Tokoh besar Islam (Ulama, Kyai) juga punya andil besar dalam persoalan ini. Terbukti di pesantren-pesantren, mereka tanpa pamrih berambisi ingin mencerdaskan anak Bangsa sebagai tunas agama serta berguna bagi Nusa dan Bangsa. Hal ini merupakan konsep filterisasi para ulama masyayikh kita yang sudah banyak pengalaman dan terbukti sukses seperti tokoh terkenal Nasional Muhtasyar NU KH. Abdul Muchit Muzadi (Jember). Beliau berhasil meng-kader pemuda-pemuda NU selaku organisasi kemasyarakatan yang cukup berpengaruh dan banyak pengikutnya.
Selain jawaban di atas, strategi yang harus ditempuh oleh Bangsa Indonesia menangani persoalan kader anak Bangsa. Pertama, seleksi kader potensial sejak dini. Seleksi ini berhubungan pada kemampuan akademis anak, kualitas kepribadiannya, maupun kemampuan komunikasi sosialnya. Sebab, pemimpin lahir pada awalnya ingin menuai karakteristik mereka berjiwa pemimpin.
Kedua, pendidikan umum dan pendidikan khusus yang menunjang kebutuhan kader untuk melaksanakan tugas di masa yang akan datang. Untuk itu, visi dan misi pendidikan nasional lebih fokus pada proses pematangan personal anak yang mau dikader agar terproduk lebih menjanjikan menjadi organisatoris dan pemimpin yang handal lagi profesional.
Ketiga, evaluasi bertahap. Baik yang menyangkut kemampuan personal akademik anak, kualitas kepribadiannya maupun komunikasi sosial mereka. Hal ini dapat dilakukan dalam setiap waktu maupun moment-moment tertentu yang bersifat praktis seperti kita kenal dalam pelatihan-pelatihan , ataupun diklat-diklat khusus yakni materi “ andir “ ( analisa diri )serta “ ansos “ ( analisa sosial ). Tahap-tahap ini, membawa dan membangun jiwa sosialis kader anak Bangsa ke tingkat pendewasaan akal.
Keempat, pendidikan remidial, yaitu pendidikan yang mampu mendekontruksi pendidikan lama menjadi pendidikan baru yang bermutu terhadap pendidikan anak dan siap menghadapi tantanan zaman global saat ini, yakni sebagai obat atau penawar bagi pendidikan konservatif (tradisional) berjalan apa adanya, tak mengenal pentingnya organisasi dan kondisi anak didik yang mengkhawatirkan. Hal ini, sangat tepat bagi kader-kader anak Bangsa yang mengalami ketertinggalan keilmuannya dalam proses pendidikan yang telah ditargetkan.
Kelima, praktek magang untuk mempraktekkan hasil-hasil pendidikan kader yang telah diterima. Seperti pelatihan-pelatihan, diskusi, seminar maupun diklat-diklat khusus lainnya. Praktek ini sangat bermanfaat besar bagi kader anak didik ke depan, sebab mereka diajak berkontaminasi, meneliti dan menganalisis lapangan secara praktis serta menjiwai pada diri mereka dengan tujuan mengaktualisasikan teori-teori yang telah dikenyam di bangku sekolah.
Keenam, sertifikasi kader untuk menentukan apakah seorang kader telah memenuhi target yang ditetapkan atau masih belum. Sebab, pengakuan legal formal demikian, amat menentukan status keahlian mereka dalam keabsahannya sebagai calon kader yang akan dinobatkan pada dirinya. Bila tidak, kita akan kesulitan mendata dan menyeleksi mana yang lebih layak diterima atau masih belum. Selain dari itu, dikhawatirkan ada kecurangan atau pemalsuan sertikat sebagai surat bukti identitas diri.
Berawal dari harapan dan impian tawaran di atas, Bangsa Indonesia sudah saatnya harus mengembangkan fungsinya secara eksplisit. Selain negara tercinta ini sebagai pusat pendidikan dan pengajaran modern yang serba ada, ia juga harus sebagai sentral yang memotoring, menyiapkan dan memproduk kader-kader anak Bangsa yang handal, profesional dan bertanggung jawab.
Maka, mengenai fungsi terakhir ini, Bangsa dapat mengadakan kerja sama dengan pihak terkait seperti instansi-instansi pemerintah maupun LSM yang sudah maju, utamanya dengan Bangsa-Bangsa lain yang pendidikannya dilihat sangat maju dan berkembang pesat seperti Singapura, Cina, Belanda dan lainnya.
Oleh : Ahmad Mu’takif Billah, Sumenep, Madura