ‘azhiim”.Potongan ayat ini membuat Dini terdiam sejenak. Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?.

“Hmmm…Seminggu ini aku banyak ngeluh nggak, ya? Kayaknya nggak, deh! Sabtu kemarin kan dapat uang saku dari ayah tapi.. masih kurang, Jum’atnya jalan-jalan ke pasar tapi banyak sekali yang nggak bisa dibeli, Kamisnya makan bakso bareng teman-teman tapi baksonya kurang banyak, Rabunya pergi ke Bogor, rasanya seneng banget tapi di sana lumayan ngeseli juga, soalnya banyak akhwat yang lebih cantik dari aku sih. He…he.. Terus hari ini…”

“Ukh..”Rani tiba-tiba datang dan membuyarkan semua lamunan Dini.“Sore ini ada acara nggak?”. “InsyaAllah nggak ada, ada yang bisa saya bantu shahibiy?”.Zahrah terdiam sebentar, lalu bicara sedikit dilanjutkan dengan senyum manisnya “Cari Bapak-bapak yuk sore nanti?”.

Dini terdiam sejenak “Hah, Bapak-bapak? Ngapain Ra?” sahut Dini dengan penuh keheranan.“Yups, Bapak-bapak, tapi jangan mikir yang aneh-aneh ya.Itu tuh Bapak yang ada di samping asrama yang lagi menanam padi. “Mau ya Din?” desak Zahrah.

“Ok , insyaAllah”. Dini tidak akan mungkin bisa menolak jika temannya yang satu ini yang minta, apalagi jurus saktinya keluar, memelas dengan disertai ekspresinya seperti anak kelaparan yang belum makan selama seminggu.

Takdir Allah telah menemukan Dini dan teman-temannya disini. Menjadi para perantau yang jauh dari keluarga dan haus akan kasih sayang. Namun, semua keluhan ini tidak berlaku untuk mereka, mengapa?karena Allah menjadikan mereka sebagai keluarga besar yang saling mencintai karena-Nya.Mendapatkan beasiswa adalah salah satu nikmat yang didapatkan di negeri perantauan ini. Kuliah gratis, laptop gratis, asrama gratis, pokoknya semuanya gratis kecuali satu, yaitu biaya makan.Nah, untuk urusan yang satu ini tidak ada yang bersedia untuk membahasnya secara mendalam.

“Emang mau ngapain? Mending nyari aku aja?” Dini mencoba menggali informasi mengenai rencana yang akan dilakukan Zahrah. “Makanya nanti sore temani aku ya!”.“Yo wes ora opo-opolah”.Dini menyerah dan tak sabar menunggu nanti sore.

“Din, ayo bangun!Katanya mau nemenin aku” Zahrah membangunkan Dini sambil mengguncang-guncang tubuhnya.“Oh, iya.Ane lupa. Tadi ketiduran soalnya ngantuk banget nih!”.

Setelah mencuci wajahnya Dini segera bergegas menemui Zahrah yang sudah menunggu di luar asrama. “Let’s go ukh. Kita cari Bapak itu!” ajak Dini dengan semangat 45.“Cari barang yang mau dikasih dulu dong!”sahut Zahrah. “Lho, emang buat apa?” tanya Dini heran. “ Begini Diniku sayang, aku itu sudah lama sekali nggak sedekah. Saatnya aku menyisihkan sedikit rezekiku dulu sekarang dan sepertinya Bapak itu pantas untuk menerimanya” Zahrah akhirnya menjelaskan maksudnya mencari Bapak tersebut.

“Hmmm… begitu rupanya. Ayo kita cari!”.Mereka berdua berjalan menuju warung untuk membeli beberapa sembako yang akan diberikan. Setelah mendapatkan barang yang mereka butuhkan, tanpa menunda-nunda lagi, mereka segera pergi mencari bapak tersebut.Sepanjang jalan Dini hanya bisa mengagumi sikap temannya itu.Unik dan luar biasa, pikirnya.Tak pernah terbayang di benak Dini untuk melakukan amalan mulia seperti ini.Dini jadi ingat renungannya pagi tadi yang ternyata lebih banyak mengeluhnya daripada bersyukur.Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?

“Itu Bapaknya, Ra!” Dini menjerit sambil menunjuk ke arah Bapak yang mereka cari dari tadi. Dini dan Zahrah segera menghampiri beliau untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka menemui bapak tersebut.“Ini ada sedikit rezeki buat Bapak?”Zahrah memberikan bungkusan yang telah disiapkan tadi disertai dengan senyuman manis. “Nggak usah Neng, buat Neng aja” Bapak tersebut menolak pemberian Zahrah sambil memerhatikan penampilan mereka berdua dari atas kepala sampai ujung kaki.

“Nggak apa-apa kok Pak, ini rezeki untuk Bapak!”Zahrah mulai memaksa.“Oh, kalau begitu terima kasih ya Neng” Bapak itu akhirnya menerima pemberian Zahrah dengan ekspresi wajahnya yang seperti orang ketakutan.

Zahrah dan Dini pun beranjak pergi meninggalkan Bapak tersebut, tapi di sepanjang jalan suasana menjadi hening dan sepi. “Kok cara melihat Bapak itu ke kita aneh ya Ra?” kata Dini memecah keheningan. “Itu yang aku takutkan, Din”.“Apa hal tersebut dikarenakan penampilan kita yang seperti ini?”Dini memperhatikan dirinya sendiri.Mereka berdua memperhatikan diri masing-masing mulai dari atas hingga bawah. “Apa jilbab kita aneh ya Ra? Kepanjangan ya?Atau kaos kaki yang kita gunakan? Atau juga bajunya yang aneh?” tanya Dini panjang.

“Mungkin kamu benar Din” jawab Zahrah dengan ekspresi kecewa.“Itulah salah satu ujian buat kita.Mungkin kita dianggapnya aneh atau mungkin… teroris?” sahut Zahrah.Dini diam dan dalam pikirannya dia ingat kembali masa suramnya dulu saat belum mencoba berpakaian syar’i seperti sekarang.

“Kayaknya dulu aku juga berpikiran seperti itu.Orang seperti kita ini aneh sekali dan bahkan mungkin termasuk teroris” Dini berkata di dalam hati.“Rupanya semua pandangan itu tidak benar.Buktinya aku bukan seperti itu kok!” sahut Dini di dalam hati.Dini dan Zahrah terdiam sepi di sepanjang perjalanan hingga sampai di asrama.

“Ya sudahlah jangan terlalu dipirkan. Keep Fighting Ukh..”Zahrah mencoba mencairkan suasana. Namun, air mata Zahrah tak terbendung lagi untuk jatuh yang menunjukkan bahwa ia kecewa, sungguh benar-benar kecewa. Dini memeluk menepuk bahu Zahrah mencoba menguatkannya.“Aku duluan ya.Innallaha Ma’a Shabiriin” Dini pamit masuk ke kamar duluan.Mereka berdua masuk ke kamar masing-masing dengan perasaan yang sangat tidak baik.

Kuliah di tempat yang didominasi oleh orang-orang non-muslim pada awalnya membuat Dini cukup khawatir.“Bagaimana nanti imanku di sana?” pikir Dini dulu. Namun, Allah punya rencana lain yang telah dipersiapkan. Allah mempertemukan Dini dengan orang-orang yang dianggapnya sungguh luar biasa yang telah merubahnya dari seorang wanita biasa menjadi akhwat yang mau memperbaiki dirinya berdasarkan syari’at islam.

Semua perubahan ini tentunya tak berjalan mulus seperti yang terlihat. Setiap pagi Dini dan mahasiswa muslim lainnya harus tetap fokus menjalankan shalat shubuh dan membaca Al-qur’an meskipun suara nyanyian peribadatan teman-teman mereka yang beragama non-muslim terdengar nyaring di telinga. Tak heran jika mereka sampai hafal syair yang setiap hari menari-nari di telinga mereka tersebut. Awalnya proses cukup menghambat semua niat baiknya khususnya dalam berhijab yang syar’i. Celana jeans dan jilbab modis yang menjadi gaya hidup Dini sangat sulit dilepaskan. Berjuta kali ayat mengenai kewajiban untuk berhijab yang benar sampai di telinga, berjuta kali lipat pula godaan syaitan menghadang.

Hingga suatu ketika hati Dini pun tergerak karena cemburu melihat temannya yang sudah mendahuluinya mengenakan jilbab panjang dan tebal.Entah kenapa ada dorongan dari dalam dirinya untuk segera berubah.Rasa malu pun muncul dari lubuk hati, selamat tinggal masa kelam.Jilbab panjang yang menutup dada, manset yang menutupi pergelangan tangan, kaos kaki yang menutupi kaki, teman-teman seperjuangan dan tentunya Allah yang mendominasi di hati merupakan nikmat terbesar yang ia dapatkan kini.

Sedih dengan perlakuan yang telah didapatkan dari Bapak tadi, Dini menjadi terdiam bisu di dalam kamar. Tak lama kemudian, ia teringat kembali dengan renungannya.Ya Allah alangkah beratnya ujian-Mu ini.Orang yang baik saja tak semulus seperti yang kupikirkan” pikir Dini.Dini teringat sesuatu kemudian berdiri mengambil spidol lalu mendekati kaca lemari dan menuliskan satu potong kalimat, Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? “Tolong bantu hamba-Mu ini ya Allah” harap Dini. Hari berlalu seperti biasanya, tak ada yang berubah.Rasa takut atas kejadian kemarin sudah mulai menghilang dari benak.Keep istiqomah! “Masih banyak yang harus aku perbaiki dan pelajari”ujar Dini.

Dini membawa piring lalu menuju dapur untuk mengambil nasi. Di dapur dia bertemu dengan Yani yang sedang asyik dengan pekerjaannya.“Asyik, nih! lagi buat apa Yan?” celetus Dini yang mulai tertarik. “Biasa Din, lagi buat kue ni untuk jualan” jawab Yani yang masih asyik dengan adonannya. “Keren Yan!”. “Apanya yang keren, aku ini aneh ya?” tanya Yani. “Nggak, siapa yang bilang begitu?”Dini mencoba menepis pernyataan Yani. “Ya, gini deh kerjaan aku Din. Aku nggak bisa diam aja tanpa ada manfaatnya, jadi aku coba buat kue ini aja untuk dijual. “Emang untungnya banyak?” tanya Dini. “Ya nggak Din, tapi hasilnya lumayan kok.” sahut Yani.“Enak ya bisa cari uang sendiri. Aku sendiri saja masih belum bisa”.“Iya enak, tapi berat juga cobaannya, tapi sabtu kemarin aku dapat pengalaman baru lho Din!”.“Pengalaman apa?“Aku bantu-bantu Ibu yang jual nasi di pasar senin”.“Terus?” Dini menjadi semakin penasaran.“Aku dikasih makan gratis plus uang dua puluh lima ribu rupiah”.“Ehm… enak banget Yan!”“iya sih, nanti kapan-kapan aku ajak kesana ya!”

Dari sosok seorang Yani, Dini banyak mendapatkan hal baru. Yani memang berasal dari keluarga pas-pasan sehingga ia sudah terbiasa banting tulang untuk mencari tambahan uang. Sebenarnya orang tua Yani sendiri tak setuju kalau ia harus berjualan di asrama dengan alasan cukup orang tuanya saja yang mencari uang.Dini menarik nafas panjang dan berfikir sejenak. Di otaknya terlintas wajah ayah dan ibunya yang saat ini berada nun jauh di sana.“Wah, kalau aku bisa dapat uang dari hasil kerja kerasku sendiri, lumayan buat ayah sama ibu sedikit bangga. Kan lumayan buat tambah-tambahan” Dini terdiam dan tersenyum hingga membuat gigi-giginya tampak terlihat.

Assalamu’alaykum ya Akhiy, ya Ukhtiy….” nyanyian indah Opick yang terdengar dari handphone Dini sebagai tanda kalau ada seseorang yang menghubunginya segera membuatnya berdiri menghampiri dan mengangkat panggilannya.

“Halo, assalamu’alaykum Bu” Dini menerima panggilan telepon dari ibunya.“Wa’alaykumussalam, apa kabar Kak?”.

“Alhamdulillah baik Bu. Ibu, Ayah, dan adik di rumah apa kabarnya?”.

“Alhamdulillah baik juga Kak.

“Kakak sudah makan?”.

“Sudah Bu. Ibu sudah makan?”.

“Sudah kok. Kakak lagi ngapain?”.

“Sedang ngeliatin temen yang lagi buat kue untuk dijual”.

“Sama siapa?”.

“Sendiri. Keren kan Bu?”.

“Iya, keren Kak. Kakak juga ikut jualan?”.

“Nggak, Kakak cuma ngeliatin doang”.

“Iya, Kakak jangan ikut-ikutan jualan ya nak?”.

“Memangnya kenapa Bu?”

“Kakak belajar saja yang rajin di sana biar Ayah yang cari uang”.

“Oh, iya Bu”.

Pandangan Dini langsung tertuju pada Yani yang cuma bisa senyum-senyun saja mendengarkan pembicaraan Dini. Baru saja ia berencana ikut-ikutan seperti Yani, tapi baru juga ibunya melarangnya.“Udah dulu ya Kak, nanti Ibu telepon lagi. Hati-hati ya nak di sana”.

“Ya Bu”.

“Assalamu’alaykum”.

“Wa’alaykumussalam”.

Dini mengakhiri obrolan dengan Ibunya, lalu segera menuju ke kamar.Dipakainya mukenah dan diambilnya Al-qur’an yang tersusun rapi di atas meja belajarnya.Ia mulai membaca beberapa ayat dengan iramanya yang merdu. Matanya mulai terpejam dan bibirnya mulai komat-kamit menghapal ayat Al-qur’an. Saat ini surat An-naba’ jadi pilihan untuk di simpan di memori otaknya.

“Din, bangun. Shalat dulu yuk!” Ratih mencoba membangunkan Dini dengan suara selembut mungkin agar Dini tidak terkejut.Tanpa Dini sadari semalam saat Dini menghafal, matanya terlelap tanpa meminta izin padanya terlebih dahulu sehingga Dini pun tertidur dalam posisi masih mengenakan mukenah dan memeluk Al-qur’an di tangannya.

“Astaghfirullah hal’aziim” Dini mulai bangun dan menyadari semuanya.Ia pun segera bergegas mengambil air wudhu dan shalat berjamaah dengan teman sekamarnya, Ratih. Mereka memang sering melaksanakan shalat berjamaah, tentunya dengan mengharap pahala yang lebih besar dibandingkan mereka shalat secara munfarid.Mereka tak hanya shalat berdua, terkadang mereka juga berjamaah dengan tetangga mereka, Ida.Mereka memang tak hanya menjalani hubungan sebagai teman sejamaah saat shalat, tapi jauh dari itu.Pertemanan yang tidak biasa, yakni pertemanan yang dilandasi dengan rasa cinta karena Allah S.W.T.

Dari pertemanan ini jugalah Dini mulai memperbaiki dirinya untuk menjadi seorang muslimah, muslimah yang lebih baik dari seorang Dini yang sebelumnya.Pertemanan dengan Zahrah semakin menambah kesadaran dirinya untuk berubah jauh lebih baik. Dengan berawal dari rasa malu karena teman-temannya yang sudah terlebih dahulu memahami syari’at islam, akhirnya berbuah manis untuk perkembangan hidup Dini.

“Assalamu’alaykum, Din hari ini ada kerjaan nggak?”Yani tiba-tiba datang dan segera menemui Dini yang sedang mengobrol dengan Ida.

“Wa’alaykumussalam, nggak ada Yan. Emangnya kenapa?” tanya Dini heran.“Ikut aku yuk! Katanya mau dapat pengalaman baru”Yani mencoba membujuk Dini.

Yani mengajak Dini untuk datang ke tempat Ibu penjual nasi yang pernah diceritakannya kemarin.Yani pikir mungkin hari ini ada rejeki buatnya dan Dini.

“Ok, ayo. Aku mandi dulu ya”.

“Jam sembilan kita berangkat”.

Setelah mendapat persetujuan dari Dini, Yani segera kembali ke kamar, begitupun dengan Dini. Segera ia hentikan obrolan asyiknya dengan Ida. Sambil berfikir panjang karena teringat dengan nasihat dari ibunya semalam, Dini tetap bersiap-siap karena jam sembilan nanti mereka akan pergi mencari pengalaman.“Ayah kan pernah bilang, kalau menurut Kakak suatu hal itu baik dan selama masih berada di jalan yang benar, Kakak boleh melakukannya.Asalkan jangan sampai ada yang dirugikan” Dini mengingat nasihat yang pernah dikatakan Ayahnya.

Dini melihat jam yang di handphonenya.Ternyata sekarang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Setengah jam lagi ia harus sudah siap. Namun, tetap ia sempatkan untuk meminta restu dari Allah terlebih dahulu lewat shalat dhuha.“Mudah-mudahan Kau mudahkan rezeki kami pada hari ini Ya Allah”.Dini mengakhiri do’anya dan segera bersiap-siap untuk pergi. “Wah, baru hari pertama sudah ngaret aja ni”.

Dini segera bergegas pergi dan menemui Yani yang suda menunngunya di luar.Mereka pun pergi ke tempat Ibu penjual nasi yang pernah diceritakan oleh Yani sebelumnya.Dengan modal keberanian dan harapan mendapatkan rezeki, Dini pun siap melangkah.Bismillahi tawakaltu ‘alallah hi wala haula wala quwwata illa billah hil ‘aliyyil ‘aziim.

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang tiga puluh menit, mereka pun sampai di tempat yang mereka cari.Ibu yang dimaksud Yani tampak sibuk dengan pekerjaannya memasak.“Pagi Bu’ e” Yani menyapa sesosok ibu setengah paru baya yang sedang sibuk memotongi sayuran di dapur yang seadanya.“Bu, nanti untuk acara seminar saya pesan nasi sebanyak lima puluh ya” Yani mencoba mengawali pertemuan mereka dengan alasan ingin memesan nasi untuk acara seminar yang akan diadakan minggu depan.

“Aduh nak, bu’ e kayaknya sibuk deh.Jangan pesan dari Ibu deh untuk yang satu ini, Ibu takut nggak selesai tepat waktu. Maaf ya nak”.Jawaban Ibu penjual nasi tersebut ternyata menjadi awal yang tidak baik untuk pertemuan hari ini. Yani melihat pekerjaan si Ibu yang banyak, tapi sudah ada orang yang membantunya.

“Din, kayaknya hari ini nggak jadi deh” Yani berbisik pada Dini.

“Oh, ya sudah.Nggak apa-apa kok”.

Sebenarnya Dini kecewa karena pengalaman yang mereka cari hari ini tidak mereka dapatkan, tapi apa daya Dini. Ini hanya masalah keberuntungan, pikirnya.Mereka berdua pun akhirnya pulang tanpa membawa sesuatu pun.Hanya rasa ikhlaslah, yang saat ini Dini pegang, tapi tak berarti perjalanan mereka ini tak menyisakan satu pelajaran pun.Pengalaman itu memang sesuatu yang sangat berharga yang tidak dapat dibeli dan diduga-duga kapan datangnya sekalipun dijemput dengan niat yang baik.

“Lho kok sudah pulang? Katanya mau sampai sore” tanya Ida yang melihat Dini sudah berada di dalam kamarnya.

“Pengalamannya belum mau aku temui Da”.

Ida hanya tersenyum mendengar jawaban dari temannya itu. Akhir-akhir ini Dini memang jauh dari Ida, tidak tahu apa alasannya. Kebersamaan mereka yang sebelumnya sangat erat entah kenapa minggu-minggu ini terasa merenggang. Belakangan ini Dini memang lebih dekat dengan Zahrah, ditambah lagi mereka berdua terlibat dalam proyek tugas yang sama. Berawal dari inilah, Dini merasa ada yang aneh dari diri Ida.Ida lebih sering menghabiskan hari-harinya bersama Tanti, temannya sekelas.Sebagai teman yang pernah dekat, Dini terkadang merasa cemburu.Bukan benci hanya saja merasa ada yang kurang dari hidupnya.

Terkadang Dini bingung dengan sikap temannya yang satu ini, kadang ia merasa dekat sekali dengannya, kadang juga terasa jauh sekali. Ditambah lagi Dini sering melihat Ida lebih suka mencurahkan keluh kesahnya dengan temannya yang lain. Bagi Dini, ini tentu merupakan hal yang sangat mengecewakannya. Bagaimana tidak kecewa, teman yang dekat dengannya itu, kini tidak mau lagi berbagi suka dan duka dengannya.

Sikap dingin Ida terhadap Dini, tentunya juga berimbas pada keseharian Dini. Dini menjadi lebih pendiam, kadang-kadang ia pergi ke tempat teman-temannya yang lain. Namun, tetap saja sesekali dirinya teringat dengan Ida yang biasanya bersama dengannya.Lain lagi halnya dengan Zahrah.Dini memang sangat dekat dengannya, tapi karena berbeda lantai di asrama dan tak sekelas saat dikampus, membuat keduanya jarang bertemu. Paling jika Zahrah ingin ke suatu tempat, maka Dini akan siap menemaninya kapanpun, bahkan mungkin pada saat Zahrah sedang mengalami masalah dengan teman sekamarnya. Lebih tepatnya Dini dapat dikatakan sebagai penampung sampah temannya yang satu ini. Walaupun begini, Dini tetap ikhlas karena kalau mendengarkan curhatan temannya saja ia tak mau, maka tak ada gunanyalah hidupnya karena ia ta bisa berbuat lebih untuk teman-temannya.

Zahrah memang sosok yang cukup royal.Dompet yang cukup berisi menjadi pendukung sikap baiknya tersebut. Tak terhitung jumlahnya sudah berapa kali Zahrah membantu Dini dalam hal finansial, karena itulah ia siap kapanpun Zahrah membutuhkannya. Seringkali Dini iri karena tak dapat menjadi sosok sebaik Zahrah, tapi alangkah kurang bersyukurnya ia jika tetap ingin mengeluh. Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?

Ida juga terbilang dekat dengan Zahrah, makanya terkadang Dini sering iri jika ia melihat Ida sering mencurahkan hatinya dengan Zahrah. Sebenarnya Dini tak mempermasahkan siapa pun orang yang dekat dengan Zahrah ataupun Ida. Hanya satu yang ia inginkan, keterbukaan bukan menutup-nutupi karena ia sungguh menyayangi mereka.

Pernah pada suatu malam, Dini merasa kecewa yang tersimpan di dalam dadanya sudah sangat mendalam.Ia tak tahu harus mencurahkan perasaannya ini, ingin diceritakan masalahnya ini pada Zahrah, tapi Zahrah sedang sibuk dengan teman sekamarnya. Ia tak mungkin mengganggu mereka yang sudah mulai akrab kembali. Ia juga tak mungkin menceritakan kegelisahannya pada Ida, karena mungkin Ida sedang asyik dengan Tanti. Ida kadang menceritakan keakrabannya dengan Tanti kepada Dini.Ia mengatakan bahwa ia sedih sekali jika Tanti tak datang ke kamarnya. “sepi Din” katanya.

Dini hanya bisa tersenyum, ikut bahagia jika temannya ini bahagia. Dini tak punya teman lain untuk dijadikannya sebagi tempat curhat.“Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini yang tak bisa menjadi teman yang baik untuk teman-teman hamba.Hamba-Mu ini hanyalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan. Hanya pada-Mu lah dapat hamba curahkan semua keluh kesah yang sangat perih ini” air mata Dini jatuh membasahi wajahnya. Allah lah tempat mencurahkan keluh kesahnya, terlalu sakit jika hal ini tak diluapkannya. Hanya dirinya dan Allah sajalah yang tahu jika malam yang hening itu, Dini sedang mengeluarkan semua isi hatinya yang sudah ia simpan selama ini. Ratih, teman sekamar Dini saat itu telah terlelap dalam tidurnya. Dini pun larut dalam kekhusyukan shalatnya malam itu hingga tanpa disadarinya ia terlelap dalam keadaan masih mengenakan mukenah dan mata yang berlinangan air mata.

Adzan shubuh membangunkannya dari lelapnya tertidur semalam. Segera ia bangunkan Ratih dan Ida untuk shalat berjamaah.

“Kamu sakit Din?” tanya Ida yang merasa ada sesuatu yang telah terjadi pada Dini lagi pula mata Dini terlihat sembab pagi ini.“Nggak kok, aku baik-baik saja” Dini mencoba menepis dugaan Ida dengan tetap tersenyum. Walaupun sesungguhnya ia ingin mengatakan sesuatu pada Ida. Sesungguhnya aku kecewa padamu Ukh.Ida sesungguhnya tak sepenuhnya melupakan Dini, sesekali ia juga masuk ke kamar Dini untuk menanyakan apakah Dini sudah pulang ke kamar pada Ratih karena semenjak proyek tugas yang dijalani Dini bersama Zahrah di kampus membuat keduanya sering pulang malam.

“Tak apalah aku bermain dengan Tanti.Toh, Dini sekarang sudah asyik dengan kesibukannya” Ida menarik nafas panjang. Ida pernah mengatakan kalau ia kangen sekali menghabiskan hari-harinya bersama Dini. Hal ini tentu membuat Dini sangat senang sekali, tapi inilah yang dinamakan rasa sayang.Mereka hanya butuh komunikasi yang baik untuk membuat semuanya kembali berjalan seperti semula.Tak dapat menyalahkan semua kesalahan pada Ida karena Dini pun memang seharusnya dapat mengerti kondisi Ida saat itu.

Assalamu’alaykum. Ukh,hari ini kita rapat ya. Aku tunggu jam lima sore di kampus. Ada yang ingin dibicarakan” Ida mengirimkan pesan kepada semua anggota divisi syiar untuk menghadiri rapat pada hari ini.Kebetulan juga Dini merupakan anggota dari divisi yang dikoordinasi oleh Ida ini.

Tepat pukul lima sore Ida membuka rapat. Semua anggota sudah hadir dan siap mengikuti jalannya rapat pada hari itu, termasuk Dini. Rapat mereka pada hari itu membahas mengenai acara yang akan menjadi program mereka selanjutnya. Seminar dengan tema ”Muslimah dengan Kepribadian Mulia” menjadi pilihan yang akan mereka adakan minggu ini.“Ingat Ukh, kita harus bersikap istiqomah. Dakwah harus tetap kita laksanakan kapanpun itu. Fastabiqul Khairat. Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh” Ida menutup rapat dengan senyumnya yang manis.

Panitia pun telah dipersiapkan dan Dini turut menjadi bagian.Seksi publikasi diamanatkan padanya kini.Hidup dan matiku aku serahkan pada-Mu, Ya Allah.Dakwah, dakwah, dakwah.

Hari pelaksanaan tinggal lima hari lagi, tapi persiapan belum semuanya tuntas. Minimnya dana yang dimiliki, membuat persiapan mendapatkan hambatan. Namun, bukan Dini dan teman-temannya jika masalah ini tak selesai.Seperti biasa hal yang harus dan yang satu-satunya dapat mereka lakukan kini, yaitu jualan.Jualan lagi jualan lagi, tapi di sinilah letak kebersamaan mereka.Dini pun sangat merindukan momen seperti ini. Berkumpul bersama, bergadang kemudian bangun pagi-pagi saat semua orang masih menikmati tidurnya karena harus mengejar target bahan untuk dijual, tapi harus tetap semangat kuliah merupakan suatu anugerah dan pengalaman berharga untuk Dini yang masih terbilang masih baru memasuki dunia syari’at islam ini.

Tugas kuliah yang menumpuk, tak menjadi hambatan mereka dalam mempersiapkan acara yang sudah mereka susun. Bagi mereka kini, untuk apa hidup di dunia jika tak dapat memberikan manfaat untuk orang lain sedangkan berbagai nikmat tak henti-hentinya Allah curahkan kepada mereka. Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?

H-1 untuk menuju acara yang ditunggu-tunggu.Semua panitia berkumpul di kamar Ida untuk menyelesaikan persiapan yang belum kelar.Lagu-lagu nasyid pun diputar untuk menjadi teman penghibur mereka.Pukul 23.00 mereka segera menuju kamar untuk beristirahat sejenak.

“Ayo Ukh kita tidur dulu karena besok pukul tiga pagi kita harus sudah bangun untuk menyiapkan makanan para peserta yang hadir” Salah satu dari mereka menyeru sambil membereskan kamar yang lumayan berserakan karena ulah mereka.

Pukul tiga pagi, semua mata siap menghadap dunia lagi. Dini agak sedikit ragu apakah persipan ini akan selesai tepat waktu, mengingat pukul setengah sembilan pagi nanti acara akan segera dimulai. Kekhawatiran mulai menghantui pikiran Dini.

Namun, semua keraguan itu hilang tanpa berbekas.Kerja keras serta tawakal pada Allah telah membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia ini. Dengan modal yang seadanya dan tenaga yang sangat terbatas, persiapan pun selesai tanpa ada satu yang kurang pun. Tentunya tak semuanya mendukung apa yang mereka kerjakan ini. Tak sedikit yang mencibir apa yang Dini dan teman-temannya lakukan. Kurang kerjaan menurut mereka.

Hari ini adalah bukti bahwa janji Allah memanglah benar.Selepas acara, mereka mengadakan review hasil kerja mereka untuk acara hari ini.Subhanallah, hanya itu kata yang dapat terlontar dari mulut Dini.Air mata pun berjatuhan saat semua menyatakan keharuannya dalam mempersiapkan acara ini.

Semua yang terjadi pasti mengandung hikmah yang sangat besar, apapun itu, baik ujian, musibah, ataupun nikmat.Semuanya merupakan karunia yang sangat besar dari Allah S.W.T. dan Dini meyakini semua ini.Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?

Oleh: Ichtiar Rizki Erianti, Gading Serpong Tangerang

Tinggalkan Balasan